Abdul Wahid adalah Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Terorisme.

“Janganlah Corona dijadikan “momentum” pengembangan dan perburuan keuntungan ekonomi. Kalau kita tidak bersama melawan Corona, jangan disalahkan jika kita bisa mati bersama-sama dengannya.”

Oleh: Abdul Wahid*

AKIBAT serangan virus Corona  atau COVID-19 yang mendunia, banyak negara,  sejumlah orang, organisasi atau pihak tertentu yang terkena kegagapan dalam mengambil langkah (kebijakan), yang secara langsung maupun tidak langsung, menimbulkan kerugian bagi hak asasi manusia (HAM).

Hak beragama seperti menjalankan ibadah umroh, hak mengembangkan diri dalam bentuk melakukan riset atau memenuhi call for paper  ke sejumlah negara, dan hak lainnya, menjadi gagal terwujud, setidaknya ”dimoratorium” sampai waktu yang tidak ditentukan.

Bukan itu saja, demi alasan keamanan, keselamatan, dan kesehatan, beberapa lembaga pendidikan juga melarang sejumlah dosen, karyawan, atau mahsiswanya untuk melakukan kunjungan keluar negeri. Larangan ini tentu saja mengakibatkan upaya memprogresifitaskan dunia keilmuan (Iptek) menjadi terhambat.

Reaksi yang ditunjukkan subyek sosial atas sejumlah larangan memang beragam, akan tetapi secara umum menyayangkan ketika yang dilarang berelasi dengan kepentingan ibadah, riset, call for paper, atau penggalian dan pembangan Iptek. Larangan demikian mengakibatkan kemarahan seseorang atau sekelompok orang, karena dinilainya sebagai bentuk pelanggaran HAM serius.

Meski begitu, ada banyak pihak lain yang menyebut, bahwa larangan yang dikeluarkan berbagai institusi, termasuk negara, juga berlogika HAM dan sangat realistis, artinya pelarangan atau penundaan ini demi kepentingan publik yang bersifat makro seperti perlindungan hak kesehatan, keselamatan, dan nyawa banyak, yang memang harus diprivilitaskan.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau dikenal dengan DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) disebutkan, bahwa pengingkaran dan pelecehan (disregard and contempt) terhadap hak manusia telah menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan biadab yang telah menimbulkan kemarahan kesadaran umat manusia, dan bahwa munculnya dunia di mana ummat manusia dapat menikmati kebebasan untuk berbicara dan menganut kepercayaan (freedom of speech and belief) dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan (kemiskinan) telah diproklamasikan sebagai aspirasi bagi semua orang.

Dalam UDHR tersebut sudah jelas disebutkan tentang kewajiban manusia dan negara untuk memperlakukan manusia secara beradab, dan bukan perlakuan-perlakuan yang bercorak ketidakadaban. Perilaku tidak beradab atau pengebirian HAM, dapat melahirkan dan masifnya tindakan-tindakan berpola dehumanitas baru yang tentu saja juga berkategori melanggar HAM.

Sayangnya, meski sudah ada garis norma HAM yang mengajak setiap pihak berperilaku beradab, memanusiakan manusia, atau mencegah berbagai perbuatan buruk yang menyakiti sesama, toh masih banyak pelanggaran HAM. Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk dalam relasinya dengan kasus virus Corona tetap saja mengiringi langkah sejumlah negara  atau pihak yang bereksperimen menjadikan virus ini sebagai ”keprihatinan” yang bisa mendatangkan keuntungan banyak.

Di beberapa orang atau pihak ”keprihatinan” publik terhadap Corona ditempatkannya sebagai ”berkah”, sehingga mereka ”menyabotase” kepentingan publik, yang mengakibatkan terjadi disharmonisasi atau instabilisasi pasar, seperti kelangkaan barang-barang berharga atau produk makanan atau minuman yang mestinya sangat bermanfaat untuk mencegah Corona.

Mereka yang melakukan dehumanisasi itulah yang terbilang sebagai pelanggar HAM serius, pasalnya perilakunya secara langsung atau tidak langsung telah ikut ”mendukung” terjadi dan masifnya Corona. Inilah yang dalam UDHR diatas layak dimasukkan dalam rumpun perbuatan ”ketidakadaban baru”.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah  mengumumkan bahwa virus Corona yang tengah merebak saat ini bisa dikategorikan sebagai pandemi global. Pernyataan itu diumumkan Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam konferensi pers yang berlangsung pada Rabu (11/3/2020).

Tedros menyebut, bahwa virus Corona sebagai pandemi global setelah jumlah infeksi di seluruh dunia mencapai lebih dari 121.000. Selain itu, berdasarkan data dari Universitas John Hopkins, terdapat 4.373 korban meninggal, dengan 66.239 lainnya dinyatakan sembuh.

Tedros menyoroti kasus di luar negara asal wabah, China, yang meningkat hingga 13 kali lipat, dengan jumlah negara yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat.Dia menuturkan bahwa peningkatan signifikan virus dengan nama resmi SARS-Cov-2 itu terjadi dalam waktu dua pekan.

Menyikapi apa yang disampaikan Tedros itu, idealitasnya setiap subyek masyarakat global memahami, bahwa ketika kondisi Corona masih masif, seharusya bukan malah menciptakan pola dehumanisasi gaya baru dengan menciptakan disharmonisasi dan instabilasi pasar, melainkan menciptakan pasar humanistic (berkemanusiaan)  dan inklusif yang membuat setiap subyek masyarakat global  terproteksi hak kesehatan dan  keberlanjutan hiupnya.

Kesadaran Banyak Pihak

Dalam Artikel 5 UDHR diingatkan, bahwa tidak seorang pun boleh disiksa (torture) atau mendapat hukuman dan perlakuan yang kejam, tidak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman or degrading treatment). Kata ” tidak berperikemanusiaan” ini merupakan bentuk peringatan serius, bahwa para pelaku politik, khususnya pengusaha ”jangan memproduksi ketidakadaban baru” di tengah masyarakat. Mereka wajib mencerdaskan dirinya, bahwa setiap subyek di masyarakat membutuhkan proteksi HAM-nya, khususnya hak kesehatan dan keselamatan.

Dalam pasal 1 angka (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, bahwa HAM itu seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

Pasal 4  UU HAM lebih jelas menyebutkan, bahwa manusia itu punya ”hak untuk hidup”, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.

Kalau hak  itu sampai diabaikan atau dipermainkannya, maka perbuatan demikian ini layak digolongkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang bersifat serius. Baik ada kesengajaan maupun karena faktor kelalaian, pihak yang melakukannya dapat diperlakukan sebagai ”penjahat” HAM yang bersifat fundamental, apalagi jika akibat perbuatannya, prevensi terhadap Corona gagal dilakukan.

Dalam pasal 9 UU HAM lebih mempertegas, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (ayat 1). Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (ayat 2), dan  setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (ayat 3).

Atas dasar itu, maka yang sangat kita harapkan adalah kesadaran banyak pihak terhadap politik preventif dan edukatif terhadap Corona. Janganlah Corona dijadikannya sebagai bagian dari “momentum” pengembangan dan perburuan keuntungan ekonomi. Kalau kita tidak bersama melawan Corona, jangan disalahkan jika kita bisa mati bersama-sama dengannya.

*Abdul Wahid adalah Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Terorisme.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry