SURABAYA | duta.co – Pujangga “Celurit Emas” D Zawawi Imron meyakini Pertempuran 10 November 1945 (Hari Pahlawan) terkait dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 (Hari Santri), karena semangat perjuangan dalam pertempuran itu digelorakan para ulama se-Jawa Madura melalui fatwa dan resolusi jihad.

“Saya yakin semangat dalam pertempuran 10 November itu didorong fatwa para ulama se-Jawa Madura yang menyatakan wajib melawan penjajah dan mati syahid bila gugur dalam pertempuran itu,” katanya dalam pengantar puisi pada ‘Mujahadah Pejuang’ di Gedung HBNO Surabaya, Minggu malam.

Mujahadah Pejuang di Gedung “Hofd Bestuur NO” atau HBNO (Kantor PBNU Tempo Dulu) di Surabaya itu dihadiri oleh Mustasyar PWNU Jatim/Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Rais Syuriah PBNU Prof DR Mohammad Nuh DEA, Kapolda Jatim Irjen Pol Nanang Avianto, dan 1.000-an pengurus NU tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa se-Jatim.

Dalam Mujahadah Pejuang yang diawali dengan khotmil Qur’an, istighotsah, dan doa untuk pejuang NU pada malam hari menjelang Hari Pahlawan itu, Zawawi Imron menjelaskan keyakinannya diperkuat oleh pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo saat penetapan Hari Santri pada 2015 bahwa Pertempuran 10 November 1945 tidak akan pernah ada tanpa adanya Resolusi Jihad.

“Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memang membuat penjajah tak rela, karena itu Kota Surabaya menjadi sasaran utama penjajah Belanda yang datang lagi dengan membonceng Sekutu, namun Arek-arek Surabaya juga tidak rela. Saat itulah, Kiai Hasyim Asy’ari melihat umat dengan rahmat, lalu beliau mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura hingga tercetuslah Resolusi Jihad,” ujarnya.

Menyikapi Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad itu, tokoh Arek-Arek Surabaya, bung Tomo, melakukan koordinasi dengan Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari hingga menerima saran untuk menggelorakan semangat pejuang dengan teriakan “Allohu Akbar” melalui radio pemberontakan, sehingga Surabaya menjadi “lautan api” akibat keberanian total itu.

“Para ulama mengajari kita bahwa tidak ada alasan untuk tidak cinta tanah air, karena hubbul wathon minal iman (cintah tanah air adalah bagian dari iman), sehingga maut atau kematian pun dianggap kecil, karena Allah Yang Maha Besar. Allohu Akbar, Allohu Akbar,” kata Zawawi Imron yang mengajak cicitnya untuk membacakan puisi dalam acara itu.

Dalam acara yang juga ditandai dengan penyerahan lukisan tentang KHM Hasyim Asy’ari bersama KH Wahid Hasyim-Gus Dur yang dilukis oleh seniman Nabila Dewi Gayatri itu, Mustasyar PWNU Jatim/Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar juga membenarkan pandangan pujangga D Zawawi Imron, karena mujahadah (doa/kesungguhan dalam doa) itu tak terpisahkan dengan Pertempuran 10 November 1945 (perjuangan fisik).

“Doa yang sungguh-sungguh itu merupakan kekuatan perjuangan, bahkan doa itu memiliki kekuatan berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan fisik, karena pejuang atau laskar yang hanya berbekal senjata seadanya mampu menewaskan 1.500 prajurit penjajah dan dua jenderal yang memiliki kekuatan senjata lebih canggih,” katanya.

Mengutip sebuah ayat Al-Qur’an, Kiai Miftachul Akhyar menambahkan “Innalloha Ma’ana” (sesungguhnya Allah bersama kita). “Kemenangan pada 10 November 1945 (Hari Pahlawan) itu mirip Nabi Musa yang dikepung pasukan Raja Fir’aun dan Laut Merah tapi selamat, atau Nabi Muhammad SAW/Sahabat yang diselamatkan Allah dengan sarang laba-laba. Jadi, kekuatan rohani itu melebihi fisik. Itulah NU,” katanya. (*/pwnu)

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry