“Mencermati upaya yang dilakukan aktivis eks PKI, patut untuk ditegaskan bahwa sekalipun ideologi komunisme telah tumbang, dendam ideologis yang ada dalam benak para aktivis dan simpatisan PKI belum hilang”

Oleh: Ainul Yaqin*

DARI berbagai kagagalan PKI itu, maka, berbagai upaya mereka lakukan antara lain membuat opini dengan memutarbalikkan sejarah bahwa peristiwa masa lampau yang melibatkan PKI sebagai pelaku pemberontakan telah diputarbalikkan sebagai peristiwa rekayasa politik yang dilakukan oleh para elit. Beberapa kejahatan dan kebiadaban PKI di masa lalu dicoba untuk di lupakan dengan bersembunyi dibalik isu meruntuhkan otoritarianisme orde baru. Di saat bersamaan mereka berusaha memotret fakta sejarah masa lalu hanya sebatas pasca 1965 yaitu peristiwa penumpasan G 30 S PKI yang oleh mereka peristiwa penumpasan tersebut disebut sebagai pelanggaran HAM berat dan aktivis PKI sebagai korbannya.

Para mantan aktivis PKI dan simpatisannya juga membentuk beberapa organisasi seperti Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Sekretariat Bersama Korban 1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965), dll. Semua lembaga-lembaga tersebut dibentuk untuk memberikan citra bahwa PKI adalah korban bukan pelaku pemberontakan. Organisasi-organisasi ini pula yang memelopori tuntutan untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966  melalui Sidang Umum MPR bulan Agustus 2003 di Jakarta.

Seorang anggota DPR RI dari PDIP Bambang Beathor Suryadi pada HUT RI ke-69 mengatakan:  “Hanya dengan mencabut TAP MPRS No XXV/1966, bangsa ini kembali “mampu” membentengi Bangsa, Negara dan Rakyat dari rongrongan ideologi dan maksud bangsa lain,”(http://www.aktual.co/politik/183652anggota-dpr-ri-gulirkan-isu-pencabutan-tap-mprs-no-xxv-1966).

Upaya-upaya lain yang dilakukan mereka dianataranaya: menuntut yudicial review ke Mahkamah Konstitusi dan berhasil mancabut undang-undang no. 12 tahun 2003 tentang pemilu pasal 60 huruf g tentang persyaratan anggota DPR-RI, DPR-D, DPD. Atas pencabutan tersebut, maka eks PKI dapat dipilih dan memilih pada pemilu 2009. Mereka juga melakukan gugatan class action di PN Jakarta Pusat yang mengklaim jumlah korban orang-orang PKI tahun 1965-1966 sebanyak 20 juta orang dengan tuntutan ganti rugi per orang sebesar Rp 937,5 juta sampai dengan Rp 2,5 milyar rupiah, tergantung dari kedudukan dan berat ringannya korban. Gugatan class action tersebut  ditolak oleh PN Jakarta Pusat.

Para mantan aktivis PKI dan simpatisannya juga membuat konspirasi melalui jalur pendidikan dengan mencoret peristiwa pemberontakan 1948 di Madiun dan pemberontakan G30-S-PKI dengan berusaha menghapus keberdaan PKI dalam peristiwa tersebut pada mata pelajaran sejarah kurikulum 2004. Sebaliknya, pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta, RMS, dan lain-lain lebih ditonjolkan. Untunglah pemerintah akhirnya sadar dan mengembalikan kurikulum pendidikan sejarah sesuai dengan kurikulum 1994, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional no. 7 tahun 2005.

Eks PKI juga membangun konspirasi melalui jalur-jalur non yudicial yaitu menginisiasi terbitnya Undang-undang no. 27 tahun 2004 tentang Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR). Dipastikan UU KKR dimanfaatkan oleh eks PKI sebagai alat untuk memperjuangkan bangkitnya PKI setelah gagal melalui jalur politik dan hukum. UU KKR akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses uji materi di MK.

Diduga kuat gerakan massa buruh dan mahasiswa serta kelompok miskin kota yang bersifat anarkhis, tidak terlepas dari peran aktivis PKI seperti gerakan aktivis kiri dari Partai Buruh pimpinan Mukhar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan PNBI, Papernas, PRD, dan SMID.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudoyono sampai era Presiden Joko Widodo, mereka secara konsisten berusaha membuat tuntutan agar presiden meminta maaf atas pelanggaran HAM tahun 1965 dengan memposisikan PKI sebagai korban.

Mencermati upaya maupun aksi yang dilakukan oleh para aktivis eks PKI dan simpatisannya, patut untuk ditegaskan bahwa sekalipun ideologi komunisme telah tumbang, dendam ideologis yang ada dalam benak para aktivis dan simpatisan PKI belum reda. Maka perlu ada kesadaran mengawal sejarah bahwa peristiwa tahun 1965 adalah penumpasan pemberontak PKI sehingga sudah menjadi kewajiban negara dan masyarakat untuk melakukan bela negara menyelamakan dari kaum pemberontak, sehingga negara tidak ada relevansinya meminta maaf.

Dalam penumpasan pemberontakan apa yang dilakukan oleh TNI tidak bisa dituduh sebagai pelanggaran HAM. Pemahaman HAM harus dibaca secara utuh, bahwa HAM bukan tak terbatas, negara bisa membatasinya sesuai dengan UUD 1945 pasal 28j dan pasal 73 UU No. 39 th 1999 tentang HAM.

Hal yang juga penting, mengajak semua fihak untuk obyektif melihat masa lalu, tidak anakronis yaitu melihat dengan dasar kondisi saat ini dimana PKI merengek seperti orang tak berdaya. Generasi saat ini harus ditunjukkan padaa sejarah bangsa yang benar. Sejarah harus dibaca secara  utuh tidak hanya pada saat tahun 1965. Generasi muda perlu diberitahu bahwa pemberontakan dan teror yang dilakukan PKI telah berlangsung bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. (*)

*Ainul Yaqin, Peneliti Inpas dan Sekretaris Umum MUI Provinsi Jawa Timur.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry