Penyair Surabaya Mulyadi J Amalik (kaos hijau) sedang menjelaskan makna puisinya kepada pengunjung pameran. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Penyair Surabaya Mulyadi J Amalik, yang akrab disapa Cak Mul, merilis puisi bertema surat ijo. Ada enam judul puisi yang dicetak berukuran spanduk lalu dipamerkan di sebuah rumah di kawasan Peneleh, Surabaya.

”Puisi ini bentuk kerisauan kami pada konflik tanah atau agraria di kota ini. Antara warga dan pemerintah kota Surabaya. Persoalan ini sudah cukup lama, dan telah menyita perhatian warga Surabaya,” ungkap Cak Mul saat ditemui di Peneleh, Kamis (25/7/2024).

Puisi-puisi karya Cak Mul terlihat dikerumuni warga yang ingin membacanya. Bukan hanya warga setempat, namun ada juga warga dari tempat lain yang ingin membaca bait-bait puisi tersebut. ”Saya pajang agak lama agar warga menikmati bait puisi kritis itu,” ujar pria penggemar kopi ini.

Pameran puisi bertajuk “Perjuangan Surat Ijo” juga berlatar belakang gambar aksi demonstrasi Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS). Puisi-puisi itu, kata Cak Mul, sengaja dipajang di pagar rumah sebagai simbol konflik tanah perkotaan.

Pameran puisi di “galeri” Rumah Peneleh di kawasan RW 06 Kampung Londo, Peneleh, Surabaya, itu sudah digelar sejak Januari 2024 hingga sekarang. KPSIS mendukung penuh sekaligus menjadi promotor pameran puisi-puisi Cak Mul tersebut.

Ketua Umum KPSIS, Harijono, mengakui bahwa perjuangan organisasi KPSIS dilakukan dalam beberapa tahap yang masing-masing tahap tidak terpisah.

”Pertama, tahap aksi demonstrasi massa untuk menakar respon Pemerintah Kota Surabaya, DPRD Kota Surabaya, dan masyarakat umum. Kedua, tahap diplomasi dengan pihak-pihak eksekutif dan legislatif, baik di daerah maupun pusat, untuk memeroleh solusi jalan tengah sehingga konflik tanah surat ijo tidak berlarut-larut,” papar Harijono.

Ketiga, lanjur dia, tahap dialog dan kajian dengan berbagai pihak yang kompeten dan akademisi kampus, baik dari daerah maupun pusat, untuk menghasilkan naskah akademik, forum diskusi, seminar, dan lain-lain.

“Tahap gerakan KPSIS lainnya, yaitu perjuangan tanah surat ijo menjadi sertifikat hak milik (SHM) melalui kegiatan seni-budaya. Itulah yang melatari KPSIS menjadi promotor utama pameran puisi-puisi penyair Mulyadi J. Amalik yang bertema perjuangan tanah surat ijo di Surabaya ini,” urainya.

Secara historis, tanah surat ijo terdiri dari tanah gemeente (eks tanah pemerintah Belanda) dan eigendom verponding (tanah sertifikat swasta zaman kolonial). Jauh sebelum kemerdekaan RI hingga terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tanah-tanah surat ijo itu sebenarnya sudah ditempati oleh penduduk Surabaya.

Dijelaskan Cak Mul, surat ijo itu adalah kertas warna hijau menyerupai sertifat tanah yang berlogo Pemerintah Kota Surabaya. Isinya tidak menjelaskan hak kepemilikan warga atas tanah negara itu, melainkan soal pasal sewa tanah dalam Perda Nomor 3 Tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah (IPT). Oleh masyarakat, kertas hijau itu popular dijuluki surat ijo.

Harijono menimpali, saat pecah perang kemerdekaan 10 Nopember 1945 di Surabaya, banyak penduduk Surabaya menyingkir keluar kota meninggalkan tanah-tanah yang sudah mereka tempati sejak sebelum kemerdekaan. Usai perang, sebagian lahan di Surabaya tidak ditempati lagi oleh penduduk yang mengungsi itu. Seiring waktu berjalan, sebagian lahan kota pun kembali dihuni oleh penduduk asli dan juga pendatang.*

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry