*Oleh Hananto Widodo

UNSUR-UNSUR korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, melakukan penyalahgunaan wewenang. Kedua, menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Ketiga, dapat merugikan keuangan negara. Namun berdasarkan putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 kata “dapat”  dalam frase dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dihapus. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran dalam paradigma tindak pidana korupsi dari yang cukup berpotensi merugikan keuangan  atau perekonomian negara (delik formil) menjadi tidak hanya berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara, tetapi benar-benar harus berakibat nyata pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Putusan MK ini menimbulkan problematik tersendiri dalam konteks pemberantasan korupsi. Sebab selama ini unsur terpenting dari korupsi adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Putusan MK ini  menimbulkan implikasi yang serius terkait dengan pembuktian kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara.

Secara konstitusional  lembaga yang berwenang untuk menentukan suatu instansi negara itu terindikasi merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Pasal 8 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dinyatakan, “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.” Sedangkan pada ayat (4) nya menyatakan, “Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Namun kenyataannya, ada beberapa daerah atau instansi pemerintah yang dinyatakan oleh BPK adalah Wajar Tanpa Perkecualian (WTP) tetapi justru pejabatnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sebagai contoh adalah Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho yang terkena OTT KPK padahal berdasarkan hasil laporan dari BPK provinsi Sumut masuk dalam kategori WTP. Begitu juga dengan kasus E-KTP yang telah menyeret beberapa nama pejabat penting, sebagaimana pernyataan Fahri Hamzah tidak menunjukkan kerugian keuangan negara berdasarkan hasil audit dari BPK.

Persoalannya akan menjadi rumit jika kewenangan dalam menyatakan suatu instansi itu masuk dalam kategori merugikan keuangan atau perekonomian negara hanya menjadi monopoli BPK. Bagaimanapun keputusan suatu instansi yang membawa akibat hukum harus ada yang mengkoreksi, termasuk keputusan BPK mengenai hasil audit. Dalam hukum acara pidana, keputusan penyidik menjadikan seseorang menjadi tersangka dapat diuji melalui mekanisme praperadilan. Keputusan pejabat pemerintah juga dapat diuji melalui mekanisme peradilan tata usaha negara, jika keputusan pejabat pemerintah tersebut dianggap merugikan hak-hak seseorang atau badan hukum perdata.

Memang secara yuridis, hasil audit investigatif BPK harus dijadikan dasar oleh penyidik ,namun penyidik dapat menyimpangi hasil audit investigatif BPK jika pada proses penyidikan, penyidik menemukan fakta baru yang tidak ditemukan oleh BPK. Fakta-fakta hukum bisa muncul dalam banyak kesempatan. Mulai dari tingkat penyidikan sampai pada fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan. Fakta hukum yang muncul di pengadilan dapat dianggap sebagai bukti baru dan penyidik wajib menindaklanjuti bukti baru tersebut. Di samping itu, penyidik dapat menggunakan hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) sebagai alternatif. Hasil audit dari BPKP juga bisa disimpangi oleh penyidik jika dalam proses penyidikan ditemukan fakta bahwa terjadi kerugian negara yang tidak ditemukan oleh BPKP.

Tindak pidana korupsi memang sebagian besar dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan cara melakukan penyalahgunaan wewenang, tetapi tanggung jawab dari tindak pidana korupsi bukan merupakan tanggung jawab jabatan melainkan tanggung jawab pribadi. Sebab pejabat yang telah melakukan tindak pidana korupsi itu akan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pribadi bukan atas nama jabatan dia, meski dia melakukan tindak pidana korupsi ketika dia menjabat. Oleh karena itu, dalam melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi tidak cukup jika hanya mendasarkan pada unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara saja. Apalagi dalam tradisi anggaran negara selama ini kerugian keuangan negara hanya sekedar dimaknai jika anggaran tidak terserap dan anggaran tersebut menguap entah kemana.

Adanya kewenangan dari penyidik untuk memiliki opini yang berbeda dengan opini BPK dan BPKP tidak perlu dikhawatirkan. Seseorang yang dijadikan tersangka korupsi akibat dari kesimpulan dari penyidik bahwa orang tersebut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, maka hasil penyidikan dari penyidik tersebut akan diuji oleh pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) untuk membuktikan apakah seseorang  yang dianggap melakukan tindak pidana korupsi tersebut benar-benar melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum. Penuntut umum dalam melakukan dakwaan dan tuntutan tentu berdasarkan fakta yang telah disusun oleh penyidik. Oleh karena itu akan sangat naif jika seseorang mengelak dari sangkaan korupsi dengan berlindung dibalik hasil audit BPK yang menyatakan bahwa kasus yang sedang menjerat dia tidak merugikan keuangan negara.

*Dosen Hukum Tata Negara; Ketua Pusat Studi Dan Layanan Hukum (PSLH) Unesa

 

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry