
SURABAYA | duta.co – Belakangan beredar di media sosial tentang DATA LENGKAP WAKTU, TEMPAT, KORBAN DAN YANG TERLIBAT Kekejaman G 30 S PKI. “INILAH SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA,” tulisnya.
Dalam kronologi itu, tertulis, bahwa, Tahun 1960 : Soekarno meluncurkan Slogan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI. Dengan demikian PKI kembali terlembagakan sebagai bagian dari Pemerintahan RI.
Lalu, lanjut penulis sejarah tersebut, Tgl 17 Agustus 1960 : Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang “PEMBUBARAN MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)” dengan dalih tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Pemberotakan PRRI, padahal hanya karena ANTI NASAKOM.
“Ini salah besar! Sejarah seperti ini bisa merusak pemahaman yang benar, bahwa, NU tidak pernah mendukung NASAKOM (Komunis). Yang benar, NU tidak mau di luar konstitusi, NU harus mengambil sikap berada dalam pemerintahan. Ini karena NU ingin memperbaiki. Bagaimana bisa memperbaiki kalau (posisi) kita off side,” demikian Drs Muhammad Said Utomo, mantan Ketua GP Ansor Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur kepada duta.co, Sabtu (30/9/23).
Menurut Pak Said, panggilan akrabnya, saat itu, salah seorang pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah yang merupakan negarawan ulung mengambil sikap bijak. Mbah Wahab yang dikenal jago plomasi itu harus mampu mengendalikan pergerakan kaum sosialis dan komunis dalam pemerintahan, termasuk integrasi Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
“Ini politik hebat. Politik jalan tengah. Ini tidak mudah dilakukan oleh siapa pun, karena bukan hanya membutuhkan langkah nyata, tetapi juga menuntut argumentasi memadai terkait persoalan yang terjadi. Maka, NU harus berada di dalam pemerintahan,” terangnya.
Dan terbukti, politik jalan tengah NU itu, tidak melunturkan kiai-kiai dalam melawan PKI. Bahkan dengan begitu, para kiai NU selalu mengimbangi konsep PKI, secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila.
“Kalangan pesantren dan para kiai NU mendekat kepada Presiden Soekarno bukan untuk mencari ‘berkah’ kekuasaan, melainkan agar bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak terpengaruh oleh PKI. Anda bisa baca buku Cak Anam (Drs H Choirul Anam) ‘Pertumbuhan dan Perkembangan NU’,” tambah Pak Said.
Menurut Pak Said, dari buku Cak Anam itu, jelas sekali, politik jalan tengah NU sangat strategis. “Hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab. Misalnya, ketika membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda. Sampai Kiai Wahab harus ‘dengan tenang menerima’ konsep Nasakom yang melahirkan tuduhan macam-macam,” terangnya.
Bagi Mbah Wahab, untuk mengubah kebijakan pemerintahan tidak bisa dengan berteriak-teriak di luar sistem, tetapi harus masuk ke dalam sistem. Kalau cuma berteriak-teriak di luar, maka akan dituduh makar atau pemberontak.
“Kaidah yang dipegang Kiai Wahab dalam tataran fiqih luar biasa hebat. Bahwa kemaslahatan bergabung (bukan mendukung) dengan Nasakom itu lebih jelas dan kuat. Ketimbang menolak dan menjauhinya. Taqdimul mashlahatir rajihah aula min taqdimil mashlahatil marjuhah (mendahulukan kemaslahatan yang sudah jelas, itu lebih utama dari kemaslahatan yang belum jelas). Karena jika tidak ada NU sebagai perwakilan Islam, PKI akan lebih leluasa mempengaruhi setiap kebijakan Soekarno,” terang Pak Said.
Karena itu, lanjutnya, kita jangan mudah percaya dengan kronologi sejarah kekejaman PKI yang, menempatkan NU sebagai penyokong NASAKOM. Kronologi seperti itu senagaja dibuat untuk melemahkan NU.
“Buktinya, tahun 1956 NU sudah menolak keinginan Soekarno bikin Kabinet Kaki Empat yang melibatkan PKI. Tahun 1959-1965 NU masuk dalam Kabinet Soekarno, tetapi NU dengan tegas menolak keras Kabinet Nasakom yang melibatkan PKI. Akhirnya tahun 1962-1964 PKI makin lantang minta jatah Kabinet. Sampai Bung Karmo jatuh dan PKI bubar, PKI gagal mendapat portopolio Kabinet,” terangnya.
Tetapi, tambahnya, NU juga tidak ingin NKRI tercabik-cabik. Maka, soal PRRI Permesta tahun 1958, sikap NU jelas, itu bughot (pemberontakan). NU mengeluarkan statemen tertulis. Agar pemerintah segera mengatasi. “Ketika meletus G30/S/PKI 1965, PKI memberontak, NU berada di garda terdepan menghadapi PKI, dan ulama-ulama NU yang menjadi korban paling parah atas teror PKI.
“Sekarang, kelompok Neo PKI mendesak pemerintah untuk mengubah sejarah 1965. Bahwa pelakunya bukan PKI, melainkan TNI yang dibantu ormas Islam tetutama NU. Tetapi, para sejarawan NU telah mematrinya dalam (tulisan) sejarah sendiri sesuai dengan Historiografi NU, agar tidak larut dalam propaganda sejarawan kolonialis, baik kapitalis maupun komunis,” terangnya.
Sampai detik ini, jelas Pak Said, NU yang paling siap di garda terdepan untuk menghalau PKI. Yang lain hanya berteriak-teriak di jalan. “Ini dilakukan demi menjaga keutuhan NKRI, sebuah negara yang telah mengorbankan darah nyawa para kiai,” pungkasnya. (mky)