SURABAYA | duta.co – Anda pernah menjadi pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)? Rasakan, pelayanan BPJS semakin hari semakin ala kadarnya. Proses pemeriksaan pasien BPJS sudah dilakukan secara berjamaah, tidak sendiri lagi. Bagi pengantar tidak ada tempat duduk, hanya pasien yang boleh duduk di ruang dokter.

“Diperiksa bareng-bareng, bisa tiga sampai lima pasien, masuk bersama. Tul, tul, tul, selesai,” demikian keluh seorang pasien di sebuah Rumah Sakit (RS) swasta di Surabaya kepada duta.co, Selasa (18/9/2018).

Dengan demikian, hak pasien sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 44 / 2009 tentang Rumah Sakit, di mana pasien berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang dideritanya, menjadi hilang. “Dengar-dengar sih utang BPJS ke rumah sakit semakin menumpuk,” tambahnya.

Kisah pasien lain, lebih dramatis. Ketika periksa ke dokter BPJS, ia bermaksud menyampaikan keluhannya secara rinci. Tetapi, dokter memotongnya. Katanya, tidak perlu, karena yang antre banyak. “Saat itu juga saya keluar, saya tinggalkan dokter BPJS. Bagaimana dia bisa mengobati, kalau cerita sakit saja tidak boleh,” jelasnya.

Anggota DPD RI, Fahira Idris mengatakan, bahwa, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit sejak diterapkan pada 2014. Jika pada 2017 lalu mengalami defisit sebesar Rp 9,75 triliun, menjelang akhir 2018 ini berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan diperkirakan membengkak menjadi Rp 11,2 triliun.

“Harus ada formulasi dan solusi untuk mengurai kondisi ini agar pelayanan kesehatan yang merupakan hak asasi dan hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi tidak terganggu. Untuk itu, para bakal calon presiden dan wakil presiden diharapkan “adu” konsep, gagasan, dan solusi agar BPJS Kesehatan tidak terus defisit,” ujar senator DKI Jakarta ini dalam keterangannya, Selasa (18/9).

Fahira mengatakan, dirinya khawatir, selama kampanye Pilpres 2019 nanti, publik tidak disuguhkan perdebatan yang substantif dan mendasar terkait berbagai isu yang mendera rakyat. Ini karena, jika melihat gelagat yang terjadi saat ini dimana perdebatan masih seputar hal-hal yang tidak substantif dan tidak penting.

“Kita miris melihat di banyak rumah sakit di berbagai daerah sampai harus memasang spanduk pengumuman bahwa BPJS Kesehatan menunggak klaim rumah sakit. Ini persoalan serius. Harusnya kondisi-kondisi aktual seperti ini jadi tema perdebatan saat ini,” sebutnya.

BPJS-TK Masuk Tol?

Di sisi lain, publik menyoal kebijakan pemerintah menyedot dana BJPS TK (Tenaga Kerja) sekitar Rp 73 triliun untuk mendukung program pembanguan infrastruktur melalui penerbitan surat utang.

Jumhur Hidayat, mantan Kepala BNP2TKI dan pimpinan DPP KSPSI yang membidangi Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, pernah menulis tentang upaya  pemerintah mengambil dana BPJS-TK (Tenaga Kerja) sekitar Rp 73 triliun untuk mendukung program pembanguan infrastruktur melalui penerbitan surat utang.

Dana itu tentu besar sekali, atau sekitar 23% dari dana titipan kaum buruh/pekerja berupa uang iuran jaminan sosialnya yang sekarang berjumlah Rp 320 trilyun. “Artinya, bila saja pelaksanaan penerbitan surat utang itu tidak hati-hati, maka akan menggoncangkan dana titipan kaum buruh atau pekerja  Indonesia,” jelasnya.

Sementara, Salamuddin Daeng (Peneliti AEPI) sebagaimana catatannya di teropongsenayan.com menjelaskan, betapa keuangan pemerintah terpuruk, bukan saja berat mengembalikan utang, tetapi urusan bunga saja sudah tak kuat.

“Bunga utang bengkak, utang baru sulit diperoleh, mau naikin pajak sama dengan bunuh diri karena ekonomi sedang lemah, mau naikin tarif barang impor ketergantungan sudah sangat tinggi, infrastruktur langsung mangkrak. Itulah kira kira ringkasannya,” demikian Daeng mengawali tulisannya.

Mari kita mulai dengan bagaimana parahnya kemampuan pembayaran bunga utang pemerintah dan otoritas moneter?  Mari kita lihat pemerintah memberikan bunga 8.516 % kepada investor  (The Indonesia 10Y Government Bond has a 8.516% yield). Dengan demikian maka kita bisa hitung bunga yang harus dibayar.

“Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter USD 179.728 miliar atau sebesar Rp. 2.606,056 triliun. Utang pemerintah dari SUN Rp. 1.907,506 triliun. Maka total utang pemerintah dan otoritas moneter Rp. 4.513,562 triliun.”

Bayar Bunga Saja Sulit

Dengan demikian maka beban bunga yang harus ditanggung pemerintah sedikitnya Rp 384,374 triliun. Bunga tersebut kalau ditambah cicilan utang pokok sebesar Rp. 69,785 triliun, maka menjadi Rp. 454,159 triliun. “Jumlah yang sangat besar dan menjadi beban yang sangat berat. Pemerintah hanya akan mampu bayar apabila dapat utang baru,” jelasnya.

Pertanyaannya apakah bisa dapat utang baru dengan yield 8,516%. Rasanya tidak mungkin ada investor asing yang  murah hati dicampur bego mau meberikan utang kepada Indonesia dengan yield sekecil itu. Mengapa?  Karena depresiasi rupiah dalam satu tahun terakhir lebih rendah dari yield yang diterima investor. Investor rugi menanamkan dolarnya dalam surat utang pemerintah Indonesia.

“Mari kita hitung. Sejak 12 september tahun 2017  kurs berada pada posisi Rp. 13.178/USD. Hari ini 10 september 2018 kurs berada pada Rp. 14.819/USD. Dengan demikian dalam setahun ini kurs melemah 12.45%. Investor rugi 3,934%.”

Ada tiga yang disampaikan Daeng dalam memahami betapa parahnya keuangan pemerintah Indonesia sekarang ini: Pertama, pemerintah tidak akan sanggup bayar bunga utang dan cicilan utang pokok tanpa utang baru yang memadai.

Kedua, pemerintah tidak mungkin dapat utang baru yang memadai dikarenakan yield lebih rendah dari depresiasi rupiah. Kecuali ada investor murah hati atau dungu. Rasanya itu tidak ada.

Ketiga, berarti pemerintah tidak dapat melanjutkan APBN, karena tidak ada uang. Bukankah Sri Mulyani naikin pajak?  Mana ada sejarah pajak naik sementara pertumbuhan ekonomi turun. Itu langkah bunuh diri.

“Jadi sebaiknya kita menonton saja pertarungan Jokowi melawan dolar sepanjang 2018 ini. Sebagai bentuk partisipasi, kita siapkan tandu dan ambulan untuk membawa pemerintahan ini ke UGD.  Bangsa Indonesia tidak dapat memberi solusi pada ekonomi salah urus dan politik anggaran “pokoke”,” tutup (Peneliti AEPI ini. (mky,rmol,tsc)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry