Mahfud M Nor, pengagum Gus Dur yang aktif digerakan khitthah NU. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Gagasan besar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menggabungkan Sukarnoisme dan Gus Durisme terus menggelinding. Cak Imin sendiri sudah malang-melintang ‘memasarkan’ konsep tersebut. Ini sekaligus menjadi andalan dalam deklarasi calon wakil presiden 2019.

Menurut Cak Imin, sebagaimana dikutip investigasi detikX, Sudurisme adalah gabungan antara Sukarnoisme dan Gus Durisme. Dalam visi Presiden Sukarno, kata dia, api Islam harus tetap menyala dan menjadi semangat. Muncullah Pancasila, marhaenisme, dan kerakyatan. Sukarno juga berhasil membuat narasi kemandirian bangsa, anti-imperalisme, dan antikolonialisme.

Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil ‘mempribumikan’ Islam di Indonesia. Seperti Wali Songo, Gus Dur mengawinkan norma agama dengan realitas lokal. Gus Dur, yang merupakan pendiri PKB, juga berhasil menata demokrasi di Indonesia pasca-Reformasi 1998.

Sudur itu ada bahasa Arab, artinya dada. Di atas dada ini harga diri. Di atas dada ini kepercayaan. Di atas ini harus ada kemandirian. Negeri tidak bisa didikte negara lain. Sudurisme itu kira-kira itu kemandirian kemanusiaan, dan harus mudah ditangkap oleh seluruh masyarakat. Itu menjadi visi saya,” kata Cak Imin dalam perbincangan dengan detikX di rumah dinas Wakil Ketua MPR, Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat, 6 April 2018.

Sudurisme itu pulalah yang ditawarkan Cak Imin untuk ‘melamar’ sebagai cawapres kepada Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selaku pengusung Jokowi. “Apakah narasi perjuangan saya yang saya sebutkan tadi, Sudurisme, akan diterima? Nah, Hasto saja tadi saya jelaskan langsung jatuh cinta, ha-ha-ha…,” ucap Cak Imin. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sempat menemui Cak Imin di sela-sela wawancara.

Menariknya, detikX juga menurunkan kutipan dengan size besar dari tulisan Alissa Wahid, putri Gus Dur. Seperti kita tahu, soal konflik Gus Dur dengan Cak Imin, Alissa Wahid punya pengalaman sendiri. Hal itu dituangkan di blog pribadinya yang di-posting pada 6 April 2013. Putri Gus Dur ini yakin konflik Gus Dur dengan Cak Imin nyata adanya, bukan sebuah rekayasa untuk penggemblengan atau apa pun.

Di blog itu, tulis detikX, Alissa mengisahkan permintaan kubu Cak Imin kepada dirinya untuk menjadi jembatan islah antara Cak Imin dan keluarga Ciganjur. Alissa juga menyaksikan sendiri sikap Gus Dur ketika Cak Imin datang ke rumah bersama Rustini, istrinya. Kala itu Gus Dur hanya menjawab pertanyaan Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak kesempatan lain.

Gus Dur juga secara terang-terangan menolak kedatangan Lukman Eddy ke Ciganjur. Lukman Eddy adalah Sekjen PKB versi kepemimpinan Cak Imin. “Sebagai orang yang blak-blakan, (saya) mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada ‘musuh-musuh’ politiknya, respons Bapak saat itu amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka,” demikian tulisan Alissa.

Alissa pun bertutur, pada 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin bergulir, Gus Dur terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok kantor PBNU. Setelah itu, dia dinyatakan menderita stroke ringan. Sulaiman bercerita, Gus Dur terkejut terhadap pernyataan orang-orang PKB versi Cak Imin di sidang Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan lebih senang Gus Dur tidak di PKB. “Orang-orang ini saya yang bawa masuk politik, kok tega, ya, mereka ngomong begitu tentang saya, Man,” ucap Gus Dur.

Dari sini, gagasan Sudurisme Cak Imin, menjadi sangat menarik. Bukan saja menarik dirinya (Cak Imin) sebagai Cawapres Jokowi, tetapi, juga bisa menarik Cak Imin ke ‘kubangan’ politik. Sebab, tidak sedikit pengagum Gus Dur yang bersikap sama dengan Alissa Wahid.

“Saya kira dia sedang menggali ‘lubang kematian’. Dia mengira warga NU sudah lupa, bagaimana dia ‘menghabisi’ Gus Dur. Sudurisme ini justru mengingatkan kembali tentang prilaku politiknya. Kalau Gus Dur saja dibegitukan, bagaimana dengan kiai-kiai lain,” jelas Mahfud M Nor, pengagum Gus Dur yang aktif digerakan khitthah NU kepada duta.co, Jumat (13/4/2018).

Mahfud sendiri mengaku brebes mili membaca tulisan Alissa Wahid. Menurutnya, catatan penting itu harus menjadi pelajaran bersama, khususnya warga NU dalam berpolitik. Mereka tidak boleh menghalalkan segala cara untuk meraih jabatan. Apalagi, menjual nama Gus Dur sedemikian rupa, hanya untuk kepentingan sesaat, jabatan yang jelas tidak akan dibawa mati.

“Itulah pentingnya kita memahami dan melaksanakan 9 pedoman politik bagi warga NU. Para kiai sudah membuatkan tatanan, sehingga politisi nahdliyin harus mengamalkannya. Politik itu harus ada agamanya, bukan menghalalkan segala cara,” jelas Mahfud. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry