
“Lepas dari Resolusi Jihad Kita Menuju Revolusi Inovasi. Inilah Jihad Ulama, Santri, dan Arsitektur Spirit Bangsa di Era Baru.”
Oleh Dr H Romadlon Sukardi, MM*
DALAM setiap lembar sejarah perjuangan bangsa, selalu ada ruh yang tak terlihat namun terasa—ruh spiritualitas yang menyalakan api keberanian, mempersatukan perbedaan, dan meneguhkan keyakinan bahwa kemerdekaan adalah amanah, bukan hadiah. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 bukan sekadar fatwa ulama, tetapi merupakan percikan kesadaran kolektif bahwa mempertahankan tanah air adalah bagian dari ibadah. Di sanalah spiritualitas dan nasionalisme menyatu; di sanalah darah, doa, dan tekad menjadi satu ikrar suci untuk Indonesia merdeka.
Tujuh dekade lebih setelah kobaran pertempuran 10 November 1945 mengguncang Surabaya, bangsa ini kini berada di medan juang yang berbeda: bukan lagi pertempuran bersenjata, melainkan pergulatan ide, data, dan inovasi. Di era ketika dunia digerakkan oleh kecerdasan buatan, big data, dan algoritma, semangat jihad para ulama menemukan bentuk barunya—jihad intelektual dan revolusi inovasi. Ulama dan santri kini memegang peran strategis sebagai arsitek nilai di tengah derasnya arus digitalisasi, menjaga agar kemajuan teknologi tidak kehilangan arah spiritual dan moralnya.
Maka, peringatan Hari Pahlawan bukan hanya soal mengingat masa lalu, tetapi juga membaca masa depan. Dari Resolusi Jihad menuju Revolusi Inovasi, bangsa ini dipanggil untuk menafsirkan ulang makna perjuangan dalam konteks baru—menyatukan ilmu, iman, dan inovasi untuk membangun Indonesia Emas 2045. Karena perjuangan tidak pernah usai; ia hanya berganti bentuk, dari medan perang ke medan pengetahuan, dari bambu runcing ke algoritma, dari takbir kemenangan ke visi peradaban.
Peristiwa Monumental Resolusi Jihad
Di sepertiga akhir tahun 1945, Indonesia sedang berdiri di ambang zaman baru: Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus telah diketuk pintunya, namun rapuh dan penuh tantangan. Di sisi lain, kekuatan kolonial lama dan pasukan Sekutu bergerak kembali ke Nusantara, mencoba mengukuhkan dominasi yang hendak lepas dari genggaman mereka. Dalam gejolak zaman tersebut muncul suara yang tak hanya meneriakkan nasionalisme, tetapi juga spiritualitas: seruan para ulama untuk mempertahankan “tanah dan agama”. Salah satu sikap paling monumental tercatat dalam Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh KH Hasyim Asy’ari.
Tak lama kemudian, kota pahlawan menggelegar: Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menjadi simbol nasional, pengumpulan energi rakyat, milisi, santri, ulama dan berbagai lapisan masyarakat yang bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja direngkuh.
Hari ini, saat kita memperingati Hari Pahlawan setiap 10 November, tidaklah cukup hanya mengenang masa lalu. Kita ditantang untuk menghubungkan penghormatan itu dengan konteks kekinian—era digital, revolusi industri 4.0, masyarakat informasi—dan menautkannya dengan visi masa depan: Indonesia Emas 2045. Karena di balik lonceng historis ada benang spiritual yang memanggil kita untuk terus bergerak, melampaui nostalgia, meneguhkan ulama sebagai energi abadi, bukan hanya sebagai golongan yang memandang ke belakang.
Tulisan ini hadir sebagai narasi mendalam: menuturkan alur sejarah dari masa perjuangan kemerdekaan hingga munculnya Resolusi Jihad dan pertempuran Surabaya, menautkannya dengan relevansi di era kini, dan menegaskan visinya untuk masa depan. Narasi ini bersifat kontemporer, elegan, human-interest, dan futuristik—mengajak pembaca bukan hanya menyaksikan sejarah, melainkan aktif merenungkan warisan spiritualnya dan mewariskannya ke generasi digital yang bergerak cepat.
Dari Penjajahan ke Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, kondisi nasional masih sangat rapuh. Jepang telah menyerah, namun administrasi dan militer kolonial lama belum sepenuhnya lenyap, dan kekuatan Sekutu dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mulai memasuki kembali wilayah Indonesia.
Di kota-kota besar seperti Surabaya, situasi menjadi sangat genting: perlawanan rakyat, upaya merebut senjata Jepang, dan munculnya kenyataan bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan belum diakui secara luas maupun diamankan secara praktis.
Dalam konteks itulah suara para kiai dan santri muncul sebagai elemen internal perjuangan yang membawa dimensi spiritual ke dalam medan nasional. Fatwa dan resolusi tidak semata lambang ritual, melainkan penggerak moral dan sosial yang nyata. Pada 22 Oktober 1945, melalui Resolusi Jihad, Nilai Kejuangan NU (Nahdlatul Ulama) secara teologis menetapkan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari kewajiban agama.
Resolusi tersebut antara lain menyatakan: “… supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Dengan demikian, perjuangan rakyat tak hanya soal nasionalisme semata tetapi juga tentang iman dan tanggung-jawab kolektif: “hubbul wathon minal iman” – cinta tanah air bagian dari iman. Ini menjadi salah satu pendorong utama ketika peristiwa besar di Surabaya meletus.
Puncak Perjuangan: Pertempuran 10 November dan Maknanya
Tanggal 10 November 1945 kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan karena hari itu menjadi puncak perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya melawan pasukan Inggris dan NICA.
Latar belakangnya sangat dramatis: penggempuran dimulai setelah Brigadir Jenderal Mallaby tewas pada 30 Oktober, yang memicu ultimatum dari pihak Inggris bahwa Surabaya harus menyerah sebelum pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut ditolak oleh rakyat Surabaya.
Pertempuran berlangsung selama kurang lebih tiga minggu, dengan korban yang besar — sejumlah rakyat sipil, santri, milisi dan pejuang garis depan gugur, kota hancur, namun semangat tak pudar.
Yang terpenting bagi narasi ini adalah bahwa ini bukan hanya soal senjata atau kekerasan belaka, melainkan soal persatuan, tekad, pengorbanan dan spiritualitas yang menyatu. Pasukan santri, milisi rakyat, ulama bersama masyarakat sipil beroperasi bukan sebagai sekadar petempur, tetapi sebagai garda spiritual yang memandang perjuangan sebagai amanah.
Akibatnya, kota Surabaya kemudian mendapat julukan “Kota Pahlawan”, dan bangsa ini menetapkan 10 November sebagai hari untuk menghormati para pahlawan yang telah memberi jiwa raga demi kemerdekaan.
Dalam interpretasi kontemporer: peristiwa ini mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan selesai pada teks proklamasi, melainkan terus diperjuangkan dalam bentuk keberanian moral, spiritual, dan sosial.
Relevansi Kini: Era Digital, Transformasi Sosial dan Spiritualitas Ulama
Memasuki abad ke-21, Indonesia berada di tengah perubahan cepat: revolusi digital, industri 4.0, tantangan globalisasi, perubahan iklim, pergeseran nilai sosial dan budaya. Dalam konteks ini, warisan 10 November dan Resolusi Jihad memiliki tiga relevansi utama:
- Spiritualitas sebagai energi kolektif — Pemikiran para ulama seperti KH Hasyim Asy’ari tidak hanya relevan sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai inspirasi bahwa spiritualitas, nilai moral, dan tanggung-jawab sosial tetap menjadi fondasi bersama di tengah zaman yang sangat teknologi-terfokus. Ulama bukan nostalgia masa lalu, tetapi agen perubahan yang terus memancar.
- Persatuan dalam keberagaman dan kolaborasi antar-generasi — Seperti halnya santri, rakyat, ulama dan elemen bangsa bersatu di Surabaya 1945, kini kita ditantang untuk bersinergi lintas generasi: generasi baby boomers, Generasi X, Millennial, Gen Z dan generasi mendatang dalam ruang digital, ruang pembelajaran daring, ruang publik global. Peringatan 10 November menjadi katalis bahwa “bersatu” bukan sekadar slogan, tetapi tindakan nyata di ruang yang terus berkembang.
- Visi masa depan dan inovasi berlandaskan nilai — Era kini menuntut inovasi teknologi, ekonomi digital, sosial inklusif, tetapi tanpa melepas jati-diri dan spiritualitas. Nilai-nilai perjuangan 1945 bisa diterjemahkan ke dalam etos kewirausahaan sosial, pemanfaatan teknologi untuk kemanusiaan, dan transformasi digital yang tidak mengabaikan manusia. Dengan demikian, kita bisa menuju visi besar: Indonesia Emas 2045.
Indonesia Emas 2045 dan Warisan 10 November
Indonesia Emas 2045—tujuan bahwa dalam 100 tahun kemerdekaan Bangsa Indonesia akan menjadi negara maju, berkeadilan, berdaya saing, dan bermartabat. Untuk mencapai itu, warisan 10 November mampu memberi fondasi:
Etos pengorbanan dan keberanian: bahwa kemajuan bukan hanya tentang ekonomi tetapi kesiapan mengambil risiko sesuai prinsip.
Nilai spiritual dan moral sebagai penopang inovasi: ketika teknologi berkembang, nilai‐nilai seperti kejujuran, solidaritas, keadilan, dan tanggung‐jawab sosial menjadi bahan bakar kesuksesan berkelanjutan.
Respons terhadap tantangan global dengan kompas sejarah dan budaya: ketika bangsa melangkah ke dunia digital, otomatisasi, kecerdasan buatan—kita wajib tetap berakar pada identitas, jati diri dan nilai luhur perjuangan.
Dengan demikian, bukan sekadar mengenang 10 November sebagai hari berhenti, melainkan sebagai hari untuk me‐restart visi kolektif bangsa: bahwa setiap generasi memiliki bagian dalam kisah panjang kemerdekaan, transformasi, dan masa depan.
Kesimpulan & Penutup
Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah salam dari masa lalu kepada masa kini dan masa depan: bahwa kemerdekaan Indonesia dirajut dari darah, iman, pengorbanan, dan semangat yang melampaui satu generasi. Dari Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari hingga medan Surabaya yang membara, kita belajar bahwa spiritualitas ulama bukan hanya artefak sejarah, melainkan energi abadi yang bisa mendorong bangsa ini melangkah dalam era digital dan menuju Indonesia Emas 2045.
Di era yang digerakkan oleh algoritma, jaringan, dan data, jangan hanya kita menjadi pengguna teknologi, tetapi pelaku yang berlandaskan nilai, berjiwa besar, dan berpikiran ke depan. Karena seperti perjuangan rakyat, santri, dan ulama di 1945: kemerdekaan adalah proses berkelanjutan, bukan hasil yang statis.
Pada hari ini, marilah kita tafakuri bahwa warisan 10 November adalah ajakan: untuk menghidupi nilai, menggerakkan inovasi, dan melangkah bersama generasi mendatang dengan semangat persatuan, keberanian dan tanggung-jawab sosial. Dengan demikian, kita tidak hanya mengenang pahlawan; kita menjadi pahlawan masa depan.
Selamat memperingati Hari Pahlawan 2025: mari kita sambut masa depan dengan bekal masa lalu, dan menorehkan sejarah baru bagi generasi mendatang.(*)
*Dr H Romadlon Sukardi, MM adalah Ketua Komisi Hubungan Ulama Umara MUI Jatim, Wakil Ketua PW DMI Jatim, serta Mantan Aktivis PMII, PW GP Ansor Jatim dan PWNU Jatim serta mantan Sekretaris Redaksi Majalah NU AULA.





































