JAKARTA | duta.co – Debat capres kedua Minggu 17 Februari 2019 malam dinilai oleh Tony Rosyid –
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa – lebih bermutu. Juga lebih seru. Ini di antaranya karena, pertama, lebih berkualitasnya pertanyaan yang disiapkan.  Kedua, tema dalam debat terkait masalah-masalah yang fundamental. Yaitu pangan, energi, hutan, lingkungan dan infrastruktur.
Ketiga, kesiapan masing-masing capres. Sebagai incumbent, Jokowi siap data. Wajar, karena ada pengalaman. Dalam konteks ini, Jokowi “tampak” lebih menguasai.
Di sisi lain, Prabowo lebih kuat di visi kerakyatan. Filosofi yang dijadikan dasar visinya adalah program untuk rakyat, bukan rakyat untuk program.
Seperti dikutip dari RMOL.CO, Senin 18 Februari 2019, Tony memaparkan, dalam bahasa yang lebih parsial Prabowo bilang: infrastruktur untuk rakyat, bukan rakyat untuk infrastruktur. Ekonomi untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi. Prabowo mengoreksi semua kebijakan Jokowi menggunakan ukuran dampaknya terhadap kesejahteraaan rakyat.
Keduanya, baik Prabowo maupun Jokowi punya kekuatan, juga kelemahan masing-masing.
Di antara kelebihan Jokowi adalah bahwa ia punya data. Dan data-data itu cukup lengkap. Apakah data-data itu valid? Ini yang mesti dikoreksi. Soal akurasi dan validitas data, Jokowi seringkali punya masalah. Di sinilah kelemahan Jokowi. Dan rakyat paham itu.
Jokowi bilang sejak tiga tahun ini tak ada kebakaran hutan. Faktanya, media memberitakan hasil riset PKHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 14.604,84 Ha hutan terbakar di tahun 2016.
Di tahun 2017, hutan yang terbakar ada 12.127,49 Ha. Dan tahun 2018 ada 4.666.38 Ha.
Data Citra Landsat lebih parah lagi. 2016 ada 438.361 Ha. 2017 ada 165.482. Dan hingga Agustus 2018 ada 71.958 Ha lahan hutan terbakar. Kenapa dibilang tak ada kebakaran? Inilah yang dikritik keras diantaranya oleh Greenpeace Indonesia. Di sinilah kelemahan Jokowi dari dulu. Overclaim. Suka ngasal.
Begitu juga ketika Jokowi bilang bahwa 2018 kita impor 180 jagung. Sementara data BPS mengungkapkan bahwa impor jagung mencapai 737.228 ton. Lah? Kok beda? Lalu, dari mana data itu didapatkan?
Jokowi bilang tidak ada konflik dalam pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur. Jawa Pos merilis ada 659 kasus konflik lahan di 2017. Di antaranya adalah konflik perluasan lahan Bandara Sultan Hasanuddin.
Data yang diungkap Jokowi banyak terkonfirmasi salah. Apakah Jokowi lupa? Atau sengaja? Apapun faktornya, ini tak semestinya terjadi. Sebab, ia presiden dan juga calon presiden. Kesalahan data berbahaya, terutama ketika dijadikan referensi untuk program berikutnya. Maka, semua data-data itu sebaiknya memang perlu dicek ulang.
Prabowo memilih tidak banyak bicara soal angka. Ini yang harus dievaluasi timses Prabowo untuk debat berikutnya. Karena bisa menimbulkan persepsi negatif bagi publik.
Prabowo akan dianggap tidak menguasai. Padahal, soal data dan angka, itu urusan tim debat dan mudah diakses. Tinggal googling, kebuka semuanya. Hanya soal mau atau tidak untuk mengungkapkannya. Tapi tetap perlu, karena debat adalah area merebut persepsi rakyat.
Prabowo kuat di aspek nasionalisme dan program kerakyatan. Inilah basis filosofi yang nampaknya ingin dijadikan prinsip dasar bagi semua program dan kebijakannya.
Semua program yang diungkapkan Prabowo selalu diukur dari seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan rakyat.
Berulangkali Prabowo menegaskan semua program dan kebijakan harus diorientasikan untuk rakyat. Apakah itu terkait pangan, energi, infrastruktur, kebijakan masalah hutan dan lingkungan hidup mesti diukur sebesar apa keperuntukannya bagi kesejahteraan rakyat.
Baik rakyat itu petani, nelayan, buruh atau pedagang yang saat ini seringkali dijadikan korban atas nama pembangunan infrastruktur.
Jika ukuran debat ini adalah visi dan orientasi kerakyatan, Prabowo unggul. Begitu juga soal kejujuran. Dalam konteks ini, Prabowo lebih jujur. Bahkan demi kejujuran itu Prabowo berani mengapresiasi dan mengakui prestasi lawan debat.
Satu sisi ada yang kecewa. Tapi, ini adalah sikap kenegarawanan yang layak diapresiasi.
Dua kali Prabowo tidak memberi tanggapan karena menganggap narasi dan konsep kedua kandidat sudah dianggap cukup untuk jadi solusi program.
Di sini nampak orientasi Prabowo bukan pada debat itu sendiri, atau sekedar urusan kalah-menang dan memuaskan pendukung, tapi lebih pada program solutif bagi persoalan yang dihadapi bangsa. Pesan ini yang kuat.
Tapi, jika yang diukur adalah data, penampilan Jokowi “kelihatan” lebih menguasai. Dia incumbent. Sayangnya, dan betul-betul sangat disayangkan, banyak data yang keliru. Ini di persepsi publik, bisa sangat fatal.
Karena akan dianggap sebagai sebuah kebohongan yang hanya untuk sekedar mencari simpati rakyat. Sekedar untuk menang dalam debat.
Pelajaran yang bisa diambil dari debat kedua ini, sekaligus kritik kepada kedua capres, bahwa calon pemimpin, terutama pemimpin bangsa, mesti punya integritas kuat dan kompetensi yang memadai.
Integritas titik fokusnya kepada kejujuran dan komitmen kerakyatan. Apapun program, harus pertama, berbasis pada data yang benar. Tidak boleh ngasal, apalagi bohong.
Kedua, harus berorientasi pada kepentingan rakyat. Terukur dampaknya bagi kesejahteraan rakyat, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Sementara kompetensi menuntut paslon paham terhadap masalah dan punya solusi strategis untuk mengatasi masalah itu. Bukan sekedar hafal angka-angka, kendati itu tetap diperlukan.
Setelah debat ini, semua akan dikembalikan kepada rakyat. Tepatnya, para pemilih. Kepada siapa mereka lebih percaya?
Apakah debat ini punya pengaruh elektabilitas? Pasti! Berapa besar? Tentu survei yang akan mengukurnya. Yang perlu disadari bahwa variabel yang mempengaruhi elektabilitas bukan cuma debat. Debat hanya salah satunya.
Banyak variabel di luar debat yang ikut berkontribusi terhadap elektabilitas. Besar kecilnya, bergantung dinamika psikologis, sosiologis dan rasionalitas para pemilih.
Pengaruh elektabilitas akan sangat ditentukan oleh kecenderungan pemilih. Rakyat yang punya kecenderungan pada kejujuran, integritas dan komitmen kerakyatan, besar kemungkinan akan pilih Prabowo. Tapi jika pemilih lebih cenderung ke pembangunan infrastruktur, maka kemungkinan akan pilih incumbent.
Namun demikian, integritas dan komitmen kerakyatan, bagaimanapun tetap jauh lebih urgen dan mendasar dalam menjaga kedaulatan bangsa terutama untuk jangka panjang, dari pada kompetensi. Sebab, kompetensi bisa diasistensi oleh para pakar dan tim ahli kepresidenan.
Beda dengan integritas dan komitmen, karena ini menyangkut moral dan karakter personal pemimpin. Dalam konteks ini, Prabowo lebih unggul. (RMOL)
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry