
“Kesadaran tertinggi yang dapat dipetik pastilah bahwa War Takjil dalam Ramadan ini harus dilanjutkan di luar Ramadan, dirawat dan terus disyukuri tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan seluruh anak negeri.”
Oleh Suparto Wijoyo
RAMADAN tidak pernah habis dikupas dalam beribu-ribu lembas kajian. Bahkan berjilid-jilid buka tidak akan pernah sanggup mendokumentasikan keajaibannya. Pada titik ini saya menyaksikan, Ramadan adalah bulan keragaman, kerukunan dan lambang paling abadi persatuan umat manusia atas nama persaudaraan. Bulan saling menyapa dan saling menghidupkan antar manusia dalam beragam iman dan suku bangsa. Kita beruntung dapat hidup dalam sebuah era yang mengenal adanya Ramadan.
Simaklah dengan menerungkannya dengan jujur. Gempitanya yang nyerempet metropolitan Surabaya pada Maret 2025 ini seperti pada tahun lalu, 2024, sangat mengagetkan. Kami yang berada di kampus dan mereka yang berkerumun di mall-mall serta rumah-rumah perkampungan, langsung semburat. Sampai saat ini masih menjadi bincangan dan negara bersama warganya terpanggil membantu para “korban kebersamaan”. Liputan pemberitaan masih berlangsung. Pada sisi ini sejatinya ada “gempa sosial” yang justru mengasyikkan, karena guncangannya semakin membuat lengketnya perbedaan menjadi selubung ketunggalan bermasyarakat.
Lihatlah. Ramadan 1446 H ini menyajikan fenomena baru yang mulai ada sejak 2024. Meski sejatinya sejak zaman kakek-nenek saya. Orang berburu takjil yang dikenal dengan sebutan war takjil. Muncul pergerakan yang menggambarkan keunikan. Melibatkan ragam kalangan. Muda-tua, pria-wanita, anak-anak maupun remaja. Semuanya tumplek-blek memenuhi semua sisi perkotaan sampai perdesaan. Lihatlah kumpulan ini saat malam akhir pekan di sekitaran tempat ibadah atau lapangan terbuka, atau jalan yang memanjang memasuki areal perkampungan. Muslim-nonmuslim saling mendekat di arena yang sebelumnya tidak mencuat ke permukaan. Jelang waktu matahari lingsir menjemput maghrib, orang-orang pada keluar memenuhi jalanan, meramaikan sudut-sudut penjualan takjil. Warna kulitnya tidak homogen dan latar dudayanya tampak hiterogen. Sisi religiusitasnya pun nonmuslim. Atribut imannya tidak menjadi bincangan. Semua lebur dalam satu kebutuhan tunggal menikmati nuansa Ramadan.
Kehadiran warga kota yang bergerombol itu tarasa mulek koyok susur (alias padat berhimpitan) di antara lapak-lapak dagangan makanan takjilan. Tetangga dan kolega sangat bersyukur atas situasi Ramadan ini. Camilan sore hari dan kebutuhan makan malam hari telah cumepak, telah tersedia di titik-titik teritorial perkampungan. Saudara-saudara nonmuslim justru sangat antusias, termasuk mengundang buka bersama. Kawula hawa dan emak-emak merasa diuntungkan atas penjualan produksi takjilan, karena lebih ringan tugasnya, tidak perlu masak dan belepotan menjalankan tugas di dapur. Mereka tinggal keluar gang dan pergi ke lorong kampung, acap kali ketemu pusat-pusat jajanan takjilan. Mereka serentak melingkar ke dagangan takjilan dalam kerangka konstruksi sosial yang kini diramaikan dengan sebutan War Takjil.
Gempita spiritnya mendapatkan makanan buat takjil guna membatalkan puasa bagi muslim, atau untuk mengobati rasa lapar bagi kawan saya yang nonmuslim, bahkan menyatakan sebagai tombo iler. Sungguh, bagi mereka jenis-jenis makanan yang dijual dalam meja-meja yang tergelar itu sangat menarik minat, membuat ingin meraupnya banyak-banyak. Seolah mereka serentak berseru: ayo bergerak, serang, maju, serbuuuuuuu untuk meraih makanan takjil. Ini kenyataan yang sangat penting. Bukan karena kebutuhan atas pangan yang tercukupi, melainkan membaurnya warga negara untuk saling merekatkan kesatuan berbangsa. Mereka merasakan nikmatnya Ramadan dan teduhnya muslim dalam membersamai saudaranya yang nonmuslim.
Dalam War Takjil terdapat kasunyatan yang jualan muslim dan yang beli takjil nonmuslim, begitu juga sebaliknya. Mudah ditemukan di sentra-sentra jualan di semua wilayah metropolitan ataupun di tingkatan kabupaten-kabupaten. Muslim dan nonmuslim bertemu dalam ruang Ramadan. Dipersatukan oleh kebutuhan bersama, yaitu menikmati sajian jajanan takjil yang dihitung murah meriah, dan enak. War Takjil menyuguhkan fakta betapa sekat sosial atas nama ras, agama, dan suku bangsa telah mencair, melumer menjadi adonan kental yang meneguhkan keberadaan warga manusia. Sesama manusia penghuni Nusantara telah menyatukan jiwa dan ruhani pesonanya. Untuk hari ini termasuk mereka yang sangat berbeda pilihan dalam pilpres 2024 dulu itu, sudah dapat makan takjil bareng, duduk bareng, ngobrol bareng. Sangat dewasa berdemokrasi dan kian menggumpalkan kemanusiaannya yang utuh. Adapun yang masih pemilihan ulang, tampak sudah mereka fokus menyerbu takjil di wilayah masing-masing.
War Takjil selaksan menjadi agen pergerakan yang melambangkan keindahan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. NKRI menjadi panggung persatuan dan Ramadan memberikan keajaiban sosial itu. Dalam konteks inilah saya teringat pula filosofi Suku Amungme yang telah dikenal luas: “Te Aro Neweak Lamo”. Ungkapan ini sangat familier sekaligus menunjukkan tingkat magis yang luar biasa. Suatu penggambaran hubungan yang tiada batas antar warga Papua (baca Indonesia) dengan hamparan tanah dan gunung yang kaya raya. “Te Aro Neweak Lamo” yang berarti “Alam adalah diriku, Aku adalah Tanah” sebagaimana diceritakan dalam buku Quo Vadis Papua yang ditulis oleh putra Papua, Freddy Numberi.
Dengan ungkapan itu telah terkisahkan berderet cerita, berjajar pelajaran dan bertumpuk dongeng serta berpendar teladan atas relasi yang sangat ritmis dalam Ramadan ini. War Takjil yang telah memberikan banyak fantasi dengan keragaman hayatinya. Kesadaran tertinggi yang dapat dipetik pastilah bahwa War Takjil dalam Ramadan ini harus dilanjutkan di luar Ramadan, dirawat dan terus disyukuri tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan seluruh anak negeri. Keriuhan massal antarwarga dengan isu muslim-nonmuslim tidak lagi dipertentangkan, melainkan dimaknakan pasedulurannya. Kata kawan dari Bumi Cendrawasih ada ungkapan, hat hinda an ninda – hatimu, hatiku, bertautlah dalam War Takjil. Ramadan adalah panggung besar keragaman yang manunggal. Subhanallah.
*Prof Dr H Suparto Wijoyo, SH, MHum, CSSL adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI Jawa Timur, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan Guru Besar serta Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.