“Jadi, tidak ada lagi pucuk atau puncak piramida kekuasaan di negeri ini. Ini namanya BUNUH DIRI MASSAL ala reformas.”

Oleh Zulkifli S Ekomei

APA yang dikatakan oleh Tubagus Hasanuddin, politikus PDIP, terkait wacana “Jokowi tiga periode” cukup menarik dicermati.

Bukan apa, “Selain bertentangan dengan konstitusi, rencana itu akan melanggengkan kekuasaan yang terlalu lama”.

“Begitu kotak pandora dibuka, bisa tiga, empat, bahkan sepuluh periode”, ujar Hasanuddin. Ini premis ilmiah dari Hasanuddin, politisi PDIP.

Dan barangkali, sekali diketok perpanjangan masa jabatan presiden tiga tahun, maka usai perpanjangan waktu berakhir, bisa meminta tambah lagi, tambah, dan tambah. Ini narasi lain jika merujuk premis Hasanuddin tentang wacana tiga periode Jokowi.

Padahal, ada Ketetapan (TAP) MPR No. XIII/MPR/1998 tanggal 10 – 13 November 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. TAP MPR di atas adalah akomodasi salah satu tuntutan reformasi yang tersurat di Pasal 1:

“Presiden dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Jika “kotak pandora” dibuka, kuat berpotensi seperti orde lama dan orde baru. Duduk berlama-lama di kekuasaan. Gilirannya akan cenderung: power tends to corrupt, and absoulute power corrupts absolutly (Lord Acton, 1834-1902). Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korupsi pun mutlak terjadi. Akhirnya korupsi menjadi keniscayaan.

Mengapa demikian?

Sebab, korupsi itu tidak hanya mencuri uang negara, lebih berbahaya justru korupsi kebijakan. Selain menjarah uang negara, korupsi kebijakan juga mencuri masa depan generasi mendatang melalui aturan serta kebijakan yang berpihak kepada segelintir (oligarki) orang. Ini sekadar contoh bahkan sebenarnya sudah berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masive.

Rujukan utama kekuasaan adalah kedaulatan rakyat selaku pemilik tertinggi kedaulatan. Bukan kedaulatan partai, kelompok, apalagi bila kekuasaan dimaksud dalam kendali segelintir orang sebagaimana kini berlangsung akibat sistem presidential threshold 20% di satu sisi, sedang mayoritas partai justru bersandar kepada oligarki pada sisi lain.

Wajar bila muncul kecenderungan, bahwa tidak sedikit kebijakan-kebijakan strategis diremot (dikendalikan) oleh kaum oligarki, si pemilik pemodal.

Jika pertimbangan (utama) dua periode masa jabatan presiden tidak mencukupi guna menuntaskan grand strategy, ataupun dua periode masa jabatan menghalangi program infrastruktur, dan lain-lain.

Kenapa tidak digelorakan lagi spirit GBHN sebagaimana dulu pernah hidup semasa orde baru? Syaratnya menghidupkan GBHN hanya satu:”Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli”.

Asumsinya ialah, Presiden bisa silih berganti, jatuh bangun dst, tetapi arah politik rakyat (GBHN) —pemilik kedaulatan— harus ajeg, tetap, dan utamanya berbasis kedaulatan rakyat sebagai rezim tertinggi.

Salah satu persoalan hulu di negara ini adalah GBHN telah dicabut melalui TAP MPR No IX/MPR/1998 perihal Pencabutan TAP MPR No II/MPR/1998 tentang GBHN.

Dengan demikian, GBHN sudah tidak ada. GBHN sudah hilang dalam konstitusi. Lebih parah lagi, pada amandemen ke-4 UUD 1945 telah mengubah status MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara.

Jadi, tidak ada lagi pucuk atau puncak piramida kekuasaan di negeri ini. Ini namanya BUNUH DIRI MASSAL ala reformasi. Negeri tanpa pucuk piramida. Semua institusi negara setara. Kontrol kekuasaan hanya bersifat check and balance.Tak lebih. Presiden tidak lagi mandataris MPR/rakyat, dimana MPR dapat menyidang Presiden bila melanggar konstitusi.

MPR kini bukan penjelmaan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Ia cuma lembaga stempel. TAP-nya tak lagi bisa mengatur, namun hanya administratif. Menyedihkan.

Kedaulatan sudah dirampas dan telah terampas oleh sistem politik akibat amandemen UUD 1945 empat kali (1999, 2000. 2001 dan 2002). Sekali lagi, MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan TAP yang bersifat mengatur (regeling) seperti membuat GBHN, mengubah UUD, menunjuk presiden/wakil, dan lainnya. TAP MPR sekarang hanya bersifat seremonial. Keputusan administrasi.

Jadi, siapapun presidennya bila sistem politik masih berbasis konstitusi hasil amandemen empat kali UUD 1945 (1999, 2000, 2001 dan 2002), maka sesungguhnya ia bukan pelaksana kedaulatan rakyat/mandataris MPR, tetapi sekadar ‘kacung’-nya pemilik modal, hanya petugas partai belaka.

__@____

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry