
“Marilah Idul Fitri 1446 H ini menjadi pembelajaran untuk mewujudkan pemilu 2030 kelak, nun jauh waktunya. Atau untuk aktivitas harian kita juga. Hal ini kita lakukan sebagai teladan secara ekologis dan tidak menjadi beban lingkungan,”
Oleh Suparto Wijoyo*
HUJAN mewarnai perjalanan silaturahmi selama Idul Fitri 1 Syawal 1446 H di beberapa kota di Tatar Sunda. Cirebon, Kadipaten, Tomo, Bandung dan sekitarnya. Saya dan keluarga menikmatinya. Hujan rintik maupun deras menjadi penanda bumi sedang dihidupkan oleh Tuhan. Alquran pada surat Al-An’am ayat 99 menyatakan: “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan”. Demikian pula Alquran di surat Az-Zukhruf ayat 11 tertorehkan: “Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati”.
Termasuk Bandung, dalam hari-hari lebaran itu diwarnai kesejukan air hutan. Justru semakin merak sewaktu bersama keluarga bertandang ke para kolega maupun guru-guru peradaban. Kabar dari para sedulur dari berbagai kota menceritakan kondisi hujan deras dan tanah longsor di Jawa Timur, Jawa Tengah dan lain-lain lokasi di Jawa Barat, bahkan luar Pulau Jawa menjelang lebaran. Sementara cerita tentang pemilihan ketua-ketua ormas tingkat ranting maupun cabang juga kian semarak. Kondisinya tidak jauh beda dengan areal pilkada. Semuanya menjadi bahan selingan gegojekan (gurauan) dalam anjang sana anjang sini diantara sanak keluarga. Akhirnya memang keabsahan demokrasi seyogianya berbanding lurus dengan perbaikan kehidupan sosial, lingkungan dan ekonomi. Ternyata juga ada di ormas keagamaan yang kerap penuh tanya.
Tahun 2025 ini telah dinisbatkan oleh publik sebagai Tahun Konsolidasi dengan helatan politik pilkada ulang di mana-mana. Ini merupakan babakan demokrasi yang harus diapresiasi dengan segala implikasinya terhadap pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial dan lingkungan. Terhadap pelaksanaan lebaran dan urusan pelantikan kepala daerah terpilih hasil pilkada ulang tersebut ada sesuatu yang mengkhawatirkan secara ekologis. Berjuta-juta ton sampah plastik dari alat peraga kampanye yang berjajar dari Aceh sampai Papua dapat membahayakan keseimbangan ekosistem nasional. Kontestan yang tidak ramah lingkungan dalam bahasa yang hiperbolik dapat mengguncang tatanan ekologis Indonesia. Dan inilah yang kemarin dipentaskan. Bahkan dalam kasus lain Pulau Dewata Bali kebanjiran sampah yang menjadi perhatian dunia. Kali ini TNI tampil terdepan untuk membersihkannya. Salut.
Simak dan saksikanlah bagaimana pilkada baik yang “original” maupun yang ulang bertanding? Promosi mereka dengan baliho yang dipamerkan di ruang publik secara serampangan dipastikan melanggar etika dan estetika perkotaan. Ruang kota dan desa yang melaksanakan gawe demokrasi terasa sangat memusingkan kepala warganya. Areal perkotaan ataupun pedesaan dianggap sebagai etalase privat yang halal digunakan kapanpun mereka suka. Kondisi yang terpapar menyiratkan fakta bahwa demokrasi belum dibarengi kepekaan ekologis. Kota dan desa yang indah menjadi sangat timpang dengan ulah yang tidak memiliki sensitivitas ekologis maupun planologis. Lorong-lorong publik dijejali dengan tanda gambar yang terkesan angkuh dan egois dengan alasan menyosialisasi jatidirinya. Mungkin mereka pikir ini adalah pesta demokrasi dan yang dinamakan pesta pasti sangat meriah dengan permafhuman pelanggaran dapat ditoleransi.
Bukankah kita bisa membuat pesta demokrasi yang lebih beradab dengan panataan kota dan desa yang etik dan estetis secara ekologis. Para caleg berkampanye dengan ketuk pintu dan bersimpuh di haribaan warga. Tim mendata berapa suara yang dibutuhkan untuk menduduki kursi dewan. Semua diajak bicara dan diminta komitmennya dengan identitas yang jelas: by name-by addres. Silaturahmi personal 2 dengan menanam pohon misalnya, niscaya merefleksikan kecerdasan sosial, emosional, keagamaan, sekaligus ramah lingkungan.
Kita mesti paham bahwa gambar yang terbuat dari plastik sangat membahayakan keberlajutan lingkungan. Plastik itu hanya dapat didaur oleh alam secara naturalis dalam rentang waktu 100-120 tahun. Plastik tanda gambar pemilu 2024 dan 2025 baru terurai sekitar tahun 2139. Betapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menetralisir beban pemilu 2024 dan 2025. Waktu seabad lebih tentu bukan waktu yang singkat. Berapa milyar ton sampah plastik yang harus ditimbun di rahim Ibu Pertiwi akibat pemilu yang abai terhadap kepentingan lingkungan?
Diapakan sampah-sampah plastik produk tahun politik itu nantinya? Pernahkah mereka mendaur ulang? Penyelenggara pemilu saatnya memberikan pengaturan yang terkualifikasi dalam gerakan go-green termasuk green legislation dan green regulation. Peraturan pemilu yang berbasis lingkungan tentu saja merupakan episentrum kebijakan lingkungan dalam setiap lini kehidupan politik. Momentum pemilu dapat menjadi ajang pembelajaran lingkungan yang baik.
Semua pihak kini mengerti bahwa dari gambar plastik yang dicetak menandakan bahwa ada bahaya yang menyertai pemilu. Kita musti memiliki kesepakatan kolektif untuk mewajibkan kontestan itu mencetak tanda gambarnya dengan bahan nonplastik yang dengan mudah dapat didaur ulang oleh alam. Ini memang secara personal membutuhkan kemauan dan keberanian untuk berbuat ramah lingkungan. Terdapat pemahaman bahwa para kandidat yang bertarung dalam pemilu itu memiliki kapasitas kecerdasan intelektual dengan derajat emotional intelligence (kecerdasan emosional) dan spiritual intelligence (kecerdasan religius) yang mapan. Namun cukupkah itu untuk melindungi lingkungan dari krisis ekologis yang kian mendera? Pemilu seyogianya disukseskan dengan tingkat kecerdasan yang komprehensif, karena kecerdasan emosional dan spritual saja tidak maton untuk mewujudkan good environmental governance. Mayoritas dari kita selama ini memang mendeklarasikan diri cinta lingkungan, meski terkesan NATO alias no action, talk only.
Untuk itulah pelaku demokrasi perlu menumbuhkan kecerdasannya tidak hanya kecerdasan emosional dan intelektual serta spiritual, tetapi juga kecerdasan lingkungan. Psikolog sekaliber Daniel Goleman menawarkan ukuran baru perilaku seseorang yang dinamakan ecological intelligence. Lingkungan harus menjadi parameter sekaligus variabel penentu setiap perilaku seseorang. Orientasi ekologis adalah cermin pembulat kecerdasan eomosional dan spiritual. Orang yang memiliki ecological intelligence akan memposisikan diri pada lingkungan secara ekosistemik yang terintegrasi dengan sikap hidupnya.
Dengan paradigma kecerdasan lingkungan, masih ada waktu berbenah bahwa alat peraga kampanye yang sudah terlanjut dicetak dari plastik itu oleh peserta pemilu dan timnya akan dikumpulkan kembali oleh mereka untuk diterapkan 3R (reduce-reuse-recycle). Kalaulah ini yang mereka lakukan pada musim hari tenang, maka para caleg itu sesungguhnya telah menerapkan “tanggungjawab produsen atas sampahnya”. Dengan demikian pemilu kali ini benar-benar mengubah perilaku tentang sampah yang semula: KAB (kumpul-angkut-buang) menjadi KK-POU (kurang-kumpul-pilah-olah-(menjadi) uang). Pemilu yang tadinya menjadi pintu gerbang persampahan akan menyemai panen raya sampah dalam artian yang positif. Demokrasi-sosial dan ekologi berjalan secara seimbang dan mampu mengolah sampah bernilai ekonomis. Bahkan plastik dengan POD (plastic-oil-destilator) yang diciptakan oleh teman-teman SMKN di Madiun, telah mampu mengubah plastik menjadi BBM alternatif. Berarti gambar-gambar plastik tersebut dapat diolah dengan POD menjadi energi alternatif untuk mengatasi krisis BBM ke depan.
Marilah Idul Fitri 1446 H ini menjadi pembelajaran untuk mewujudkan pemilu 2030 kelak, nun jauh waktunya. Atau untuk aktivitas harian kita juga. Hal ini kita lakukan sebagai teladan secara ekologis dan tidak menjadi beban lingkungan. Kita semua dapat menjadi pelopor gerakan laku ramah lingkungan. Bukankah kita bisa berkoalisi untuk hal semacam ini yang dalam gagasan David Straker: kita harus melakukan “the quality conspiracy” demi keselamatan ekologis Indonesia. Ajakan ini bukanlah “game of language” melainkan pembaruan perilaku individual dan institusional tahun politik yang bijak terhadap lingkungan. Tidakkah publik nanti mampu memilih calon yang benar-benar teladan lingkungan dalam ucap dan perbuatan? Berpaling pada pikiran inspiratif John Plender: bukankah ini “a stake in the future” bagi Indonesia? Selamat berlebaran dan mohon maaf lahir batin ya. Dan inilah cara kita juga menjaga bumi. Terutama di saat Idul Fitri, tempo hari dan saat ini.
Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.