
“Paket Nuh-Nusron (NN), sejatinya secara terbatas telah digagas Nusron Wahid alias NW. Setelah Idul Fitri 2025 di kalangan internal, konon telah diskusi intens tentang itu.”
Oleh: M Sholeh Basyari*
KETUA Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, memang, terlihat hadir di Hotel Sultan, saat pleno penetapan PJ Ketum PBNU. Meski tidak duduk di ruang Pleno PBNU dan tidak tersorot media, Cak Imin terdeteksi berbincang, bahkan sempat terkekeh ketika Saifullah Yusuf (Mensos dan eks Sekjen PBNU Kramat), nyletuk tentang sesuatu.
Kehadiran Cak Imin di pleno itu, cukup menarik. Bahkan bisa dimaknai bobotnya melebihi kehadiran siapapun, termasuk Rais Aam PBNU. Kenapa? Pertama, NU adalah ekosistem dan pemangku kepentingan utamanya (stakeholder) PKB. Kehadiran itu menyiratkan dukungan langsung atau pemihakan Cak Imin ke PBNU Sultan.
Kedua, kehadiran Rais Aam, Saifullah Yusuf, Khofifah, Prof Nuh, Habib Lutfi, bahkan Nasarudin Umar (Menteri Agama), tidak secara kuat bisa dibaca sebagai representasi kekuatan politik apapun. Mereka hadir bukan representasi negara, bukan pula representasi kekuatan sosial agama (NU kultural).
Rais Aam sejak awal menahkodai NU, terkesan diselimuti kabut tebal tentang keberpihakannya pada Front Pembela Islam (FPI). Kiai dari Kedung Tarukan Surabaya itu, disorot kontroversinya terkait isu nasab. Belum lagi kiprah karirnya yang belepotan dengan serangkaian pemecatan (Prof Ali Maschan Moesa, Prof Muhibbin Zuhri, KH Marzuki Mustamar dan terakhir KH Yahya Cholil Tsaquf dari jabatan Ketum PBNU).
Sementara secara genealogi, Kiai Miftah bukan berasal dari gen grade A kaum nahdliyin. Hal ini berbeda dengan mayoritas Rais Aam sebelumnya. Simak nama-nama Rais Aam PBNU; seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Beliau adalah salah satu pendiri NU itu, menjadi Rais Akbar pada 1926 hingga 1947.
Kemudian KH A Wahab Chasbullah (1947-1971), dilanjut KH BIsri Syansuri (1971-1980), KH M Ali Maksum (1980-1984), dan KH Achmad Siddiq (1984-1991). Kemudian KH Ali Yafie (1991-1992), KH Moh Ilyas Ruhiyat (1992-1999), KH M A Shal Mahfudh (1999-2014), KH A Mustofa Bisri (2014-2015), KH Ma’ruf Amin (2015-2018), dan KH Miftachul Akhyar (2018-2027). KH Ma’ruf Amin, Sahal Mahfudz. Rais Aam sebelum Kiai Miftah nyaris tidak ada yang mempersoalkan genealogi luhurnya.
Dengan genealogi yang biasa, Kiai Miftah bukanlah kiai dengan kharisma yang kuat dalam jajaran kiai-kiai NU. Kharisma dan wibawa Kiai Miftah di antara jejaring pesantren-pesantren utama, berada di luar jangkauan pengasuh pesantren Miftahussunah Surabaya. Kiai Miftah tidak memilik konfidensi di depan Lirboyo, Ploso, Sidogiri bahkan di Sarang. Tetapi Kiai Miftah belakangan menguat wibawa politiknya sebagai bagian dari circle games yang dimainkan duet Saifullah Yusuf dan Prof Nuh.
Tak beda dengan peran sentral Saifullah dan Prof Nuh, dalam dinamika ini. Sebagai Mensos, Gus Ipul bisa dinilai jeblok mengawal program prioritas presiden Prabowo: Sekolah Rakyat. Sebagai salah satu dari hanya tiga program kerakyatan Prabowo (dua yang lain: Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih), Sekolah Rakyat sepi-sepi saja. Belum lagi terkait bencana hebat di tiga propinsi di Sumatera, koordinasi dan konsolidasi Kemensos dengan lembaga negara lain, senyap dari berita. Sedang, peran sentral Prof Nuh, profiling -nya tidak sebanding dengan bobot politik manuver yang dilakukan mantan Mendiknas ini. Prof Nuh adakah expired leader, yang memahami tradisi NU (barzanji, Yasinan-tahlilan) secara baik, tetapi gagap dengan tradisi pesantren (Ta’lim Mutaalim, atau bahkan gramatikal arab dasar). Tidak berlebihan jika tokoh dari Surabaya ini, disebut sekedar mencari panggung terakhir di sisa-sisa energi kepemimpinannya.
Kehadiran khofifah juga layak dianalisis. Gubernur perempuan pertama Jatim ini, di era kedua kepemimpinannya, nyaris tidak efektif. Kehadirannya di pleno itu, tak ubahnya “jika tak ada rotan, akar-pun jadi”, jika tidak ada backup negara (presiden), semoga keberuntungan ada di (Pj Ketum) PBNU. Hal ini penting, sebab kabarnya relasi dan reaksi Khofifah terhadap Ketum PBNU (Kramat) Gus Yahya, kurang harmonis.
Terakhir, tidak lupa analisis juga menyasar Habib Lutfi, mantan Mudir Aam Idaroh Aly Jatman yang dipaksa turun oleh Yahya Gus. Pengaruh sang Habib Pekalongan ini meredup seiring gempuran hebat “tesis nasab” Kiai Imadudin dari Banten. Majelis sang habib, sekarang sepi. Ruang tamu rumahnya juga tidak padat lagi oleh hilir mudik pejabat sipil, militer maupun polri yang mengharap rekom promosi. Di sini, Habib Lutfi sejatinya telah finish!
Ketiga, kita patut melihat kehadiran Muhaimin (Cak Imin). Ini bisa secara tidak langsung dibaca sebagai deklarasi “mufaroqoh’ dengan Ploso dan Lirboyo. Jika analisis ini benar, PKB benar-benar tidak membela yang benar. PKB hari ini bisa dinilai blunder.
Paket Prof Nuh dan Nusron Wahid
Paket Nuh-Nusron (NN), sejatinya secara terbatas telah digagas oleh Nusron Wahid alias NW. NW setelah lebaran idul Fitri 2025 di kalangan internal, telah diskusi intens tentang itu. Paket ini bisa disebut ideal. Nuh representasi tokoh senior teknokratik. Nusron representasi salah satu rising star NU dengan latar politisi.
Paket ini bisa saja makin menguat dengan sejumlah hal ini. Pertama, jika PBNU Sultan leading atas PBNU Kramat. Publik tahu, Nuh yang berkeringat dalam dinamika ini. Investasi ini sangat mungkin sebagai “Kum” untuk macung sebagai Ketum PBNU di muktamar mendatang. Sementara, jauh-jauh hari Nusron juga memuji Nuh sebagai senior yang hebat dengan sentuhan Raja Midas. Nusron nyaman sebagai Sekjen jika Nuh sebagai Ketum PBNU pada muktamar mendatang.
Kedua, paket NN terwujud, jika manakala PKB “legowo”. Tentu sikap legowo ini dengan itung-itungan serta kompromi di sana sini. Bisa saja Prof Nuh (dan terutama Nusron), menjamin Muhaimin pemegang tiket NU dalam pilpres 2029. Bukankah Muhaimin dan Nusron telah bertemu beberapa waktu sebelum dinamika PBNU menuju titik puncak konflik.
Ketiga, paket NN plus PKB (baca Muhaimin ) ini, sangat potensial mendepak kandidat lain, termasuk Saifullah Yusuf. Tetapi, semua itu tergantung permainan lapangan. Yang kita harapkan, bagaimana pun paket-paket itu bukan hanya sebagai sarana untuk mengejar ambisi, tetapi bermanfaat untuk umat. Bukankah begitu? Waalahu a’lam.
*Dr M Sholeh Basyari MPhil adalah Aktivis NU dan Dirut PT Gebe Anugrah Semesta (GAS), Halmahera Tengah.





































