“Nabi Muhammad SAW bersabda: “Meratanya azab atau bencana adalah meratanya kejahatan manusia”. Sabda ini mengajarkan bahwa sesuatu yang buruk (Covid-19) itu disebabkan oleh hal-hal buruk yang mempengaruhinya.”
Oleh: Abdul Wahid*
DALAM agama, bencana semacam virus Corona (Covid-190 yang, sedang menjadi ancaman atau “horor” masyarakat global, ini diidentikkan sebagai ujian (eksaminasi) supaya setiap manusia merekonstruksi tingkat “dzikirnya” kepada Yang Maha Kuasa.
Di dunia ini, sudah berkali-kali Allah SWT menjadikan beragam bencana sebagai “rasul” yang menguji dan mengajak “dzikir” manusia negeri ini. Ini penting supaya manusia merehabilitasi segala sepak terjang perilaku berpola kekejian, atau ragam kriminalitas yang “diproduksinya”.
Manusia sekarang terbaca sangat liberal dalam menjalani kehidupannya. Mereka memilih apa yang dianggap bisa menyenangkan dan memuaskannya, yang opsi ini terkadang paradoksal dan bahkan “membusukkan” norma-norma etika dan religiusitas.
Mereka itu diingatkanNya supaya mengonstruksi jalan kebenaran sebagai jalan penyelamatan dan pencerahan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Ketika bencana masih sering dan berlanjut terjadi, berarti, mereka belum maksimal membangun hidup berkeadaban atau kebermoralannya.
Relasi kausalitas antara dosa dan bencana, sering disinggung dalam kisah nubuat (kenabian). Bencana secara umum berembrio dari sikap atau sepka terjang manusia. Pepatah menyebut “evil causis evil vallacy” yang bermakna, sesuatu yang buruk bisa terjadi pada manusia akibat pengaruh keburukan yang dilakukannya.
Tidak akan pernah ada keburukan atau bencana yang bersifat “sangat istimewa” (exstra ordinary) yang terjadi di masyarakat, jika di masyarakat ini tidak banyak kejahatan atau ragam perilaku disnormatifitas yang “istimewa”.
Hancurnya Kaum Luth
Pola bergaul, berpakaian, makan, berpolitik, berburu uang, dan lainnya menentukan warna kehidupan masyarakat. Ketika “warnanya” lebih dominan atau bahkan cenderung mengabsolut pada pembenaran teori Nicollo Machiavelli dengan “penghalalan segala macam cara” (het doel heiling de middelen), maka potret kehidupan tampak anomalistik, lebih menunjukkan pada kemenangan hedonism, dan supeioritas dehumanitas.
Dalam Islam misalnya, kita diingatkan oleh sejarah. Misal, ada kisah tentang hancurnya Saba, sebuah negeri makmur sumberdaya alam dan ekonomi yang berubah menjadi melarat karena dosa-dosa penduduknya, khususnya komunitas elitnya. Di samping itu, ada kisah tenggelamnya manusia akibat mengingkari ajaran Nabi Nuh, atau hancurnya kaum Nabi Luth akibat perilakunya yang suka memproduk kekejian (kezaliman) dan amoralitas.
Sebagai perbandingan dan bahan refleksi, adalah terjadinya badai Katrina yang mengempaskan Mississipi di Amerika Serikat (AS) pada 25 Agustus 2005. Akibat badai ini, AS harus menanggung kerugian sekitar USD 80 miliar atau sekitar Rp800 triliun. Sebuah majalah berita mingguan yang terbit di Jakarta “berani” menyebut badai Katrina sebagai karma menyusul ulah tentara AS yang tidak senonoh dan “barbarian” baik di Penjara Abu Ghraib, Iraq, maupun di Penjara Guantanamo, Kuba. Tentu, di samping kejahatan perang AS sewaktu menginvasi Iraq.
Dalam kasus itu, AS yang selama ini dikategorikan sebagai negara adidaya, dapat dijadikan pelajaran bangsa-bangsa yang akrab dengan bencana seperti Indonesia, pasalnya kemajuan di lini budaya, ekonomi, dan teknologi komunikasi dan militer, ternyata tidak otomatis menjadikanya “adidaya” saat dihadapkan pada berbagai bentuk bencana alam.
Memang idealnya, dengan berkali-kali Tuhan mengirimkan ujian dan peringatan dalam bentuk banjir, gempa atau gunung meletus, dan sekarang dalam bentuk virus Corona (Covid-19), seharusnya manusia di muka bumi dapat membacanya dengan kebeningan nurani, bahwa dalam konteks makro, ada dosa atau kejahatan besar yang sedang melekat dalam diri masyarakat dan sejumlah elemen bangsa ini, sehingga Tuhan perlu mengingatkan.
Tuhan tidak akan menjatuhkan hukuman tanpa sebab, kalau tidak karena Tuhan bermaksud menguji tingkat ketahanan iman, seperti yang dialami Nabi Yakqub yang hartanya dimusnahkan hingga terkena penyakit yang membuatnya disingkirkan oleh masyarakat.
Tentu saja kita lebih baik berasumsi, bahwa kita bukan seperti nabi Yakqub yang bukan dari golongan pendosa, tetapi sepatutnya kita memposisikan diri diantara skenario Iblis, yang dalam rumus politiknya telah menjadikan kita sebagai musuh (obyek) abadi yang harus diseretnya dalam perbuatan angkara, dosa, maksiat, dan zalim. Sehingga ketika dalam kehidupan kita ini akrab dengan bencana, maka identitas yang pantas kita sandang adalah “kita sedang atau telah lama menjadi pendosa”.
Iklim kehidupan masyarakat tidak akan sarat atau akrab dengan berbagai problem gangguan bencana penyakit serius (Corona) jika dalam kehidupannya lebih sarat penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Bukan Hanya Jokowi-Amin
Selama nilai-nilai adiluhung tidak digunakan sebagai pondasi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, maka masifikasi virus menjadi sulit ditolak bangsa ini. Kalangan elite yang tidak mau bercerai dari keadidayaan dosa-dosa privasi dan strukturalnya akan potensial mempercepat kehancuran negeri ini akibat eksaminasi teologis yang dijalankan Tuhan.
Stigma the biggest moeslem community in the world misalnya, hanya omong kosong ketika para elitnya tidak punya kesungguhan menceraikan dirinya dari sikap dan perilaku amoralitas dan dehumanitasnya.
Krisis sikap bertaubat atas kejahatan dan dosa yang diperbuatnya, meski sudah dikirimi Covid-19 yang mengerikan, adalah suatu wujud arogansi pendosa, pasalnya mereka merasa kalau dosa dan kejahatan yang diperbuatnya bukan perbuatan yang dilarang agama, melainkan sebagai aksesoris hedonismenya.
Kecenderungan masifnya Covid-19 mengindikasikan, bahwa tingkat produktifitas kejahatan dan kemaksiatan masih menempati ranah superioritas dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di level individual maupun kelompok. Kasus korupsi dana penanggulangan bencana alam maupun korupsi jenis lainnya merupakan contoh produktifitas kejahatan yang masih mencengkeram negeri ini.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Meratanya azab atau bencana adalah meratanya kejahatan manusia”.
Sabda ini mengajarkan bahwa sesuatu yang buruk (Covid-19) itu disebabkan oleh hal-hal buruk yang mempengaruhinya. Covid-19 tidak akan dibuat gampang terjadi dan menyebar oleh Tuhan, jika para elite selalu rajin mensalehkan dirinya.
Ketika sekarang negeri ini dikepung Covid-19 misalnya, maka ini mengindikasikan, bahwa bangsa ini masih gemar menyemaikan dosa di berbagai sektor pembangunan, yang tentu saja bukan hanya Jokowi-Amin yang harus secara terus menerus mengampanyekan urgensinya konstruksi pemerintahan yang kuat dan saleh, tetapi juga semua mesin kekuasaan dari pusat hingga daerah harus secara kolektif membersihkan kejahatan pribadi maupun kelompoknya, khususnya yang “mendemagogisasi” rakyat.
*Abdul Wahid, Penulis Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang