SURABAYA | duta.co – Universitas Negeri Surabaya (Unesa) kembali memiliki 11 guru besar atau profesor. Ke-11nya dikukuhkan Rektor Prof Nurhasan atau Cak Hasan, Selasa (12/11/2024).
Cak Hasan, panggilan akrab Prof Nurhasan mengatakan guru besar dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak bisa dilihat sebagai capaian pribadi tapi kebanggaan lembaga. “Karenanya seorang prosesor itu memiliki makna tersendiri bagi lembaga, sebuah kebanggaan bagi lembaga,” katanya.
Seorang guru besar itu menjadi inspirasi dan teladan. Tidak hanya mengajar dan meneliti tapi menjadi teladan bagi mahasiswa dan sejawatnya. “Menjadi pendorong inovasi dan perubahan,” jelasnya.
Unesa yang terus melanjutkan status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) yang unggul dan bereputasi dibutuhkan kerja keras, berani beradaptasi dan komitmen bersama untuk bekerjasama.
“Peran profesor itu sebagai ujung tombak inovasi, harus menjadi motor perubahan mindset, mengembangkan budaya dan riset. Juga harus tampil dalam forum nasional maupun internasional dan bisa menghasilkan buku berkualitas,” ungkapnya.
Mantan Rektor Unesa, Prof Mukhlas Samani yang juga hadir di acara pengukuhan menambahkan bahwa ilmu bukan tujuan hidup tapi sarana untuk mencapai tujuan hidup. “Semoga ilmu dan gelar yang tinggi ini bisa bermanfaat bagi seluruh umat,” katanya.
Salah satu guru besar yang dilantik adalah Prof. Dr, Rindawati, M.Si. Gelar profesor disandangnya berkat penelitian yang tembus Scopus Q1 (Qi satu).
Dalam hal ini, Prof Rinda dalam orasi ilmiahnya membahas tentang Semanggi, makanan tradisional asli Surabaya yang dilihat dari perspektif antropologi sosial, sebagai bidang ilmu kepakaran Prof Rinda.
” Semanggi dilihat dari perspektif antropologi sosial, berasal dari budaya Jawa yang menggambarkan kesederhanaan, orisinalitas, keunikan. keawetan dan kelangkaan,” ujarnya.
Semanggi diklaim oleh pemerintah kota Surabaya menjadi legenda dan ikon Kota Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah bahwa keberadaan kuliner semanggi ini terkait dengan sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo yang pada 1945 telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Makanan semanggi masih ada hingga saat ini. Hal tersebut tidak terlepas dari peran perempuan kampung Kendung, sebagai kampung semanggi di Surabaya, yang dapat menjaga warisan leluhur mereka. Merekalah yang menjajakan makanan khas tersebut hingga dikenal sampai sekarang.
Kampung Kendung merupakan salah satu daerah di Kecamatan Benowo, Kota Surabaya, yang menjadi cikal bakal pedagang semanggi. Di desa ini, para pedagang semanggi membudidayakan tanaman semanggi, mengolahnya menjadi kuliner semanggi, dan menjualnya di sekitar Kota Surabaya. ril/lis