BANDUNG | duta.co – Prof Dr Ahmad Zahro, moderator halaqah ke-6 Komite Khitthah (KK) 26 NU yang berlangsung di PP Al-Qutub, Cipadung, Cibiru, Bandung, Rabu (6/3/2019), menyebut ini adalah halaqah paling ‘hidup’.
Bukan karena dihadiri banyak kiai, habaib dan akademisi dari berbagai daerah (seperti Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dll), tetapi halaqah ke-6 kali ini berhasil menginventarisasi masalah yang melilit NU secara komplet.
“Ini halaqah paling ‘hidup’. Kita tinggal merumuskan bagaimana cara menyelamatkan NU secepatnya dari tangan para politisi maupun kaum liberal yang merusak NU dari dalam. Silakan hadir dalam pertemuan tertutup Kamis 14 Maret, di PP Tebuireng. Kita bisa bicara sak katoke (sepuas-puasnya red.),” demikian Prof Dr Ahmad Zahro.
Halaqah ke-6 ini ditunggui tuan rumah, Prof Dr H Juhaya, S Praja, MA, pengasuh PP Al-Qutub dan KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) Ketua KK 26 NU. Dihadiri juga Kapolsek Cibiru, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Jayasman (sampai selesai). Sebelumnya dijelaskan oleh Prof Juhaya, bahwa acara ini juga ‘ditilisik’ wartawan. Kendati demikian, peserta halaqah tetap leluasa menyampaikan unek-uneknya.
Air Mata pun Tumpah
Habib Abdullah bin Ali Al Hadad dari Jakarta menyampaikan, bahwa, NU harus segera diselamatkan dari tangan para politisi. Hari ini, katanya, NU sudah dirusak oleh pengurusnya sendiri. Ini membuat semakin banyak orang membenci NU.
“Saya teringat kekhawatiran Al Habib Salim bin Djindan tahun 1965-an. Apa masih ada NU ke depan? Sekarang ini NU hanya besar di suaranya, orangnya gak ada. Kemana NU sekarang?” jelasnya sambil mengisahkan betapa PBNU hari ini sulit menggerakkan warganya.
Menurut Habib Abdullah, semua ini karena perbuatan pemimpin NU yang keluar dari relnya. NU sekarang sudah tidak seperti Kereta Api yang jelas rutenya, melainkan seperti taksi yang mudah dipesan (orang) sesuai kepentingan.
“Saya berharap KK ini bergerak cepat dan masif. Kita tidak mau NU diacak-acak. Sekarang ini pengurus NU tidak hanya merusak NU dari sisi politik, tetapi agama (aqidah) juga diacak-acak. Kita tidak rela NU dijadikan alat mencari duit. Kasihan para pendiri, beliau mengutuk kita. Kita tidak ingin NU seperti ini,” tegasnya.
Habib Abdullah juga menyesalkan politisasi organisasi (NU) yang dilakukan Ketum PBNU. Termasuk pernyataan tentang LBP (Luhut Binsar Panjaitan) yang disebutnya sebagai perwakilan NU di Kristen.
“Orang Kristen saja nggak mau seperti itu. Belum lagi soal tentara China yang, katanya tidak ada Indonesia kalau tidak ada China. Ini kelewatan dan wajib diganti. Sekarang, carilah presiden yang tidak mendukung kepemiminan dia. Jangan diam saja, Alhamdulillah ada komite khitthah, terus terang saya sedih melihat NU sekarang,” ungkapnya.
Hal yang sama disampaikan KH Hamdi Suyuthi Albdul Jabar, santri Kiai Hamid Baidlowi (Lasem-Jawa Tengah). Menurut Gus Hamdi, NU harus menjadi gerakan sipil, bukan gerakan politik partisan seperti ini.
“Saya ini diutus oleh Kiai Hamid untuk mencermati penyimpangan pengurus NU. Dan kita lihat sudah lama (pengurus) NU menyimpang. Saya selalu ikuti ceramah Kiai Said Aqil, dari sini jelas NU sudah dijangkiti paham Syiah. Jadi, NU Lasem sudah lepas diri dari PBNU sekarang,” tegasnya.
Menurut Gus Hamdi, bila NU masih dipegang orang-orang liberal, tidak akan lebih baik, justru lebih bejat. Semua ini akibat orang-orang liberal. Mereka ini tidak berhaluan ahlussunanah waljamaah. Ironisnya mereka berkolaborasi dengan kekuasaan.
“Karena itu, kalau ingin NU selamat jangan pilih 01. Kalau sampai 01 menang, NU tidak akan selamat. Mereka ini menghancurkan NU,” terangnya.
Suara lebih lantang disampaikan H Idris Sardi (Jakarta), Sekjen Aliansi Damai Anti Penistaan Islam. Dia berharap Gus Solah turun gunung. PBNU sekarang, menurutnya, hanyalah ranting dan daun, bukan akar. Jangan biarkan mereka merusak NU.
“Tolong Gus (Solah), panjenengan harus turun gunung. NU ini didirikan oleh kakek jenengan. NU sekarang sudah dijadikan kuda troya untuk kepentingan politik. Jangan diam. PBNU itu hanya ranting dan daun, bukan akar. Hanya sisa hari ini, tolong selamatkan NU,” tegasnya sambil menangis.
Suasana halaqah menjadi hening. Tak sedikit yang gagal menahan derai air mata. “Saya tidak ikut halaqah di Lasem. Tetapi saya berharap halaqah berikutnya di Jakarta, biar gaungnya lebih besar. Saya siap menjemput Gus Solah, di mana pun,” katanya lirih.
KH Hamim Badruz Zaman (Tulungagung) yang dikenal dengan istilah takzir, menyampaikan bahwa dirinya telah bertemu dengan kiai-kiai muda NU dan membahas masalah-masalah krusial yang telah dilakukan PBNU. Dari soal lepasnya baiat Rais Aam (menjadi Capres) sampai bahtsul masail Munas NU yang ‘mengamandemen’ kata ‘kafir’.
“Kita akan gelar batsul masail apakah politisasi PBNU, bahasan kafir, sejumlah pernyataan Kiai Said Aqil ini bertentangan atau tidak? Ini nanti kita bawa ke ulama sepuh. Lalu kita kirim ke pengurus NU karena mereka sudah bertentangan dengan ahlussunnah waljamaah. Kalau masih tidak digugu (digubris), ya sudah. Karena PBNU sekarang maunya sendiri. Coba simak, mana ada penghormatan kepada KH Hasyim Muzadi, fotonya saja tidak ada. Ini terlalu,” tegasnya.
Kiai Hamim juga menjawab soal opsi Pilpres 2019. Kalau dia mengusulkan takzir (hukuman) untuk Kiai Ma’ruf agar tidak dipilih, bukan berarti dirinya menjadi tim sukses 02. Aslinya, kita tidak urus dengan Pilpres, siapa presidennya, terserah.
“Yang penting jangan 01, karena 01 telah rorek-robek jatung NU. Kalau sampai 01 menang, maka, tidak ada celah benahi NU. Karena kita bisa dicap radikal. Kultural melawan struktural, itu radikal,” jelas Kiai Hamim.
Paling Bahaya adalah Muktazilah
KH Nur Maymoen bin Thoha, pengasuh PP Muftahul Ulum, Ambunten, Sumenep, Madura menjawab usulan putri Gus Dur yang menyarankan Komite Khitthah bergerak pada 2020. Ada juga yang meminta KK berjalan setelah Pilpres 2019.
“Kalau menunggu 2020 itu berarti kita ingin mendogkel kekuasaan PBNU. Tidak ada sama sekali. Bukan itu substansinya. Kita ini prihatin menyaksikan PBNU sampai ranting, sudah menyimpang dari rel yang digariskan muassis. Itu saja,” tegasnya.
Begitu juga harapan agar KK 26 NU berjalan setelah Pilpres, menurut Kiai Maymoen harapan tersebut muncul dari mereka yang penuh muatan politik. “Ibarat orang salat, ketika imam salah, harus cepat diingatkan. Jangan nunggu salam. Kalau tidak bergerak, penyimpangan semakin parah. Kini NU sudah keluar dari rel aslinya, apa kita rela?” tegasnya kepada duta.co.
Kiai Maymoen juga menyinggung pembahasan kata ‘kafir’ dalam Munas NU. Menurutnya ini menunjukkan betapa NU sudah menjadi alat politik. “Apa urgensinya? Apalagi dikaitkan dengan kriteria kafir (kafir dzimi, musta’man, muahad, dan harbi) tidak akan ketemu. Mengapa? Karena negeri ini bukan negara agama. Tidak perlu ilmu tinggi, ‘sundul langit’ untuk memahami ini. Bukankah kafir itu hanya ada di internal umat Islam? Masak tidak paham,” jelasnya.
Sementara Gus Hilmi Asshiddiqie dari PP Al-Hikam Depok, menyorot tajam soal penyelewengan aqidah ahlussunnah waljamaah dalam tubuh NU. Bahkan menurutnya, silsilah keilmuan hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mulai dibelokkan ke muktazilah.
“Kalau ditegur mereka bilang hoax. Padahal, faktanya mereka lakukan secara organisasi. Sumber terpercaya menyebut pangkaderan NU sudah disusupi muktazilah. Bahkan Munas NU masyaAllah, sudah berubah, bahtsul masailnya menggunakan kitab muktazilah. Karena itu, Komite Khitthah ini sangat dibutuhkan untuk mengembalikan NU pada relnya. Ingat pesan KH Ahmad Shiddiq, paling bahaya adalah muktazilah,” tegasnya. (mky)