“Apapun bentuknya, segala macam ibadah tidak boleh mengabaikan aspek sosial, bahkan kepentingan setiap individu juga tak boleh diabaikan.”

Oleh Idham Cholid

POLEMIK tentang aturan penggunaan pengeras suara alias toa untuk masjid dan mushalla sangat menyita perhatian publik dalam dua pekan terakhir ini. Jika kita cermati, bahkan persoalannya sudah keluar dari konteks regulasinya itu sendiri.

Beberapa hari sebelum aturan itu ditetapkan, saya sempat bersilaturahmi dengan Gus Yaqut (Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas). Banyak hal kami bincangkan.

Ketika dia sampaikan tengah menyiapkan aturan tentang itu, terus terang, saya justru ingat pak JK, panggilan akrab Jusuf Kalla. Wapres ke 10 dan 12 itulah yang selama ini cukup sering bicara tentang pengeras suara.

Dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), kita tahu, sudah sejak 2012 dia tegaskan perlunya aturan yang jelas tentang penggunaan pengeras suara.

“Bukan macam sound systemnya yang diatur tetapi pengaturan bunyinya,” jelas JK saat itu.

Terbaru, pada tahun lalu, kritik terbuka dia lontarkan juga. Katanya, 75 persen sound system masjid dan mushalla di Indonesia bermasalah. Dampaknya, bisa memicu ketidakpahaman jamaah terhadap isi ceramah.

“Didengar (tapi) tidak dimengerti sedangkan waktu kita di masjid itu 80 persen mendengar, 20 persen ibadah atau shalat,” terang JK.

Atas nama DMI, pak JK tentu memiliki kompetensi. Kita juga patut memerhatikan ihwal sound system yang dinilainya “bermasalah” itu; apakah berkaitan dengan kualitas perangkat atau murni soal manajemen dan tatakelolanya. Konon, dia telah berkeliling ke beberapa masjid di kota-kota besar, dan menemukan fakta itu.

Artinya, jika yang di kota besar saja demikian, lalu bagaimana halnya dengan keadaan masjid dan mushalla yang ada di pelosok-pelosok desa? Tentu, inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Sudah Tepat

Secara obyektif, pengaturan tentang tatakelola pengeras suara memang diperlukan. Aturan itu sudah tepat. Kita semua tentu sepakat. Meskipun kemudian ada yang menilai sebaliknya. Bagi mereka, aturan teknis semacam itu cukuplah dirumuskan oleh masyarakat sendiri. Negara tak perlu ikut campur. Itu menjadi bagian dari tanggungjawab civil society.

Logika tersebut tentu sangat bisa dipahami, terutama dalam kerangka bahwa negara tak semestinya masuk terlalu jauh dalam wilayah agama. Terlebih dalam urusan peribadatan, prinsip “independensi” harus ditegakkan.

Namun yang mesti juga dipahami, penggunaan pengeras suara bukanlah semata urusan kebebasan beragama. Bahwa ekspresi keberagamaan itu juga berada di ruang publik.

Jangankan di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, dalam konteks penerapan ajaran Islam di lingkungan komunitas muslim itu sendiri, prinsip memahami situasi dan menghargai sesama haruslah dikedepankan.

Apapun bentuknya, segala macam ibadah tidak boleh mengabaikan aspek sosial, bahkan kepentingan setiap individu juga tak boleh diabaikan. Atas nama “syiar” justru kita harus menampilkan ajaran yang ramah, tenteram, dan penuh kedamaian.

Di negara yang cukup ketat menerapkan ajaran Islam sekalipun, pengaturan penggunaan toa yang dianggap “teknis” itu juga diberlakukan. Yang paling dekat dengan kita, negara jiran Malaysia misalnya, pemakaian toa hanya untuk adzan saja.

Demikian pula di Mesir yang bahkan melarang penggunaan toa selama bulan puasa. Alasannya justru agar pelaksanaan ibadah jauh lebih tenang. Ini tentu sangat beda dengan masyarakat kita, di bulan ramadhan malah terkesan jor-joran.

Di Arab Saudi yang dianggap paling “islami,” penerapan aturan itu juga berlaku. Di sana, pengeras suara hanya diperbolehkan di dalam masjid, hanya untuk adzan, shalat Jumat, shalat Ied dan istisqa’ atau meminta hujan.

India justru lebih “kejam” lagi. Penggunaan pengeras suara bahkan dikategorikan illegal, dan dipantau langsung oleh pengadilan tinggi. Mungkin ini bisa dimaklumi karena mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Untuk masyarakat kita, sekali lagi, pengaturan soal itu sebenarnya sudah tepat. Bukan sesuatu yang mengada-ada. Jika negara-negara lain saja begitu, bahkan di negara yang merepresentasikan Islam, apalagi Indonesia yang sangat plural. Kebhinekaan harus tetap terjaga dengan praktek keberagamaan yang harmonis untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian.

Salah Paham

Lalu, kenapa mesti dipersoalkan ketika pemerintah “mengatur” penggunaan toa? Dalam konteks ini, Kementerian Agama merupakan institusi yang paling absah menerbitkan regulasi. Ia mempunyai tanggungjawab penuh atas terciptanya harmoni, baik intern maupun antar umat beragama, bahkan dalam relasi agama dan negara untuk kepentingan (kehidupan) kebangsaan.

Aturan tentang itu sendiri sebenarnya bukan barang baru. Konon, sejak 1978 juga sudah diterapkan. Hanya saja, selama ini di bawah “kendali” Dirjen Bimas Islam. Bahwa hal tersebut lebih dipahami sebagai bagian dari “pembinaan” secara internal kepada umat Islam.

Jika kemudian saat ini ditingkatkan regulasinya langsung oleh Menteri Agama, tentu akan menjadi lebih serius. Selain dimaksudkan untuk pembinaan internal, regulasi itu juga akan membawa implikasi: bagaimana semestinya relasi kehidupan antar umat beragama harus dikembangkan.

Namun, ada sementara pihak yang menyampaikan ktitik: kenapa hanya ditujukan kepada umat Islam? Menag harusnya juga membuat aturan untuk gereja dan tempat peribadatan lainnya. Tak salah, masukan demikian memang perlu disampaikan.

Tetapi yang juga harus menjadi kesadaran bersama, terutama di kalangan umat Islam, bahwa muslim Indonesia adalah mayoritas. 82 persen lebih umat Islam Indonesia merupakan populasi terbesar di dunia. Sudah seharusnya mereka menjadi teladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tanpa kecuali dalam keberagamaan, di dalam menjalankan ajaran agama, menjadi umat “terbaik” memang diperintahkan. Ingat, ketika Nabi Saw ditanya, siapa muslim yang terbaik? Jawabannya tegas, yang tangan dan lisannya menenteramkan (muslim) sesama.

Tentu, menjadi kurang tepat jika makna “terbaik” itu dipersempit secara subyektif. Bahwa yang terpenting tidak mengganggu sesama umat Islam, dan tidak merugikan umat beragama lainnya. Tanpa rambu-rambu yang jelas dan tegas, potensi permasalahan dalam jangka panjang justru bisa menjadi ancaman.

Kita bisa menyaksikan, betapa komunitas muslim yang tidak sejalan dengan “paham” mainstream selama ini juga telah cukup mendapatkan kesulitan. Berapa banyak kalangan penganut Syiah dan Ahmadiyah, misalnya, yang tidak bisa menikmati praktek peribadatannya dengan cukup leluasa. Belum lagi yang berkaitan dengan umat agama lain, dalam urusan ijin mendirikan tempat ibadah, juga bukan perkara yang mudah.

Dalam konteks itulah, secara mendasar, kita harus memahami regulasi yang diterbitkan Kementerian Agama. Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla, memang hanya pengaturan teknis berkaitan dengan tatakelola toa. Namun, dari sinilah justru kedewasaan umat dalam menjalankan praktek keagamaan akan dapat ditunjukkan.

Maka, jangan salah memahaminya. Menarasikan aturan itu sebagai bentuk pembatasan terhadap syiar Islam, tentu membahayakan. Salah paham atas “tamsil” yang disampaikan Gus Men, panggilan akrab Menag Yaqut Cholil Qoumas, tentang gonggongan anjing, juga mesti diakhiri.

Biasa saja. Gus Men memang tak jarang berbicara apa adanya, lugas dan tegas. Dia bagaikan “toa” bagi umat Islam khususnya. Dalam beberapa hal, suara kerasnya dianggap “mengganggu” kenyamanan. Karena dia memang bukan tipe pemimpin yang meninabobokkan, yang hanya mengandalkan pencitraan.

Bagi saya, sederhana saja memahaminya. Anjing sekalipun haruslah dikendalikan “kebebasan” ekspresinya. Mereka tak boleh dibiarkan bebas menggonggong, kecuali hidup di alam liar. Tentu, pemilik hewan itulah yang harus bertanggungjawab mengendalikan.

Namun akan lain soalnya. Menjadikan tamsil Gus Men dengan terang-terangan mensimulasikan kalimat adzan kemudian diiringi dengan suara anjing menggonggong, justru sangat menyesatkan. Inilah bentuk nyata “pelecehan” ajaran agama.

Maka, menjadi tugas dan tanggungjawab jajaran Kementerian Agama lebih lanjut, sebagaimana diktum “pembinaan dan pengawasan” dalam SE Menag tersebut. Tidak saja untuk kepentingan, agar regulasi itu bisa benar-benar dipahami.

Lebih dari itu, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Ormas Islam khususnya, juga menyelesaikan pelbagai persoalan yang ada. Tanpa kecuali, terhadap 75 persen sound system yang dinilai bermasalah oleh pak JK itu.

Kalisuren, 4 Maret 2022

Idham Cholid adalah Kader Nahdlatul Ulama

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry