BENGKULU | duta.co – Nahdlatul Ulama (NU) dinilai sudah larut dalam politik praktis. Penggiringan ke arah ashabul qoror (pemangku kebijakan pemerintah) oleh PBNU diyakini membuat peran kebangsaan NU semakin mengecil. Wadah politik praktis dipastikan tidak akan mampu menampung kebesaran NU.

“Hari ini kita saksikan, NU menjadi alat politik, menjadi alat partai untuk merebut kekuasaan. Dalam posisi demikian, NU kesulitan bicara moral politik, NU kesulitan menjadi aktor utama pencerahan bangsa, karena sudah dililit kepentingan,” demikian disampaikan H Agus Solachul A’am Wahib, cucu pendiri NU Almaghfurlah KH Wahab Chasbullah yang getol menegakkan khitthah 26 NU kepada duta.co, Ahad (17/2/2019).

Jangan kaget, lanjutnya, kalau hari ini orang di luar NU sudah memandang ormas ini sebagai partisan, bahkan lebih tragis lagi, apologis. “Satu sisi berteriak politik kebangsaan, tidak berpolitik praktis, tetapi di sisi lain menjadi alat politik partai. Ini sangat ironis,” tegasnya.

Tak kalah menarik, adalah pernyataan Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim saat memberi sambutan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mengokohkan Komitmen Keberagamaan dan Kebangsaan Menuju Indonesia Emas” di Sinar Sports Hotel Bengkulu, Sabtu (16/2).

Menurutnya, eskalasi politik di Pilpres 2019 kian meningkat dan tidak mendukung terciptanya iklim demokrasi sebagaimana yang diharapkan. Isu agama yang turut diangkat dalam ruang perdebatan pilpres merupakan hal yang tidak sehat.

“Agama telah diseret-seret dalam kontestasi politik Pilpres dan ini tidak sehat,” tegasnya.

Majelis Dikti dan Litbang PP Muhammadiyah menjelaskan bahwa kontestasi pilpres oleh sebagian masyarakat juga telah dimaknai secara hitam putih. Hal ini memberikan peluang terjadinya tafarruq atau pertentangan di kalangan masyarakat ketimbang taaruf, yang mengedepankan rasa hormat terhadap perbedaan pilihan.

Untuk itu, kata Sudarnoto, harus ada upaya serius untuk menyadarkan masyarakat bahwa agama adalah sumber perdamaian, ketenteraman, kerahmatan dan integrasi nasional.

Dalam hal ini, kehadiran pemimpin dan kekuatan civil society yang mampu membangun jalan tengah atau wasathi sangat diperlukan.

“Dan itu ada di ajaran Islam dan juga Pancasila. Muhammadiyah juga memiliki kemampuan menjadi aktor utama gerakan pencerahan bagi kehidupan berbangsa” kata Sudarnoto.

Menanggapi ini, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto yang menjadi pembicara dalam acara itu mengamini pernyataan Sudarnoto. Menurutnya, memimpin masyarakat yang berbeda latar belakang suku, agama dan pilihan ideologi politik memang bukan perkara mudah.

“Karena itu, dibutuhkan pemimpin yang mampu berdiri di tengah dan menempatkan agama dalam bingkai kebangsaan,” tegas pria yang akrab disapa Cak Nanto itu.

Arus Bebas Informasi

Di sisi lain, arus informasi bebas yang ada di media sosial menjadi sorotan utama Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir.

Sebab, setiap orang bisa memproduksi informasi apa saja tanpa ada penyaring. Bahkan, sambungnya, di media sosial fakta bisa dikalahkan oleh opini dan yang salah bisa jadi seolah benar.

“Sehingga tidak jarang membuat para pembuat kebijakan maupun politisi menjadikan media sosial sebagai alat agitasi dan propaganda,” tegasnya dalam Forum Dialog dan Literasi Media Sosial, Seminar Pra Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu.

Diskusi turut dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara, dan jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti Dadang Kahmad, Yunahar Ilyas, Taufiqurahman, dan Dahlan Rais.

Atas alasan itu, Haedar menggelorakan slogan “Literasi Pencerahan” dalam Tanwir Bengkulu, yang akan resmi dibuka Presiden Joko Widodo pada Jumat (15/2). Dia menjelaskan bahwa slogan tersebut merupakan pengamalan ayat pertama yang diturunkan Allah SWT, yakni iqro atau baca.

“Maka di forum tanwir ini kita juga akan menggunakan diksi “Literasi Pencerahan”. Diksi ini harus digelorakan, sebab cerah itu bagus dan Islam itu mencerahkan. Ayat pertama yang diturunkan Allah itu sangat mencerahkan,” tegasnya.

Dalam melawan informasi yang membodohkan, kata Haedhar, Muhammadiyah harus bekerja sama dengan pemerintah melakukan gerakan literasi yang berkeadaban dan menyehatkan.

“Kita lawan hasrat-hasrat alamiah dan primitif seperti kebencian, amarah. Naluri-naluri seperti ini ketika menemukan ruang, maka seperti benih yang menyebar. Keburukan-keburukan itu lama-kemalaan akan seolah menjadi benar,” ingatnya.

Dia mengajak kader persyarikatan untuk memverifikasi, mengolah, dan menyeleksi informasi yang diterima.

“Kalau otak kita terbiasa mengolah informasi, maka akan menjadi cerdas,” tegasnya. (mky,ian,rmol)