SURABAYA | duta.co – Gempuran terhadap tradisi atau amalan Islam ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, belakangan semakin masif. Ancaman itu bukan saja dari mereka yang suka menbid’ahkan amalan nahdliyin seperti yasin-tahlil. Lebih dari itu, budaya  hedonism atau pandangan bahwa kesenangan dan kenikmatan, merupakan tujuan hidup telah menjadi ancaman yang lebih serius.

“Bahwa Wahabi itu mengharamkan istighotsah, barzanji, manakib, yasin-tahlil, itu benar. Tetapi, kita mudah menghadapi mereka. Tidak sulit. Mengapa? karena kita bisa perang hujjah, dalil. Sebaliknya, ‘penggusuran’ nahdliyin, masifnya budaya hedonism, ini bisa membuat nasib nahdliyin lebih tragis,” demikian Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin, SH, MH kepada duta.co, Kamis (21/10/21).

Menurut Gus Yasin, panggilan akrabnya, sehebat apa pun aktor Wahabi, pasti  kesulitan menghadapi warga NU yang, sampai sekarang tak tertandingin soal kajian amaliah. Apalagi, regenerasi kiai di NU berjalan dengan baik. Ia merujuk fakta, bahwa, tidak sedikit serangan Wahabi yang mudah terpatahkan oleh kita.

Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin, SH, MH

“Belum lagi kita memiliki puluhan Ma’had Aly. Setiap tahun lembaga ini menwisuda ribuan santri. Ini lebih dari cukup untuk menghadapi serangan Wahabi. Jadi? Menghadapi serangan Wahabi, itu tidak perlu setingkat PBNU, tidak perlu Banser GP Ansor, cukup santri-santri Ma’had Aly. Ilmu mereka sudah melebihi dedengkot Wahabi,” jelasnya.

Risih

Tirulah Hadratusysyeh KH  Hasyim Asy’ari, katanya, bahwa, untuk membentengi amaliyah dan tradisi NU, beliau begitu kuat menjaga marwah kiai, marwah NU, marwah pesantren. Lihatah, Mbah Hasyim tidak mau berebut kekuasaan. Apalagi duit-duitan, sampai gontok-gotokan. “Ini yang semakin terkikis di NU. Dengan begitu, marwah kiai, marwah organisasi menjadi jatuh. Maka, jatuh pula di hadapan Allah swt.,” tegasnya.

Dan, tambah Gus Yasin, sudah begitu ada yang ‘bermain api’. Sibuk mendekat ke kekuasaan, mencari simpati ke Syiah bahkan Yahudi Israel. Alasannya meneruskan perjuangan Gus Dur. “Apa iya? Karena, faktanya, berebut ‘ghonimah’.  Beda sekali dengan Gus Dur. Istilah anak-anak sekarang Baina (antara) sama‘ (langit) wa (dan) sumur. Gus Dur hidupnya sangat sederhana,” tegasnya.

Akhirnya, demikian menurut alumni PP Tebuireng, Jombang ini, yang terjadi justru budaya kita tergeser jauh, meninggalkan tradisi NU. “Lihatlah, di banyak daerah warga NU kalah dengan kapitalis, selain itu, sering beredar di medsos oknum Banser berjogetria, tidak rishi nyawer penyanyi bikini. Kalau begini, jangankan mempertahankan amaliyah atau tradisi NU, organisasi Islam terbesar ini, bisa-bisa ambyar,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry