“Kehidupan (‘saling makan’) tidak mutlak hanya berada pada lapis terbawah masyarakat, namun di tingkat petinggi negeri juga terjadi. Mereka menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang dan pengaruh. Demi kekuasaan, antarpartai saling memangsa, keroyokan dan kerusuhan penuh dendam mematikan.”
Oleh Suhermanto Ja’far*
PANAS! Suhu politik tahun ini, memang, terasa sangat panas. Bahkan setiap perhelatan 5 tahunan yang berupa Pemilu, selalu terasa panas. Kali ini lebih panas karena diwarnai dengan munculnya cawe-cawe presiden tehadap paslon capres-cawapres tertentu. Bukan lagi ‘arus bawah’ cebong dan kampret.
Apalagi cawe cawe tersebut cenderung menggunakan kekuasaan dan kasat mata, sehingga menimbulkan abuse of power. tindakan yang dilakukan seorang pejabat publik atau penguasa dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau korporasi.
Penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk “penyimpangan dalam jabatan” atau “pelanggaran resmi” adalah tindakan yang melanggar hukum, yang dilakukan dalam kapasitas resmi dan memengaruhi kinerja tugas-tugas resmi. Seorang pejabat pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan menerima suap atau menyalahgunakan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi.
Cawe cawe atau keberpihakan presiden atau pejabat publik ini, merupakan watak dasar manusia (human nature) yang ingin selalu mengusai. Human Nature yang melekat pada diri manusia itulah yang menimbukan persaingan sesama manusia. Manusia yang satu dengan lainnya akan saling menguasai. Yang kalah dalam persaingan akan tersingkir dan mereka yang menang akan berkuasa.
Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan, kekerasan. Ini menjadi alat ampuh yang sering digunakan dalam persaingan dan konflik perebutan kekuasaan. Human nature inilah menjadikan manusia dalam istilah Hobbes sebagai homo homini lupus.
Homo Homini Lupus sendiri sebuah kalimat bahasa latin yang berarti manusia adalah serigala bagi sesama manusianya. Istilah tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai manusia adalah serigalanya manusia yang diinterpretasi berarti manusia sering menikam sesama manusia lainnya.
Istilah itu sering muncul dalam diskusi-diskusi mengenai kekejaman yang dapat dilakukan manusia kepada sesamanya. Sebagai perlawanan dari istilah itu, munculah istilah Homo Homini Socius yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusianya, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya yang dicetuskan oleh Seneca.
Kedua istilah Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius tercantum oleh dalam karyanya berjudul De Cive (1651): To speak impartially, both sayings are very true; That Man to Man is a kind of God; and that Man to Man is an errant Wolf (kedua istilah tersebut terdapat kebenarannya; bahwa sesama manusia adalah semacam Tuhan dan bahwa antar sesama manusia pula terdapat serigala yang kejam).
Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan, kekerasan menjadi alat ampuh yang sering digunakan dalam persaingan dan konflik tersebut.
Secara alamiah manusia akan memerangi manusia lain, manusia akan menjadi srigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Hobbes dalam Leviathan menganggap bahwa semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes). (Hobbes:2005, 610).
Keadaan watak alami manusia itu cenderung membuat antarsesama manusia saling menyerang. Oleh karena itu, manusia mengantisipasi dengan mempertahankan diri—dalam istilah David Hume disebut self preservation dari serangan orang lain. Karena itu setiap manusia cenderung agresif menyerang terlebih dahulu sebelum diserang orang lain. (David Hume:Tt, 45-49)
Adanya sifat agresif manusia ini melahirkan banyak teori mengenai perang dan damai, konflik dan integrasi. Jika kita hubungkan dengan relitas sosial politik saat ini pada pemilu 2024, terjadi serang menyerang antara kandidat capres-cawapres, saling menghina bahkan menjatuhkan antarsupporter capres-cawaptres. Lalu ada semacam arogansi lembaga kepresidenan, partai politik bahkan kementerian yang menimbulkan konflik interes dalam pilpres saat ini.
Di sini, budaya yang berpangkal pada kesetaraan manusia, mulai luntur. Sikap saling mengasihi dan menghormati satu sama lain semakin melemah. Dengan kata lain, banyak orang mulai mati rasa terhadap keberadaan dan nasib orang lain. Yang dipikirkan adalah kepentingannya sendiri dan alpa bahwa ada orang lain di sekitarnya. Berani menginjak yang lain untuk meraih apa yang diinginkannya.
Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila telah mengalami kemerosotan moral.
Dalam semua agama agama besar di dunia, diskursus tentang sesuatu yang jahat, nir-kebaikan dan pembangkangan, selalu dilekatkan pada iblis dan atau setan. Tradisi ini bermula dari cerita Adam yang dipengaruhi untuk memakan buah keabadian. Cerita ini berlanjut sampai diturunkannya Adam ke dunia dengan Hawa sehingga muncul peristiwa konflik berdarah pertama kali di muka bumi melalui garis keturunannya, antara Habil dan Qabil.
Rumusan Freud bahwa manusia itu tak lain dari kumpulan ketidaksadaran yang cenderung agresivitas dan kekuasaan, nampaknya ada benarnya. Berbeda sedikit dengan Freud, Adler (1870-1937 M.), murid Freud, dia menerima bahwa sebagai pendorong tindakan yang ada pada manusia adalah ketidak-sadaran, akan tetapi ketidaksadaran itu menurut Adler adalah cenderung kekuasaan.
Bahwa manusia itu tak lain dari kumpulan yang cenderung merebut kekekuasaan. Orang itu ingin dihargai, ingin menonjolkan diri, ingin berkuasa. Kenalilah dan pahamilah realitas terselubung paling mencemaskan dari manusia yakni kerapuhan dan kerentanan sukma, yang kemudian muncul dalam bentuk gengsi dan ambisi. (John W.M. Verhaar:1989, 37-39).
Sementara itu, negara menurut Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Sejarah munculnya negara, polis, di Yunani adalah adanya komunitas kecil yang saling menjaga dan melindungi antar warga dari serangan pihak lain, yang berada di luar komunitas. Komunitas yang ada di dalam polis benar-benar dijaga keamanan dan ketenteramannya.
Kegagalan negara dalam melindungi keamanan dan ketakutan serta kekhawatiran warganya, menyebabkan antara warga negara bukan lagi merasa dan berlaku antar sahabat, tetangga, kolega, akrab lagi. Akan tetapi justru antarwarga saling bermusuhan, saling menindas, dan saling curiga, manusia memangsa manusia lain. Polisi memangsa pengunjuk rasa dengan tongkat pemukul atau ujung senjata, bahkan tidak jarang dengan timah panas dari senjata. Tanah diserobot paksa. nyawa sering lebih murah dan gratis daripada tanah. Tidak ada prasyarat lain bagi si lemah. Jika mengharapkan syarat maka taruhannya adalah jiwa melayang. Seperti serigala memangsa kijang, tidak pernah berpikir bahwa apakah kijangnya marah atau tidak.
Ingat! Kehidupan seperti contoh di atas tidak mutlak pada lapis terbawah masyarakat, namun di tingkat petinggi negeri terus saja menyajikan adegan perburuan kekuasaan, kepentingan, uang dan pengaruh. Hanya demi kekuasaan, antarpartai saling memangsa, keroyokan dan kerusuhan penuh dendam mematikan.
Homo Homini Lupus dan Metafora al-Qur’an
Gambaran al-Qur’an tentang manusia sebagai srigala bagi manusia lain (Homo homini Lupus) adalah gambaran mengenai kisah keturunan Adam, yaitu Habil dan Qabil. Adam merupakan simbol universalitas manusia, sedangkan Habil dan Qabil adalah simbol dari kesejarahan (historisitas) manusia. Ali Syariati sangat gamblang menggambarkan historisitas manusia pada diri Habil dan Qabil, sebagai bentuk polarisasi masyarakat dalam memahami pesan suci sang Ayah, nabiyullah Adam. Ali Syariati menggambarkan secara filosofis dimensi sosial manusia melalui kisah Habil dan Qabil. Manusia cenderung melakukan nalar ”srigala” daripada nalar ”domba”. Nalar ”srigala” lebih cenderung pada penguasan dan penindasan, sedangkan nalar ”domba” cenderung pada persahabatan, persaudaraan dan perdamaian, sehingga tidak heran dalam simbol-simbol Kristiani, Yesus diidentifikasi dengan pengembala (pemimpin) domba-domba (umat yang beriman). (Ali Syariati:tt, 60-61)
Qabil dan Habil adalah dua orang putra Adam. Dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah, Qabil merupakan tokoh yang melakukan pembunuhan pertama dengan membunuh saudara laki-lakinya Habil lantaran kurban persembahannya tidak diterima oleh Allah karena ketidaktulusannya dengan mempersembahkan hasil pertaniannya yang sudah agak busuk. Sesembahan kurban antara Habil dan Qabil sangatlah bertolak belakang pemaknaannya secara social. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, sesembahan Habil berupa domba.
Domba merupakan symbol kehidupan masyarakat pastoral yaitu kehidupan masyarakat yang masih didasarkan pada food gathering, pola kehidupan yang masih mengantungkan pada alam. Domba dan food gathering ini merupakan symbol masyarakat Socius (yang kemudian menjadi sosialisme), yaitu masyarakat komunal (kehidupan masyarakat bersama). Sementara itu, Qabil memberikan kurbannya berupa gandum atau hasil pertanian. Hasil pertanian merupakan pola kehidupan food producing, pola kehidupan yang sudah berproduksi. Ini dalam kehidupan social merupakan symbol masyarakat capital, sebuah masyarakaat yang cenderung pada individualis dan egoistis. Disamping itu, Habil merupakan symbol struktur masyarakat yang dikuasai sedangan Qabil sebagai symbol struktur Masyarakat yang berkuasa.
Inti filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua kutub dialektis. Secara lebih spesifik, Syari’ati menyatakan, “Sosiologi pun berdasarkan dialektika.” Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat (sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil, mengambil dua sosok anak Adam. Oleh karena masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun terbagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati memakai istilah “kutub masyarakat” dalam pengertian “kelas sosial”. Jadi, kutub masyarakat sama dengan kelas sosial, juga sebaliknya.
Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya. Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk ketiga manifestasi Qabil yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil. Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Habil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas). Para budak adalah wujud nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah—dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Jadi, konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau lebih tepatnya bermakna massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.
Dalam konteks pemilu khususnya kontestasi capres-cawapres, mana yang menjadi homo homini lupus, dan mana yang menjadi metafora Habil dan Qabil. Paslon mana yang menjadi pro status quo sebagai klas penguasa dan paslon mana yang menjadi klas rakyat yang diperlakukan diskriminatif ? Allah akan berpihak ke paslon yang mana ? Kita bisa memilih dan memilah setiap paslon sesuai dengan panggilan hati yang terdalam. Itulah pilihan kita. (*)
*Suhermanto Ja’far adalah Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.