Suasana rapat terhormat di gedung DPR RI. (FT/aktualcom)

“…dibutuhkan pathos karena berkomunikasi dengan pihak lain melibatkan emosi. Komunikator harus pandai mengontrol emosinya. Emosi negatif yang tak terkendali, akan dilampiaskan dengan caci maki…”

          Keterangan Foto Bhataraonline

 Oleh: Moh Mahrus Hasan*

AKHIR-AKHIR ini seorang anggota DPR RI sedang menjadi sorotan publik gara-gara ucapannya yang dinilai tidak pantas. Padahal, ucapan itu dilontarkan oleh wakil rakyat yang terhormat, pada sidang terhormat, di tempat terhormat, dan bersama orang-orang yang terhormat. Maka, wajar saja jika sasaran ucapan itu tidak terima. (Lengkapnya, silahkan baca kembali Duta Masyarakat edisi 31 Maret 2018).

Ucapan tidak pantas itu memperkuat perkataan Thomas Lickona yang mengingatkan, “Be careful of your thoughts, For your thoughts become your words. Be careful of your words, For your words become your deeds. Be careful of your deeds, For your deeds become your habits. Be careful of your habits, For your habits become your character. Be careful of your character, For your character become your destiny. Jagalah pikiranmu, karena ia akan menjadi ucapanmu. Jagalah ucapanmu, karena ia akan menjadi tindakanmu. Jagalah tindakanmu, karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena ia akan menjadi nasibmu.” Ringkasnya, semua itu bermuara kepada karakter seseorang.

Nabi Muhammad, sekitar 1400 tahun yang lalu, menegaskan bahwa misi utama kerasulannya adalah untuk menyempurnakan pembentukan karakter yang baik (good character-akhlaqul karimah), “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,” demikian sabdanya. Menurut Al-Ghazali, akhlak atau karakter yang baik adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah Muhammad, sehingga ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan akhlak banyak ditujukan kepadanya, semisal firman Allah, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) manusia yang berkarakter agung.”

Jika demikian, bagaimana seharusnya kita berbicara yang menunjukkan karakter yang baik? Semoga bahasan sederhana berikut ini menjadi salah satu jawabannya. 

Berbicara adalah Berkomunikasi

Ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi, berbicara sama halnya dengan kegiatan komunikasi lainnya. Ada komunikator (pembicara), komunikan (teman bicara/khalayak), ada message (pesan) yang disampaikan dengan lisan atau media teknologi komunikasi dan informasi, dan pasti ada feedback (timbal balik).

Jalaluddin Rakhmat, pakar ilmu komunikasi, mengatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Bahkan, kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Komunikasi menjadi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi, kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita.

Komunikasi—secara lisan atau melalui media—juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. (Jalaluddin Rakhmat: 1999). Komunikasi positif  bisa menciptakan suasana yang harmonis, bahkan bisa mendamaikan dua pihak yang bertikai. Sebaliknya, komunikasi negatif  bisa juga menyulut pertentangan dan permusuhan.

 Berbicara dalam Perspektif Komunikasi Persuasif

Menurut Aristoteles—seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat—ada tiga syarat minimal berkomunikasi persuasif, yakni  ethos, logos dan pathos (etika, ilmu dan emosi). Pertama, ethos (etika/akhlak). Jika ditinjau dari perspektif komunikasi Islami, maka komunikator harus menjunjung tinggi etika (akhlakul karimah) dalam menyampaikan pesan. Ia tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak. (Abdul Muis: 2001).

Alquran memerintahkan kita “Ucapkanlah yang baik kepada sesama manusia.” (QS. al-Baqarah: 83). Rasulullah Muhammad juga memperingatkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam saja.”dan “Muslim—yang sebenarnya—adalah jika muslim yang lain merasa tenteram dari perkataan dan perbuatannya.

Selain itu, dalam menghadapi beragam segmen komunikan, komunikator harus memperhitungkan “Likulli maqomin maqolun wa likulli maqolin maqomun. Setiap tempat ada perkataan yang tepat dan setiap perkataan ada tempat yang tepat” atausikontolpanjang (situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauannya), agar tidak termasuk pada kategori—meminjam istilah M.H. Said Abdullah—ahlul fitnah waljamaah.

Kedua, diperlukan logos (ilmu) yang memadai karena berkomunikasi membutuhkan ilmu dan strategi yang tepat. Dalam Islam, ada dua kata kunci yang mengarah kepada komunikasi; al-bayan dan al-qawl. Melalui keduanya itu—terutama al-qawl—terdapat cara atau etika berkomunikasi yang bermacam-macam bentuknya.

Komunikator harus mengetahui dan mengamalkan al-bayan dan al-qawl secara cermat. Al-bayan di dalam Alquran terdapat dalam tiga ayat, yaitu Ali Imron: 138, al-Rahman: 4, dan al-Qiyamah: 19. Seperti “Dia (Allah) mengajarkan manusia pandai berbicara/berkomunikasi.” (QS. al-Rahman: 4).

Sementara kata al-qawl bergandengan dengan kata lain yang menyifatinya, seperti qawlan sadidan (perkataan yang benar; QS. al-Nisa’: 9), qawlan maysuran (perkataan yang pantas; QS. al-Isra’: 28), qawlan ma’rufan (perkataan yang baik; QS. al-Nisa’: 5), qawlan layyinan (perkataan yang lemah lembut; QS. Thaha: 44), dan qawlan kariman (perkataan yang mulia; QS. al-Isra’: 23). (Mujamil Qomar: 2007). Komunikasi yang dilandasi al-bayan dan al-qawl secara benar pasti faktual (bukan hoax), beretika, dan menghindari penyebab disharmoni.

Dan ketiga, dibutuhkan pathos karena berkomunikasi dengan pihak lain melibatkan emosi. Komunikator harus pandai mengontrol emosinya. Emosi negatif yang tak terkendali  akan dilampiaskan dengan caci maki, ujaran kebencian (hate speech), tulisan dan lain sebagainya yang egoistis dan sarkastis. Terlebih jika menyangkut suku, adat, ras dan agama (SARA).

Rasulullah mengingatkan kita, “Yang paling sering menyebabkan manusia masuk neraka adalah dua lubang; mulut dan kemaluan.” Jika ingin selamat, berkomunikasilah secara positif, karena “Salamatul insan fi hifdzil lisan. Keselamatan seseorang karena menjaga lisan. Semoga berkah!***

*Moh Mahrus Hasan adala Pengurus PP. Nurul Ma’rifah Poncogati Bondowoso dan guru MAN Bondowoso. Sedang menempuh S3 di IAIN Jember.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry