“Perang mendatang tak cuma melibatkan serdaru organik. Namun, perang siber (sistem bersama rakyat) melibatkan warganegara yang cerdas, jeli, cermat serta taktis dalam mengelola algoritma.”
Oleh Rosdiansyah
NEGARA kita punya pengalaman sejarah perang yang unik. Perang yang melibatkan seluruh warga. Bukan hanya melibatkan tentara organik, namun warga juga ikut secara totalitas ke medan laga. Pertempuran Ambarawa, pertempuran Bandung, termasuk pertempuran fenomenal di Surabaya 10 November 1945.
Semua pertempuran itu melibatkan warga. Dan itu perang fisik. Senjata tempur sederhana melawan tank, panser dan pasukan regular penjajah yang hendak kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
Wajar jika kemudian hari, konsep perang total dalam sejarah kita itu kemudian melahirkan doktrin ”Sistem Pertahanan Rakyat Semesta” (Sishanrata).
Doktrin ini kemudian tumbuh kembang menjadi doktrin bela negara, yang menjadi kewajiban seluruh warganegara. Dalam situasi masa kini, ketika warganegara juga aktif di jagat internet. Aktif berselancar di dunia maya. Maka, wujud bela negara itu menjadi seperti ”Sistem Bersama Rakyat” (Siber).
Persis sebutan sohor kepada berbagai kegiatan yang menggunakan komputer, jaringan internet, teknologi komunikasi dan informasi. Sedangkan, diksi ”siber” sesungguhnya berasal dari kajian-kajian komputer dan mesin yang sudah digunakan oleh matematikawan MIT, Norbert Wiener, pada akhir dekade ’40an.
Istilah siber saat itu mengacu pada kajian sistem kendali dan komunikasi antara manusia dan mesin. Diantaranya, bagaimana mekanisme mesin harus sejalan dengan apa yang diinginkan manusia. Hal ini berkaitan pada filosofi dasar, kehadiran mesin adalah untuk manusia. Ketika mesin hadir dalam sejarah peradaban umat manusia, peran dan fungsi mesin memang ditujukan membantu kerja-kerja umat manusia untuk produktivitas. Filosofi ini tetap dipegang, termasuk saat kajian hubungan antara kendali manusia pada mesin mulai menjadi kajian tersendiri.
Diksi ”siber” sendiri merujuk pada kata sibernetika. Diksi ini berasal dari bahasa Yunani ”Kubernetes”. Bermakna pengendali dan ditujukan pada siapa saja yang menekuni sains komputer, teknologi dan ilmu-ilmu yang berkaitan pada komputer dan mesin. Belakangan, kata ”siber” juga diarahkan pada segala sesuatu yang berkait dengan pemakaian internet. Termasuk pemanfaatan internet untuk sistem pertahanan serta keamanan. Maka, berbagai istilah baru semburat dalam dua dekade ini. Diantaranya ”cyberwarfare” (perang siber). Perang canggih, bukan sekadar pamer senjata. Tak semata mempertontonkan perangkat militer.
Dua pakar keamanan internasional dari King’s College, UK, Tim Stevens, dan Joe Devanny, memaparkan bahwa selama 40 tahun belakangan ini jaringan komputer lintas negara merupakan sarana penting dalam perang siber. Jika semula jaringan itu selalu dianggap sebagai cara warga dunia saling berkomunikasi, selalu berinteraksi dan terhubung bersama. Namun, kenyataannya kini, jaringan itu justru bisa berubah menjadi sarana melumpuhkan lawan. Bisa dimanfaatkan meruntuhkan negara rival.
Itulah salah-satu esensi dari perang siber. Perang masa kini dan mendatang. Beberapa konflik dan pertikaian antarnegara kurang memiliki dimensi ‘siber’, seperti yang dipertontonkan dalam ‘perang panas’ Rusia lawan Ukraina sejak 2014, seperti halnya perang dingin antara Tiongkok dan Taiwan atau India dan Pakistan. Tujuan utama dari aktivitas yang dikelompokkan bersama sebagai ‘perang siber’ mengarah pada satu pernyataan sederhana: jika negara atau populasi target memiliki infrastruktur atau ketergantungan digital, hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan dampak sejalan dengan tujuan operasional dan strategis aktor tertentu. Oleh karena itu, kemampuan siber umumnya dilihat sebagai bagian dari perangkat tiap negara saat ini, yang dianggap sebagai instrumen lain dari kekuatan nasional.
Layaknya perang konvensional yang melibatkan aktor dan lembaga intelijen dan aksi-aksi penyadapan, manipulasi, propaganda serta agitas. Maka, perang siber yang dikupas oleh 36 pakar dalam buku ini juga menyoroti aksi-aksi sejenis tapi memakai jaringan internet. Seperti sabotase siber, subversi, dan spionase siber terjadi di mana-mana, dilakukan oleh berbagai aktor, dan hanya beberapa diantaranya yang merupakan lembaga negara. Yang dalam proses pemaduannya kemudian menciptakan kesan konflik digital global yang berlangsung di mana-mana mendekati perang konvensional. Hal ini mengadu domba negara-negara, yang badan militer dan intelijennya – dan proksi korporat dan kriminalnya – terlibat dalam aksi saling serang dan bertahan yang terus-menerus yang bertujuan untuk mengacaukan, melemahkan, dan mempermalukan lawan-lawan mereka.
Akhirulkalam, perang di masa mendatang tak cuma melibatkan serdaru organik yang sudah terlatih secara fisik. Namun, perang siber (sistem bersama rakyat) di masa mendatang justru juga melibatkan warganegara yang cerdas, jeli, cermat serta taktis dalam mengelola algoritma. Selamat datang di era perang siber.*