Keterangan foto viva.co.id

SURABAYA | duta.co – Menarik! Pengakuan Badan Intelijen Negara (BIN) terlibat pemulangan Neno Warisman dari Pekanbaru, Riau, sangat menarik. Lazimnya, dunia intelijen tidak bersuara alias senyap, tetapi, hari ini, BIN justru muncul ke permukaan, melakukan klarifikasi. Ada apa? Jumat (31/8/2018) laman www.hersubenoarief.com masih menampilkan analisanya.

Bermula dari pengakuan Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto yang melakukan klarifikasi atas penghadangan Neno, aktivis gerakan #2019GantiPresiden di Pekanbaru, Riau, Sabtu lalu (25/8) dalam acara deklarasi #2019GantiPresiden.

Menurut Wawan, Neno tidak diperkenankan menghadiri acara tersebut sebagai antisipasi tidak terjadi bentrokan dengan masyarakat yang menolak kehadiran Neno.  Selaku penanggung jawab Kominda (Komite Intelijen Daerah) Riau, Wawan harus berada di garis depan guna mengambil langkah preventif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hersubeno Arief, di laman www.hersubenoarief.com menilai, bahwa, pengakuan BIN terlibat ‘pengamanan’ Neno seperti terekam dalam video yang tersebar ke publik, implikasinya tak kalah serius. Selain identitasnya (BIN) terungkap, ini bisa memunculkan kecurigaan BIN ikut bermain dalam ranah politik praktis, mendukung rezim penguasa.

“Pemerintahan Jokowi bisa dikenakan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan badan intelijen untuk mengadu domba dan menciptakan konflik horisontal antar-elemen masyarakat. Bila hal itu terjadi di AS bisa memunculkan krisis politik yang sangat serius, dan pemerintahan jatuh,” demikian Hersu, panggilan akrab Hersubeno Arief, mantan wartawan Majalah Editor ini.

Menurut Hersu, persoalan ini tidak boleh berhenti pada klarifikasi Wawan Purwanto. Tetapi butuh penjelasan lebih lanjut darinya. “Sebagaimana disampaikan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, mereka menyambut baik kedatangan Neno di Bumi Melayu Pekanbaru. Sementara para penghadang diketahui bukan orang Melayu. Mereka adalah etnis tertentu yang dikerahkan oleh kekuatan dan kelompok tertentu. Jadi ada upaya membenturkan pendukung dan penentang gerakan #2019GantiPresiden. Sebuah dugaan yang tidak main-main. Nah soal ini tampaknya perlu penjelasan lebih lanjut dari juru bicara BIN. Sudah kepalang transparan, semuanya harus dibuat lebih transparan lagi,” begitu Hersu mengakhiri catatannya.

Tidak sekedar itu, Hersu juga membedah dunia intelijen, sebagaimana yang terjadi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Namanya intelijen, pasti rahasia. Di kalangan intelijen Indonesia juga dikenal kredo Berani dan siap  tidak dikenal, mati tidak dicari, sukses tidak dipuji. Jika sampai gagal dimaki-maki.” Catatan Hersu ini mendapat tanggapan @Ide Burhanuddin, ia menyebutnya: BIN bertransformasi menjafm BINAl.

Berikut artikel utuh Hersubeno Arief, yang diambil dari laman www.hersubenoarief.com:

Kasus Neno, Mengapa BIN Harus Mengaku?

Oleh: Hersubeno Arief

Harian New York Times Edisi 12 Juni 1987 memuat sebuah artikel menarik tentang kekonyolan lembaga intelijen AS CIA (Central Intelligence Agency). Suatu hari Stephen J Solarz seorang senator partai Demokrat yang duduk di komite luar negeri, melakukan perjalanan ke Honduras, Amerika Tengah. Dia mendapat tugas mencari fakta (fact finding) ke pangkalan para pemberontak Nikaragua yang dikenal sebagai kelompok Contra.

Honduras secara rahasia menjadi pangkalan CIA melatih pemberontak Contra untuk memerangi rezim komunis Sandinista yang dipimpin Presiden Daniel Ortega.

Di kamp itu seorang agen CIA memperkenalkan Solarz dengan seorang perwira pemberontak. Pria itu mengenakan sebuah topi baseball dengan sebuah logo yang sangat terkenal. Pada bagian samping logo itu tertulis sebuah kredo “Admit Nothing-Deny Everything-Make Counter-Accusations.

Solarz bertanya darimana dia mendapat topi tersebut? “Saya membelinya di toko khusus di Langley,” jawab si perwira dengan kalem. Langley adalah markas besar CIA yang terletak di Fairfax County, Virginia, tidak jauh dari  pusat pemerintahan AS Washington.

Bisa dibayangkan betapa kagetnya Solarz mendapati seorang komandan pasukan rahasia, namun secara terbuka justru memamerkan identitasnya. Di Indonesia  agen rahasia model ini sering disebut sebagai “intel melayu.” Seorang agen rahasia yang pamer ke semua orang, agar  tahu bahwa dirinya adalah agen, sehingga ditakuti.

“Jangan buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat serangan balik dengan berbagai tuduhan,” adalah kredo yang sangat dijunjung tinggi oleh seorang agen intelijen. Kerahasiaan adalah sesuatu yang sangat sakral. Keberhasilan operasi intelijen terletak pada kerahasiaannya itu. Mereka biasanya menggunakan cover pekerjaan lain, sampai keluarga sendiri tidak tahu apa pekerjaannya sesungguhnya.

Karena itu agak mengherankan ketika Juru Bicara Badan Intelijen Nasional (BIN) Wawan Hari Purwanto mengakui bahwa benar Kepala BIN Daerah (KABINDA) Riau ikut terlibat dalam proses pemulangan paksa Neno Warisman dari Bandara Pekan Baru, akhir pekan lalu. Wawan juga minta minta maaf bila ada kesalahan dalam penanganan pembubaran aksi deklarasi Gerakan #2019GantiPresiden di Riau yang sedianya dilakukan Ahad (27/8).

Bila kita menggunakan cara berpikir yang positif, pengakuan  Wawan merupakan upaya untuk menunjukkan sebagai lembaga intelijen, BIN sedang bertransformasi menjadi lebih “baik.” Lembaga intelijen negara yang menerapkan prinsip “transparansi.” Jadi tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Apalagi seperti dikatakan Wawan, kehadiran KABINDA Riau untuk mencegah adanya bentrokan antara masa pendukung dan penentang Neno.

Implikasi serius

Dalam dunia intelijen terbukanya jati diri seorang agen, implikasinya sangat serius. Berbagai operasi intelijen yang dirancang secara matang, terpaksa dibatalkan. Keselamatan sang agen juga bisa terancam. Dalam hubungan antar negara juga bisa menimbulkan krisis diplomatik yang sangat serius.

Bila kita menonton sequel film Mission Impossible, biasanya seusai mendengarkan penugasan, agen Ethan Hunt selalu diingatkan, bila dia tertangkap,  agensi tidak akan mengakui. Dengan kata lain risiko ditanggung sendiri. Di kalangan intelijen Indonesia dikenal kredo “Berani dan siap  tidak dikenal, mati tidak dicari, sukses tidak dipuji. Jika sampai gagal dimaki-maki.

Saking pentingnya menjaga kerahasiaan, di negara-negara komunis seperti Korea Utara dalam beberapa peristiwa,  seorang agen rahasia yang tertangkap menelan pil sianida yang selalu mereka bawa.

Di AS membuka jati diri seorang agen rahasia, hukumannya sangat berat. Karl Rowe wakil kepala staf Presiden AS pada masa pemerintahan George W Bush Jr pernah diselidiki dan dibawa ke pengadilan karena diduga membocorkan jati diri seorang agen CIA ke sejumlah media.

Agen tersebut bernama Valerie Plame, istri Joseph Wilson seorang mantan Duta Besar. Wilson dikenal sangat kritis kepada Bush dan berencana membuka fakta bahwa pemerintah AS berbohong tentang pembelian uranium rezim Saddam Hussein dari Nigeria.

Implikasi dari ancaman Wilson sangat serius. Pada saat itu Bush sedang merencanakan penggulingan Presiden Irak Saddam Husein dengan tudingan memiliki senjata pemusnah massal. Belakangan tudingan itu tidak terbukti. Kasus itu oleh media AS disebut sebagai “Plame Affairs.”Pengadilan AS juga menyeret Wakil Menteri Luar Negeri Richard Armitage, dan Kepala Staf Wakil Presiden Lewis Libby.

Armitage dan Rowe akhirnya dibebaskan karena mengaku saat itu hanya berkelakar dan kebetulan didengar sejumlah wartawan. Sementara Libby dihukum 30 bulan penjara dan denda USD 250 ribu karena dinilai menghalangi pengadilan dan bersumpah palsu.

Pengakuan bahwa BIN secara kelembagaan terlibat dalam “pengamanan” Neno Warisman dan KABINDA Riau terlibat langsung seperti terekam dalam video yang tersebar ke publik, implikasinya juga tak kalah serius. Selain identitasnya terungkap, bisa muncul kecurigaan BIN ikut bermain dalam ranah politik praktis mendukung rezim penguasa. Pemerintahan Jokowi bisa dikenakan tuduhan menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan badan intelijen untuk mengadu domba dan menciptakan konflik horisontal antar-elemen masyarakat. Bila hal itu terjadi di AS bisa memunculkan krisis politik yang sangat serius, dan pemerintahan jatuh.

Sebagaimana disampaikan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, mereka menyambut baik kedatangan Neno di Bumi Melayu Pekanbaru. Sementara para penghadang diketahui bukan orang Melayu. Mereka adalah etnis tertentu yang dikerahkan oleh kekuatan dan kelompok tertentu. Jadi ada upaya membenturkan pendukung dan penentang gerakan #2019GantiPresiden. Sebuah dugaan yang tidak main-main. Nah soal ini tampaknya perlu penjelasan lebih lanjut dari juru bicara BIN. Sudah kepalang transparan, semuanya harus dibuat lebih transparan lagi. End

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry