Pekerja perempuan di gudang tembakau milik PTPN I Regional 4 sedang memilah daun kering. DUTA/ist

LUKMAN (53), duduk santai di depan rumahnya di kawasan Wonorejo, Surabaya Timur, di Sabtu sore. Dia menikmati secangkir kopi di teras depan dengan sepiring singkong dan jagung rebus. Cuaca mendukung, hujan deras sejak siang mengguyur tempat tinggalnya.

Tentu saja, jari telunjuk dan tengah di tangan kanannya menjepit  sebatang rokok yang sudah tinggal separuh. Dari bentuk dan warnanya itu rokok putih, filter. Dia hisap lagi pelan-pelan dan dihempaskan asap rokok dari mulutnya ke atas plafon teras.

Lukman perokok berat. Mulutnya akan terasa ‘pahit’ tanpa rokok. “Ya kalau habis makan, lagi  buang air besar, atau pas nyantai, apalagi kalau ada teman ngobrol,” katanya tertawa. Baginya, rokok adalah ‘amunisi’, jadi booster.

Bapak empat anak ini mengaku suka yang rasa mild, semriwing, katanya. “Sekarang harganya mahal,” katanya tertawa.

Lukman tidak begitu paham, apa yang membuat rokok semakin mahal harganya. Namun, walau mahal terpenting baginya, barang tersedia di pasaran terutama rokok yang sering dibelinya.  “Larang yo dituku (mahal ya dibeli,red),” ungkapnya.

Sebatang rokok yang diisap Lukman atau penikmatnya, ternyata menyimpan potensi pendapatan negara yang sangat besar. Tidak hanya itu, untuk bisa menghasilkan sebatang rokok juga harus memenuhi segala aturan atau regulasi pemerintah. Produsen dan pelaku industri ini harus terus berjuang agar bisa bertahan di tengah hantaman banyak aturan itu.

Aturan Yang Membelenggu

Dalam sebuah forum diskusi bertajuk Membedah Dampak Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Terhadap Keberlangungan Industri Tembakau dan Industri Turunannya di Jawa Timur,  di Surabaya, pada 29 April lalu, terdengar permasalahan pelik yang membelenggu industri tembakau. Di ajang ini para pelaku industri ini bisa meluapkan uneg-unegnya.

Samokrah salah satunya. Dia berbicara lantang. Dari suaranya, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur itu nampak emosi. Dengan Bahasa Indonesia berlogat Madura, dia nampaknya ingin meluapkan segala hal yang selama ini menjadikan  beban pikirannya di hadapan para pembicara terutama perwakilan dari eksekutif dan legislatif.

“Terima kasih kami diberi ruang untuk menyampaikan segala hal terkait pertembakauan. Sayang dari DPR RI Pak Yahya (Zaini) tidak hadir, padahal kami menunggu beliau sebagai perwakilan rakyat di DPR,” katanya.

Samokrah mengaku resah. Ada saja aturan yang membatasi ruang dan gerak tembakau dan industri hasil tembaka (IHT). Tidak hanya tarif cukai yang setiap tahun mengalami kenaikan tapi ada banyak aturan lain yang membuat para pelakunya pusing tujuh keliling.

“Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2024 itu sangat mengancam kami (pelaku di industri hasil tembakau,red),” tandasnya.

Aturan itu kata Samokrah membuat kehidupan para petani tembakau terancam. Padahal selama ini petani tembakau dan ribuan pekerja di dalamnya menggantungkan kehidupannya pada industri ini.

Sulami, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur, juga tak kalah tegas walau nada bicaranya agak lebih lembut dibandingkan Samokrah. Maklum, Sulami perempuan.

Sulami mengaku saat ini perusahaan rokok legal sudah hancur-hancuran. Produksi turun hingga 30 persen. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah tidak bisa dihindari. “Semua karena regulasi yang berdampak pada penjualan,” ungkapnya.

Produk tembakau dan IHT diatur dengan sangat ketat. “Ada lebih dari 500 aturan untuk kami,” tandasnya.

Yang terbaru adalah PP No 28/2024 sebagai aturan turunan dari Undang-undang No 17/2023 tentang Kesehatan. Di dalam PP itu juga mengatur tentang tembakau, hasil tembakau, pemasangan iklan, hingga ke penjualan  rokok dan produk turunannya.

Misalnya tentang iklan yang tidak boleh di sembarang tempat, tidak boleh lagi menunjukkan produk dan gambar saat menjadi sponsor sebuah event musik, di ruang terbuka harus ditayangkan di atas pukul 22.00 hingga 05.00 serta banyak batasan lainnya.

Fabianus Bernadia, Ketua Umum Asoasisi Media Luar Indonesia (AMLI) juga mengaku resah dengan aturan-aturan yang ada. Sebelas perusahaan periklanan yang tergabung dalam AMLl mengalami dampak yang luar biasa.

Penurunan omset hingga 50 persen mereka rasakan. “Bagi kami, aturan ini sangat tidak relevan. Seperti batasan penayangan di videotron mulai pukul 22.00 hingga 05.00. Di kota besar mungkin masih masuk akal karena kota terus hidup hingga dini hari. Tapi bagi yang di kota kecil, iklan di atas pukul 22.00 itu mana ada yang nonton,” jelasnya.

Jika semua ini dibiarkan, maka Fabianus khawatir, perusahaan periklanan akan gulung tikar. Karena selama ini omset paling besar ada pada pemasangan iklan produk IHT.

Pelaku industri tembakau menandatangani kesepakatan untuk pembatalan PP No 28/2024. DUTA/ist

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Purnomo juga mengaku khawatir kebijakan-kebijakan ini akan membuat produk tembakau dan IHT di Jawa Timur ini hancur. Padahal, di Jawa Timur ada 63 ribu anggota FSP RTMM mulai dari hulu hingga hilir yang menggantungkan hidup pada industri ini.

“Di Jatim itu semua ada, lengkap, mulai dari tembakaunya, bahan pelengkapnya seperti cengkeh hingga industri pengolahan hasilnya, semua ada. Nah, kalau ada aturan-aturan yang tidak mendukung, bagaimana ke depannya. Puluhan ribu orang bergantung ke industri ini. Perekonomian hancur,” tandasnya.

Semua pihak yang bergerak di bisnis tembakau dan IHT mengaku ketika aturan ini dibuat tidak dilibatkan, tidak diajak bicara. Karenanya kini mereka berupaya untuk membatalkan seluruh pasal yang mengatur tentang pertembakauan dan IHT di PP No 28 tahun 2024 itu. Bahkan mereka menandatangani petisi agar PP ini dibatalkan khususnya pasal yang mengatur tentang tembakau dan IHT.

“Kembalikan aturan ke PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan  Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.  Karena bagi kami, aturan itulah yang lebih masuk akal dan bisa kami jalankan tanpa menganggu keberlangsungan industri ini,” tegas Sulami.

Rokok Ilegal Semakin Marak

PP No 28/2024 sebagai implementasi dari UU No 17/2023 tentang kesehatan, memang bukan hanya mengatur masalah tembakau dan IHT. Hanya sebagian pasal yang mengatur masalah tambakau ini. Namun, justru pasal-pasal itulah yang menjadi polemik dan protes tak berkesudahan dari para pelaku.

Jika IHT legal dipenuhi dengan banyak aturan dan regulasi, maka yang dikhawatirkan adalah terus bermunculan produk rokok ilegal. Saat ini saja rokok ilegal sudah meraja lela. Sudah menggerus penjualan rokok legal yang selama ini menjadi menyumbang dana cukai terbesar.

Sulami bahkan berani menjamin saat ini produksi rokok legal menurun 30 persen. Hal itu karena peredaran rokok ilegal dengan harga murah. Konsumen beralih, mereka memilih rokok harga murah dibandingkan rokok bermerek dengan harga yang mahal.  “Kami akan terus berjuang demi keberlangsungan hidup kami ini. Tolong, jangan samakan tembakau dengan narkoba,” tukasnya.

Purnomo pun dengan tegas meminta PP No 28 tahun 2024 ini dicabut. “Kalau tidak maka pemerintah yang akan rugi karena target cukai tidak akan terpenuhi. Karena konsumen akan semakin beralih ke rokok ilegal yang tanpa cukai,” tukasnya.

Dari survei terakhir yang dilakukan Bea Cukai, sebaran rokok ilegal di 2023 angkanya mencapai  6,9%. Jika ini dibiarkan maka penerimaan negara bisa berkurang.

Jatim Penyumbang Cukai Terbesar

Kepala Biro Perekonomian, Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Jawa Timur,  Aftabuddin mengakui bahwa hasil cukai yang diterima negara selama ini, 50 persen lebih berasal dari Jawa Timur. Di mana pada 2024 lalu nilainya mencapai Rp 133 triliun dari total sekitar Rp 233 triliun secara nasional. “Bayangkan kalau industri tembakau terancam, dampaknya pada perekonomian,” ungkapnya.

Karenanya pemerintah kata Afta dan semua pihak perlu mengkaji kembali apa kira-kira yang menjadi kendala dalam pelaksanaan PP No 28 tahun 2024 ini. “Pemerintah tidak menutup diri, artinya ini wajib dan tidak bisa diubah, tidak, semua masih bisa dibicarakan,” tandasnya.

“Kita berupaya untuk melakukan diskusi dengan beberapa stakeholder  bagaimana pendapat mereka tentang PP ini. Karena kalau betul-betul diberlakukan maka dampaknya seperti yang disampaikan para pelaku industri, akan berdampak pada pendapatan Jawa Timur dan nasional. Karena pendapatan dari cukai ini sangat besar,” tukasnya.

Jawa Timur sendiri tahun lalu mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sebesar Rp 2,7 triliun dan tahun ini ditarget naik menjadi Rp 3,5 triliun. Dana itu disalurkan ke berbagai program Pemprov di antaranya pendidikan dan kesehatan.

Selain itu dana bagi hasil cukai ini juga diberikan sebagai bantuan sosial dengan skema bantuan langsung tunai (BLT). Tahun lalu atau 2024 disalurkan untuk 13.469 orang dan 4.209 di antaranya adalah buruh pabrik rokok dengan total bantuan sebesar Rp 13,8 miliar. Jumlah penerima jauh lebih banyak dibanding 2023 dengan jumlah 9.259 orang. Sehingga hasil cukai ini bisa dirasakan langsung masyarakat.

Besarnya pendapatan cukai dari Jawa Timur  itu juga dibenarkan Untung Basuki, Kepala Kantor Bea Cukai Kanwil Jatim 1. Untung mengatakan industri hasil tembakau di Provinsi Jawa Timur porsinya sangat besar.

Dari sisi penerimaan negara di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk 2025 ini ditarget sebesar Rp 301,6 triliun. Target itu terdiri dari bea masuk,  bea keluar dan cukai. Cukai hasil tembakau sendiri sebesar Rp 230,09 triliun. Dari sisi penerimaan cukai, Jawa Timur ini ditarget sebesar 60,18% dari total target cukai 2025. Baru kemudian  Jawa Tengah yang angkanya di 26,4%.

Dan sebagian besar penerimaan cukai hasil tembakau itu diperoleh dari Kanwil DJBC Jawa Timur 1 dan 2. “Jadi memang betul peranan dari sisi pendapatan negara, cukai hasil tembakau itu sangat dominan,” ungkapnya.

Tidak hanya cukai, kata Untung, ada juga (pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau. Kemudian ada namanya pajak rokok yang besarnya 10% dari penerimaan cukai.

“Maka tugas kami juga adalah bagaimana mengamankan APBN di 2025 ini,  salah satunya adalah bagaimana kita bisa memenuhi target sesuai dengan yang telah ditetapkan,” tandasnya.

Tidak hanya peranan pada pendapatan negara, namun industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Apalagi di Jawa Timur sebaran pabrik rokok hampir merata di seluruh kabupaten/kota. Dari data Bea Cukai, perusahaan rokok yang mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) artinya legal itu berjumlah 977 perusahaan.

Hampir seribu perusahaan rokok yang ada itu, bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sana. Jika industri ini mengalami kendala bukan hanya karyawan perusahaan rokok yang nantinya akan dirumahkan tapi karyawan perusahaan logistik dan bidang terkait lainnya juga akan jadi pengangguran. Begitupun dengan para pekerja di pertanian tembakau.

Besarnya para pekerja yang ada di industri ini contohnya di PTPN I Regional 4.  Perusahaan yang dulunya bernama PTPN X itu hingga semester 3/2024 lalu, menyerap 16 ribu tenaga kerja perempuan. Itu untuk membantu pekerjaan hasil produksi daun hijau tembakau sebesar   11.766,54 ton dengan rendemen 8,85 persen.

“Ribuan pekerja perempuan itu bekerja di kebun, gudang pengering hingga gudang pengolah dan tidak kami batasi latar belakang pendidikannya. Rata-rata dari mereka hanya lulusan SD dan SMP, namun memiliki skill atau keterampilan teknis yang tinggi,” jelas Region Head PTPN I Regional 4 Subagiyo.

Jika  industri tembakau ini terus ‘digoyang’ dengan aturan yang akan membuatnya tumbang, maka para pekerja akan terancam. Gelombang PHK akan terjadi, pengangguran akan semakin menjadi. Dan dampaknya perekonomian di Jawa Timur akan hancur. Padahal selama ini perekonomian di Jawa Timur selalu berada di angka yang lebih tinggi dibandingkan perekonomian nasional atau di angka 5 persen plus minus satu persen, sedangkan angka nasional di 4,9 persen, plus minus satu persen.

Karena itu, Untung mengingatkan, dengan besarnya potensi komoditas tembakau dan industri hasil tembakau, semua pihak tidak bisa melihatnya dari satu sisi. Semua harus terintegrasi. “Kami ingin masyarakat sehat, tapi juga APBN tidak boleh goyah. Karena penerimaan negara dari cukai dan turunannya  ini juga sangat besar,” tukasnya.  *endanglismari

 

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry