Oleh: Zulfikar Ardiwardana Wanda, SH, MH

BEBERAPA waktu belakangan ini tepatnya pada 4 dan 6 Desember 2017, kita kembali dikejutkan pemberitaan terkait Setya Novanto, tersangka kasus dugaan korupsi mega proyek e-KTP  yang mengundurkan diri sebagai Ketua DPR melalui dua pucuk surat (tidak resmi) yang ditujukan kepada Fraksi Golkar dan Pimpinan DPR.

Yang tak kalah mengejutkan adalah selain pemberitaan awal surat pertama yang ditulis oleh Setya Novanto agar tidak diganti posisinya sebagai Ketua DPR pada 21 November 2017, dalam suratnya yang terakhir, yakni 6 Desember 2017 dia merekomendasikan penunjukan rekannya, Aziz Syamsuddin yang baru menjabat Plt Sekjen Partai Golkar untuk menggantikan dirinya memegang tampuk jabatan yang ditanggalkannya.

Hal ini sontak menimbulkan ruang perdebatan dan polemik baik optik yuridis maupun politis dari lintas kalangan atas penunjukan Aziz Syamsuddin secara sepihak oleh Setya Novanto. Bagaimana tidak, Setya Novanto yang bukan lagi sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Golkar berdasarkan rapat pleno DPP Partai Golkar tertanggal 21 November 2017 yang menetapkan Idrus Marham sebagai Plt Ketum sementara, masih memainkan perannya dalam hal penunjukkan Ketua DPR pengganti dirinya dibalik jeruji rumah tahanan (rutan) KPK.

Di samping itu juga masih menyisakan isu yang masih mengundang polemik tak berkesudahan apakah Setya Novanto bisa diberhentikan dari jabatannya terlepas status tersangka, terdakwa, dan/atau terpidana dari kasus dugaan korupsi yang menjeratnya terkait problem pelanggaran etik yang melekat bagi setiap pejabat atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangannya.

Permasalahan ini bergulir berlarut-larut hingga akhirnya Setya Novanto mengambil sikap untuk meletakkan jabatannya dan menunjuk secara sepihak sesama rekannya di partai politik dan fraksi di DPR untuk menggantikannya.

Apa tujuan sebenarnya di balik penunjukan sepihak Setya Novanto kepada Aziz Syamsuddin untuk menggantikan posisinya sebagai Ketua DPR? Tentunya ini merupakan perdebatan di dalam dimensi politik yang niscaya juga banyak melahirkan spekulasi-spekulasi politik dari masing-masing lintas kalangan.

Dalam tulisan ini penulis lebih menitikberatkan kepada aspek yuridis dari fenomena politis penunjukan sepihak Ketua DPR seperti yang telah dipaparkan di atas. Pemberhentian dan penetapan Pimpinan DPR baik definitif maupun yang sifatnya sementara telah diatur secara komprehensif dalam UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib (Tatib DPR).

Apabila dicermati dalam dua landasan hukum tersebut, maka bisa dilacak dalam UU MD3 Pasal 87 ayat (1) jo Tatib DPR Pasal 34 memuat ketentuan, Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena yaitu: a. meninggal dunia, b. mengundurkan diri, dan c. diberhentikan.

Seperti yang diwartakan di berbagai pemberitaan media bahwa Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatannya selaku Ketua DPR yang bisa dimaknai dengan mudah oleh orang awam sekalipun bahwa hal itu merupakan pemberhentian secara sepihak dari yang bersangkutan untuk meletakkan jabatan yang sedang dipangkunya sesuai makna ketentuan huruf b Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 34 Tatib DPR di atas.

Kemudian disebutkan dalam ketentuan lanjutannya UU MD3 Pasal 87 ayat (3) dan Tatib DPR Pasal 35 ayat (1) menyatakan apabila salah seorang Pimpinan DPR berhenti sementara dari jabatannya karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam minimal 5 tahun atau lebih, anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang diantaranya untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai ditetapkannya pimpinan yang definitif.

Menindaklanjuti ketentuan ketentuan di atas, berdasarkan hasil rapat pimpinan DPR pada 11 Desember 2017 setelah disetujuinya pengunduran diri Setya Novanto oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR maka menetapkan Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam Fadli Zon sebagai Plt Ketua DPR menggantikan Setya Novanto yang berhalangan tetap. Di saat yang bersamaan DPP Partai Golkar juga akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang didukung dan didesak 31 perwakilan DPD I partai berlambang beringin pada 15-17 Desember 2017 mendatang.

Gelaran Munaslub ini merupakan keniscayaan karena telah memenuhi persyaratan kuorum minimal 2/3 dari jumlah DPD di masing-masing Provinsi se-Indonesia yang tercantum dalam AD/ART Partai Golkar ini memiliki agenda utama untuk memilih Ketum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR definitif sekaligus sepeninggal Setya Novanto. Penyelenggaraan Munaslub merupakan salah satu pergerakan politik dalam melaksanakan perintah UU MD3 dan Tatib DPR yang menyatakan bilamana salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya maka penggantinya berasal dari partai politik yang sama dan pimpinan partai politik yang bersangkutan melalui fraksinya di DPR menyampaikan nama pengganti Ketua DPR kepada pimpinan DPR sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 46 ayat (2) dan (3) Tatib DPR dan Pasal 87 ayat (4) UU MD3.

Maka Golkar perlu segera menggelar Munaslub agar terpilih Ketum DPP Golkar yang definitif sehingga ketum definitif yang baru pun bisa segera mengajukan calon pengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR di lingkungan internal partainya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 87 ayat (4) UU MD3.

Polemik dan perdebatan mulai mengemuka saat momentum pengunduran diri Setya Novanto mencuat di publik dimana dalam surat yang disampaikannya pada 6 Desember 2017 memuat pula rekomendasi penunjukan sepihak Aziz Syamsuddin sebagai pengganti dirinya.

Sebagaimana yang ditelah dipaparkan di muka bahwa Setya Novanto tidak lagi menjabat sebagai Ketum DPP Partai Golkar terhitung 21 November 2017 dan sebagai penggantinya ditetapkan Idrus Marham sebagai Plt. Ketum, maka konsekuensi yuridisnya Setya Novanto tidak memiliki kewenangan dan tanggung jawab hukum lagi secara institusional dalam segala keputusan dan/atau tindakan hukum untuk mewakili dan mengatasnamakan partainya.

Hal ini simetris dengan prinsip dalam optik hukum optik Hukum Administrasi bahwa tiada tindakan/kebijakan administrasi tanpa kewenangan yang diberikan oleh hukum (principle of legality), dan tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban yang bersangkutan (there is no authority without responsibility). Suatu keputusan dan/atau tindakan yang dibuat di luar kewenangannya (outside jurisdiction) dari seorang administratur pembuat keputusan itu batal demi hukum dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun (null and void, and no legal effect).

Jika melihat DPP Partai Golkar dalam waktu dekat ini akan segera Munaslub seperti yang disinggung di atas bisa kita spekulasi bersama bahwa selain ingin mengadakan pemilihan dan pergantian Ketum yang definitif, DPP yang didukung oleh 31 perwakilan DPD Partai Golkar setiap provinsi di Indonesia juga karena sifat pelaksana tugas (Plt) Ketum yang sekarang dijabat oleh Idrus Marham selaku Plt Ketum DPP Partai Golkar yang sifatnya sementara.

Kembali jika kita bertitik pijak pada optik hukum administrasi, maka karakteristik Plt dikategorikan sebagai sumber kewenangan yang didasarkan oleh pemberian mandat dalam menjalankan tugas rutin dari pejabat definitif “yang berhalangan tetap” disamping Pelaksana Harian (Plh) yang menjalankan tugas rutin dari pejabat definitif “yang berhalangan sementara”. Kategorisasi mengenai Plt dan Plh sendiri bisa dilacak dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).

Perbedaan antara kedua frasa tersebut adalah apabila “berhalangan sementara” memprasyaratkan pejabat definitif tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam limitasi waktu tertentu sebelum ditunjuk Plh. misalnya sakit, menjalankan ibadah umroh atau haji, dinas ke luar negeri dll. Sedangkan “berhalangan tetap” memprasyaratkan pejabat definitif yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya secara berkelanjutan sehingga terjadi kekosongan/kelowongan jabatan yang ruang lingkupnya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya dapat kita lacak di dalam ketentuan UU MD3 Pasal 87 ayat 1 jo. Tatib DPR Pasal 34 sebagaimana yang telah disinggung di atas. Jika dikaitkan dengan kasus Setya Novanto jelas termasuk kategori “berhalangan tetap” dimana ia tidak bisa menjalankan lagi tugasnya secara berkelanjutan karena telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Pimpinan secara permanen baik dalam struktur organisasi partai politik maupun dalam penyelenggara negara di parlemen.

Perlu dipahami juga bahwa karakteristik Plt selain adanya prasyarat tersebut, juga memiliki karakteristik yaitu tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan dan/atau tindakan yang sifatnya strategis dan berdampak pada perubahan status hukum subyek hukum.

Merujuk pada penjelasan ketentuan Pasal 4 ayat (7) UUAP bahwa keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis adalah yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja. Sedangkan makna perubahan status subyek hukum yaitu melakukan pengangkatan, mutasi, pemberhentian dll.

Kemudian seperti yang telah disinggung di awal bahwa Plt dan Plh merupakan sumber kewenangan yang berasal dari mandat, bukan melalui atribusi dan delegasi. Hal ini juga memiliki relevansi dimana Plt dan Plh tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan dan/atau tindakan yang sifatnya strategis dan berdampak pada perubahan status hukum subyek hukum karena sumber kewenangan mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab kepada si penerima mandat (mandatory), melainkan tanggung jawab itu tetap inheren pada si pemberi mandat (mandator).

Terkait hal ini menurut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan cara, yaitu atribusi dan delegasi. Sedangkan mandat merupakan kewenangan yang tidak mengakibatkan peralihan responsibility kepada mandatory.

Oleh karena itu mandatory dilarang mengambil kewenangan yang sifatnya strategis dan berdampak pada perubahan status hukum karena hal itu akan menjadi tanggung jawab dan tanggung gugat si mandator, dalam hal ini pejabat definitif nantinya. Ketentuan ini secara konsisten simetris dengan asas yang telah dikemukan di atas “there is no authority without responsibility”.

Ketentuan ini tidak hanya tidak hanya diperuntukkan dalam scope birokrasi pemerintahan atau penyelenggara negara tapi juga diperuntukkan bagi NGO’S yang termuat secara khusus dalam AD/ART atau aturan internalnya agar tercipta harmonisasi dan sinkronisasi dalam tertib hukum nasional.

Maka dari itu barangkali hal inilah yang mendorong DPP Partai Golkar dengan dukungan dan desakan dari lebih 2/3 perwakilan DPD yang tersebar di masing-masing provinsi ingin segera menyelenggarakan Munaslub guna memilih ketua umumnya secara definitif yang dapat bertanggung jawab berdasarkan kaidah hukum administrasi dan menunjuk salah satu kadernya melalui penetapan Ketua Umum DPP Golkar yang telah definitif untuk mengirimkan pengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang definitif pula yang sekarang baru dijabat oleh Fadli Zon sebagi Plt. Ketua DPR.

Beralih pada problem pelanggaran etik yang dilakukan oleh Setya Novanto ketika hendak ditahan oleh KPK. Pakar Hukum Tata negara, Mahfud MD menilai Setya Novanto pura-pura sakit karena berdasarkan keterangan RSCM dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), kesehatan Novanto dinyatakan baik-baik saja dan tidak memerlukan rawat inap. Hal itu menurutnya merupakan pelanggaran etika luar biasa yang dilakukan sekaliber pejabat tinggi negara.

Selain apa yang dikemukakan oleh Mahfud MD tersebut, penulis menambahkan Setya Novanto juga melakukan pelanggaran etik ketika ia menghilang atau kabur dari rumahnya ketika hendak dijemput paksa oleh KPK. Pernyataan ini  cukup beralasan secara hukum mengingat hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) huruf a yang menyatakan “Pimpinan DPR diberhentikan apabila b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Dalam ketentuan lain juga disinggung soal pelanggaran etika di Pasal 2 dan Pasal 3 Kode Etik DPR yang memuat soal kepatuhan hukum dan integritas anggota Dewan. Di dalam Pasal 81 huruf g UU MD3 juga disebutkan seorang anggota dewan berkewajiban menaati tata tertib dan kode etik.

Apabila yang bersangkutan dinyatakan melanggar ketentuan tersebut maka bisa diterapkan Pasal 237 dan Pasal 238 UU MD3 yaitu bisa dijatuhi sanksi etik yang tidak menutup kemungkinan sanksi pemberhentian oleh MKD.

Oleh sebab itu MKD seharusnya bisa menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik Setya Novanto bukan berdalih MKD tidak berwenang karena Setya Novanto belum berstatus sebagai terdakwa. Bahkan secara etis TAP MPR No. 6 dan TAP MPR No. 8 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan pencegahan KKN yang masih tetap berlaku sebagai hukum positif memungkinkan sanksi pelanggaran etika dijatuhkan terlebih dahulu tanpa harus menunggu sanksi pidana yang telah inkracht.

Hal ini sudah pernah menjadi semacam yurisprudensi dimana Akil Moechtar diberhentikan dari jabatan Ketua MK oleh Presiden melalui rekomendasi putusan akhir Majelis Kehormatan MK sebelum adanya sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Dari apa yang dikemukakan dalam pembahasan terakhir ini, Penulis berpendapat baik statusnya tersangka, terdakwa, terpidana, ataupun tidak berstatus ketiga-tiganya, MkD tetap berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sepanjang telah terjadi dugaan pelanggaran etika oleh yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan yang diatur dalam muatan isinya.

*Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik & Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur, E-mail : zulfikar_ardiwardana@umg.ac.id/zulfikar9040@gmail.com

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry