Budhi Setianto – Dosen Fakultas Kesehatan

SEJAK  2010 lalu, Indonesia telah melakukan reformasi yang signifikan pada sektor kesehatan khususnya rumah sakit. Penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia dengan menjamin akses rumah sakit kepada setiap warga Indonesia melalui jaminan kesehatan sosial (universal coverage).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah diamanahkan untuk mewujudkan misi tersebut dengan memperluas jumlah masyarakat yang memiliki asuransi khususnya masyarakat miskin yang ditanggung jaminan kesehatannya oleh pemerintah pusat dan daerah.

Seiringan dengan pelaksanaan JKN, pemerintah telah mengubah metode pembayaran rumah sakit dari metode retrospective kepada prospective melalui adopsi Indonesian Diagnostic Related Groups (INA-DRGs). Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Pada 2014, BPJS Kesehatan memperkenalkan Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) yang menggantikan Indonesian Diagnosis Groups (INA-DRGs). Secara operasional, kedua sistem tersebut sama yaitu rumah sakit dibayar berdasarkan diagnosa utama pasien dan tidak tergantung kepada berapa lama hari rawatan, jenis tindakan yang dilakukan dan biaya yang keluarkan rumah sakit. Sehingga sistem pembayaran ini dikenal dengan sistem paket.

Penggunana metode pembayaran INADRGs/ CBGs merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi setiap rumah sakit di Indonesia.

Risiko keuangan akibat lonjakan biaya pengobatan pasien yang dulunya ada di lembaga asuransi kini berpindah ke rumah sakit karena pada sistem pembayaran DRGs, asuransi (BPJS Kesehatan) memiliki tarif yang sama untuk setiap kasus penyakit dengan kesamaan diagnosa utama terlepas dari perbedaan jumlah hari opname dan biaya aktual yang dikeluarkan oleh rumah sakit.

Setelah lebih dari 5 tahun penerapan INA-DRGs/ CBGs, rumah sakit dan BPJS Kesehatan melaporkan kerugian. Di satu sisi, sejumlah rumah sakit mengeluh akan kecilnya tarif BPJS Kesehatan sehingga menganggu keuangan rumah sakit, terutama rumah sakit swasta.

Di sisi lain, BPJS Kesehatan mengeluhkan tingginya tingkat klaim rumah sakit sehingga berujung kepada defisit keuangan yang mencapai puluhan triliun rupiah. Saling klaim ini menimbukan polekmik berkepanjangan sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam terkait cost recovery rate (CRR), tarif BPJS Kesehatan dan pengendalian biaya di rumah sakit.

Penelitian terkait dampak INA-DRGs/CBGs dan pengendalian biaya rumah sakit rumah sakit Indonesia masih relatif jarang dilakukan. Sejumlah penelitan menemukan bahwa tarif INA-CBGs tidak mampu menutup klaim rumah sakit.

Misalnya, Budiarto & Sugiharto (2013) melakukan penelitian pada pasien Jamkesmas yang dirawat dengan diagnosa penyakit jantung koroner pada di 10 rumah sakit vertikal. Penelitian tersebut menemukan bahwa secara akumulasi tarif BPJS Kesehatan lebih besar dari pada klaim rumah sakit.

Sebaliknya, beberapa penelitian lainnya menemukan hal yang berbeda. Misalnya, Handayani et al. (2018) menemukan bahwa tarif 84 RS umum BLU/BLUD secara umum lebih rendah daripada tariff INA-CBGs. Penelitian lain menunjukkan secara kumulatif besaran tarif BPJS Kesehatan lebih kecil daripada klaim rumah sakit untuk pasien dengan diagnosa utama penyakit jantung coroner.

Beberapa penelitian menemukan bahwa sejumlah kasus di rumah sakit memiliki tarif yang lebih tinggi daripada pembayaran BPJS Kesehatan sedangkan kasus yang lain, misalnya dengan tingkat keparahan yang lebih rendah, tarif rumah sakit masih lebih rendah daripada tarif INA-CBGs.

Penelitian ini memiliki 2 tujuan yaitu (1) menganalisis cost recovery rate (CRR) yaitu kemampuan tarif BPJS Kesehatan menutup klaim biaya pasien rumah sakit dan yang kedua mengevaluasi strategi pengendalian biaya di rumah sakit pemerintah pasca penerapan INA-DRGs/CBGs, *