Oleh Suparto Wijoyo
BERIBU buku telah terbit untuk membincang demokrasi yang bersukma rakyat berdaulat. Demokrasi dipilih sebagai jalan pemerintahan yang dianggitkan karenanya negara memanggulkan pesan kedaulatan warganya. Hingga yang diujarkan sangat nostalgia: Suara Rakyat Suara Tuhan. Seolah ini adalah mantra retorika yang sakti mandraguna dan mampu menuntaskan semua permasalahan. Demokrasi lazimnya mengalami masa-masa penyunggihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam lamunan para filosof Yunani Kuno. Praksis negara kota (polisi) yang mengusung penuh makna keterlibatan rakyat secara langsung disanjung menjadi opsi tunggalnya. Bukti sebuah polis bersandar pada kekuatan rakyat adalah dengan suara yang didengungkan pada “alun-alun kota” di mana kerumun daulat itu berkumpul mengumandangkan kehendaknya. Kehendak yang dipotret sebagai “titah suci” atas suara mayoritas, berapapun selisihnya yang berjumlah banyaklah yang menang dan diberi “dupa-dupa” mengubah nasib warga kota menuju yang diimpikan. Impian yang pernah diperjanjikan oleh para calon yang bertarung memperebutkan mandat di lapangan “teriakan”.
Sampai pada tingkatan ini, banyak orang lupa mengenai siapa yang mengumpulkan orang-orang itu berkerumun di “alun-alun kota” untuk memberikan suara dalam pemilihan langsung itu? Orang mengira bahwa kehendak umum itu terjadi bimsalabim tanpa ada kekuatan besar yang dinamakan “sang kuasa”. Sejatinya demokrasi itu hadir di “kotak suara” karena adanya kekuasaan yang telah melakukan tirani atas nama “keinginan alam” sebagai “takdir Tuhan”. Orang kuat inilah yang menciptakan hukum-hukumnya sendiri sesuai dengan yang dikarepk’e, sehingga demokrasi itu tidak lebih dari alat peneguhan kekuasan seseorang yang mengorganisir massa. Dengan demikian demokrasi adalah “tirani massal” yang dibalut dengan pemanis-pemanis yang acapkali begitu legit, walau nyatanya “terlalu manis itu” adalah “pahit yang mengiris”.
Sang penguasa yang tampak “tanpa lawan tanding” cenderung mengatur atas nama demokrasi dengan menciptakan mekanisme adanya pemilihan umum agar rakyat menunjuk wakil-wakilnya. Terhadap wakil-wakil inilah “sang sosok” memainkan perannya agar dapat melanggengkan kekuasaannya dengan memberikan batasan-batasan pencalonan, atau menentukan rambu-rambu areal pertandingan. Tidak ada yang paling berkuasa kecuali “kehendak yang telah dijustifikasi melalui prosedur hukum” oleh wakil rakyat. Padahal wakil rakyat yang bekerja itu adalah wakil kekuasaan yang dapat dibuktikan dari produk-pruduk kebijakannya. Penentuan “ambang batas” suara koalisi yang dapat mengusung calon pemimpin atau persyataan-persyaratan lainnya adalah “norma paling terang” adanya laku pemanfaatan hukum sebagai kaedah pembenar “melanggengkan kursinya”.
Kisah selanjutnya adalah munculnya kebijakan-kebijakan negara yang sesuai dengan kehendak sang penguasa seluruh instrumen negara. Kekerasan dan kekejaman normatif ituangkan dalam undang-undang yang notabene-nya adalah regulasi demokratis karena disetujui oleh wakil rakyat. Maka tidak usah risau tentang harga barang-barang kebutuhan publik yang melambung tinggi atau nilai tukar uang yang terjun bebas, bahkan nyaris seluruh janji kampanyenya didustai sewaktu “di alun-alun kota”. Pada lingkup ini yang terjadi adalah pengkhiatan demokrasi sambil mendayagunkan media yang semula netral kini berubah menjadi hulubalang yang sudah mengenyam nikmatnya “kuasa demokrasi”.
Pengingkaran visi-misi harus dipoles agar tidak lagi dibaca sebagai kegagalan berdemokrasi, melainkan inilah akibat dari “pemimpin yang membangun rindu dengan palsu” melalui citra diri yang disertai “juru kampanye” berteknologi. Dalam lingkup ini saya teringat buku penulis hebat yang selalu memikat, Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay: From The Industrial Revolution to The Globalization of Democracy (2016). Buku yang juga menyindir tentang masa depan demokrasi dalam kelindan politik yang rusak. Hari ini kita semua menyaksi betapa mahal demokrasi tetapi betapa mudah janji kampanye diabai, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Rakyatpun memuja penuh empati atas kerja yang dipanggulkan kepada “pengumpul suara di alun-alun kota”. Padahal kondisinya sudah sangat mencekik dengan daya ekonomi yang menjeritkan tangis. Pada titik ini saya membuka kembali cerpen apik karya Gabriel Garcia Marquez tahun 1982, pengarang asal Kolombia (1927-2014) ini, Maut Lebih Kejam daripada Cinta, pun saya menyadari adanya cinta yang membawa kekejaman kepada yang tidak memilihnya.
*Penulis adalah Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, danKoordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga