
“Kebutuhan dana operasional partai adalah nyata. Perbedaan primordial atau latar belakang agama, bahasa, etnis di kalangan anggota partai, bukanlah masalah. Yang masalah adalah kalau partai tidak punya biaya.”
Oleh Achmad Murtafi Haris*
POLITIK adalah seni kekuasaan. Berkuasa adalah salah satu naluri manusia. Tidak semua manusia ingin berkuasa namun sebagian manusia memiliki ambisi itu. Ada manusia yang terlahir untuk menjadi orang biasa dan hanya berfikir untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar yang penting tidak merepotkan orang lain. Keinginan berkuasa bisa muncul selain faktor potensi individual juga bisa karena pendidikan. Pendidikan membentuk sifat dan imajinasi anak didik menjadi lebih luas dan lebih tinggi dan tidak puas sebatas menjalani hidup apa adanya sambil menunggu waktu yang akan merubah nasib. Pendidikan mendorong orang untuk pro-aktif mengejar prestasi dan posisi. Dengan posisi yang lebih tinggi secara langsung manusia akan “berkuasa” pada orang lain dan semakin tinggi posisi semakin banyak orang yang dikendalikan.
Level kesuksesan tertinggi adalah politik atau kekuasaan negara. Karenanya, setelah seseorang berhasil dalam sebuah karir seperti karir swasta, dia akan beralih ke politik. Dia akan masuk partai, memimpin partai, dan mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan negara. Di negara kita, ada Aburizal Bakrie yang setelah menjadi pengusaha sukses nasional dia kemudian menjadi ketua umum partai Golkar dan mencalonkan diri menjadi kepala negara pada 2014. Demikian juga dengan Jusuf Kalla, setelah sukses sebagai pengusaha terbesar di Indonesia timur, dia fokus ke politik dan memimpin partai Golkar. Ujungnya adalah pencalonannya sebagai presiden pada 2009 bersama Wiranto dari Partai Hati Nurani Rakyat. Juga Hary Tanoesoedibjo, pengusaha nasional ini setelah bergabung ke partai Hanura dan Nasdem, dia mendirikan Partai Persatuan Indonesia meski dengan perolehan suara yang mengecewakan. Partai yang dibuatnya tidak lolos ambang batas untuk bisa mendapatkan kursi di DPR RI. Segala upaya telah dilakukan termasuk mendekati komunitas Nahdlatul Ulama lewat acara Shalawatan (meski dia Kristen) namun perolehan suara tetap minim. Di Amerika demikian halnya, Donald Trump yang semula pengusaha konstruksi yang sukses, pemilik kampung apartemen mewah, Trump Palace di Manhattan New York. pada akhirnya menang pilpres dan menjadi presiden Amerika ke-45 dan 47.
Masuknya pengusaha kelas kakap ke politik adalah untuk ikut andil dalam pembangunan negara. Dalam teori Maslow tentang hirarki kebutuhan, aktualisasi diri (self-actualisatio), menduduki level teratas setelah penghargaan (esteem), cinta (love n belongings) , rasa aman (safety), dan kebutuhan fisik (physiological needs). Aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi menuntut telah terlampauinya pencapaian karir dan keinginan besar untuk punya andil dalam membangun kesejahteraan orang banyak. Kalau dalam ajaran Islam ia tersebut dalam hadis: “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Memang ada yang beranggapan bahwa masuknya pengusaha adalah untuk kepentingan bisnis agar bisa menggarap proyek negara. Hal ini bisa saja terjadi. Tergantung sejauh mana pelaku memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi atau berfikir untuk tidak mengantarkannya ke kursi pesakitan. Sesuai teori Maslow, kemungkinan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukanlah level yang ingin dicapai pengusaha besar dalam terjun ke politik. Fase memperjuangkan kepentingan pribadi telah lewat. Terutama terkait kebutuhan materi. Dia telah memilikinya dan melimpah. Dia telah sampai pada passive income di mana tanpa bekerja, aset yang dimilikinya telah bekerja sendiri dalam jejaring dan menghasilkan income. Artinya dia telah beres dengan urusan pribadi dan kini ingin mengurus urusan orang lain.
Aktualisasi diri sebagai puncak kesuksesan, tidak tanpa persaingan. Yang sampai pada level ini tentu tidak sendiri tapi banyak orang. Sesama mereka akan mendanai proyek politik untuk mencapai posisi tertinggi. Di sinilah muncul istilah “bohir” atau penyandang dana untuk memenangkan agenda politik tertentu untuk menggolkan program strategis yang diinginkan, atau memenangkan calon pemimpin daerah dan nasional. Tanpa adanya bohir, berat sebuah agenda politik bisa melaju. Persis seperti seorang pengacara yang ingin membela klien, dia butuh biaya transport, akomodasi, administrasi, dan menyusun dokumen-dokumen kasus. Pengacara yang notabene memperjuangkan nasib individu atau lembaga yang terzalimi, memakan biaya apalagi urusan politik yang membela kepentingan manusia sekota, kabupaten, propinsi, dan negara yang merupakan kelipatan yang dilakukan seorang advokat.
Kebutuhan dana operasional partai adalah nyata. Perbedaan primordial atau latar belakang agama, bahasa, etnis di kalangan anggota partai, bukanlah masalah. Yang masalah adalah kalau partai tidak punya biaya. Di sini bisa dimaklumi kalau Partai Kebangkitan Bangsa yang notabene partai Islam, mengangkat waketum Rusdi Kirana yang non-muslim yang merupakan pemilik holding company Lion Group dengan banyak maskapai penerbangan dimilikinya. Rusdi kini menjadi wakil ketua MPR setelah sebelumnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Jokowi. Dia setelah menjadi raja maskapai Indonesia, telah mencapai posisi politik yang tinggi meski bukan sebagai kepala daerah atau negara.
Dalam eskalasi politik yang tinggi, antar kelompok politik menggunakan banyak instrumen baik parlementer maupun ekstra parlementer untuk memenangkan pertarungan. Instrumen ekstra membutuhkan biaya yang harus ditanggung. Keberadaan bohir menentukan sejauh mana agenda bisa melaju kencang, lambat atau berhenti. Hiruk pikuk media sosial tidak lepas dari adanya penyandang dana itu. Sistem demokrasi yang mendukung multi partai atau banyaknya kelompok politik menjadikan persaingan antar mereka keras dan abadi. Persaingan itu dianggap positif karena akan mendorong terungkapnya kekurangan kinerja lawan terutama kelompok penguasa. Sesuatu yang dipersepsi sebagai bagian dari sistem kontrol agar penguasa yang menang pemilu tidak seenaknya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pertanyaannya kemudian apakah pemerintah tidak butuh dukungan terhadap program pembangunan yang dia canangkan. Apalagi seperti administrasi Prabowo yang mengejar pertumbuhan ekonomi 8%. Bukankah di sana ada adagium “seribu teman kurang satu musuh terlalu banyak”. Juga dalam adagium Arab: “bagi seribu pembangun cukuplah satu perusak. Bagaimana pula jika satu pembangun perusaknnya seribu?
*Achmad Murtafi Haris adalah Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya.