
“Negara harus berhati-hati menyikapi titik ini. Di satu sisi, tidak boleh mempersulit atau menutup diri dengan tidak mengakui sertifikasi halal lembaga luar negeri, tetapi di sisi lain produk yang sudah dapat cap halal, harus benar-benar dicermati.”
Oleh Dr Faiq Tobroni*
MASYARAKAT terkaget, ada makanan halal, isinya haram. Tetapi, itulah inti SIARAN PERS Nomor 242/KB.HALAL/HM.1/04/2025 Tanggal 21 April 2025 yang dilakukan oleh BPJPH. Katanya terdapat 9 produk mengandung unsur babi. Semua produk jajanan anak-anak. Mirisnya 7 dari 9 produk itu telah tersertifikasi halal.
Temuan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu menunjukkan fenomena yang anomali dalam sistem sertifikaai halal di Indonesia. Di satu sisi, menunjukkan komitmen negara untuk benar-benar mengawasi kehalalan produk, di sisi lain begitu mudah mengganti isinya.
Walaupun produk tersebut telah tersertifikasi halal, tetapi negara melalui lembaga yang berwenang melakukan pengawasannya dengan uji sampel langsung. Isinya mencengangkan. Temuan itu juga sekaligus membuka tabir gelap dalam sistem tata kelola sertifikasi halal yang perlu dibenahi.
Penulis perlu menyoroti kelemahan tata kelola itu. Salah satu sistem yang rentan adalah sistem pengakuan dari BPJPH atas hasil sertifikasi halal yang dilakukan oleh lembaga luar negeri.
BPJPH mengakui sertifikasi halal dari lembaga luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sertifikat halal (Mutual Recognition Agreement/MRA). Ini merupakan titik yang rentan karena bisa jadi ada perbedaan standar dan prosedur antara BPJPH dengan lembaga sertifikasi luar negeri.
Negara harus berhati-hati menyikapi titik ini. Di satu sisi, negara tidak boleh terkesan mempersulit atau menutup diri dengan tidak mengakui sertifikasi halal dari lembaga luar negeri. Penutupan diri justru akan mengisolasi terhadap posisi lembaga sertifikasi halal Indonesia dan relasi perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain. Namun di sisi lain, negara juga harus sangat cermat dan selalu mewaspadai terhadap produk-produk yang telah mendapatkan sertifikasi dari lembaga luar negeri.
Sistem lain yang rentan adalah masa berlakunya sertifikat halal tersebut. Keberadaan UU Cipta Kerja dan PP No 42 tahun 2024 memberi legitimasi bagi produk yang telah mendapatkan sertifikasi halal dari lembaga yang berwenang, maka sertifikat tersebut akan berlaku selamanya, selama pelaku usaha tidak melakukan perubahan terhadap bahan maupun produk dari barang yang dimintakan sertifikasi halal tersebut.
Permasalahannya sistem pengawasan di bebankan kepada pelaku usaha sendiri. Pelaku usaha baru berkewajiban untuk mengajukan sertifikasi halal kembali terhadap usahanya jika terjadi perubahan bahan dan produk. Ini artinya ada posisi yang rentan ketika pelaku usaha tersebut tidak memiliki kejujuran atau ada pola manajemen yang berubah di tengah perjalanan dalam pengelolaan usaha dan produknya.
Terhadap tujuh produk yang telah mendapatkan sertifikasi halal BPJPH tetapi ternyata haram tersebut, sampai saat ini belum terdapat informasi yang jelas bagaimana proses pengajuan sertifikasi halal terhadap beberapa produk tersebut. Jika melihat dari keberadaan produk tersebut merupakan hasil olahan dari usaha di luar negeri dan diimpor oleh pelaku usaha dalam negeri, bisa jadi titik rentan tersebut pada sistem yang pertama dan juga bisa jadi pada sistem yang kedua. Atau mungkin ada sistem lainnya yang mempunyai kelemahan dalam mengawal tata kelola sertifikasi halal.
Bagaimanapun bentuk penyebab kelemahannya, yang pasti kita harus memberikan apresiasi kepada negara melalui BPJPH dan BPOM yang telah bergerak aktif dalam mengawasi kehalalan produk yang beredar. Di sisi lain,peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pihak terutama juga masyarakat agar ikut serta dalam proses pengawasan kehalalan produk tersebut.
Partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan cara turut mengawasi produk yang telah tersertifikasi halal atau bahkan juga menghindari produk yang secara hakikat halal tetapi belum tersertifikat halal. Langkah bersama ini bisa menjadi komitmen bersama untuk menuju Indonesia yang terjamin kehalalan produknya.
*Dr Faiq Tobroni adalah Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota SDM Syariah LPH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.