
“Sayangnya integrasi pendidikan tinggi dengan kinerja bidang sains dan teknologi nampaknya belum terlihat sesuatu prestasi yang monumental.”
Oleh: Yusuf Amrozi*
SELEPAS membuka International Conference di Universitas Maarif Hasyim Latif, Dirjen Sains dan Teknologi – Kemendikti Saintek Prof. Ahmad Najib Burhani, MA, MSc, PhD hadir untuk memberikan kuliah umum di UIN Sunan Ampel Surabaya, dimana Fakultas Sains dan Teknologi UINSA sebagai host-nya pada hari kamis, 14 Agustus 2025. Hadir pada kegiatan ini pimpinan UINSA, para dekan serta civitas akademika yang lain.
Sebagai akademisi yang bekerja di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Prof. Najib berbicara tentang peluang dan tantangan riset nasional. Berbicara di kampus PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) ini, dia juga berbicara kejayaan cendikiawan muslim dalam memberikan kontribusi keilmuan global. Bagaimana muslim scholars masa lalu mendasari dan mempengaruhi pengetahuan di barat dan dunia, maupun sejumlah cendikiawan muslim dewasa ini yang meraih nobel.
Tidak lupa sebagai Dirjen Saintek, Prof. Najib juga mengutarakan tugas dan fungsinya di kementerian saat ini.
Sayangnya panitia tidak memberikan kesempatan kepada audien untuk tanya jawab, hanya ceramah satu arah saja.
Saya sebenarnya pengin berdiskusi bahwa dalam konteks politik birokrasi, seringkali nomenklatur kementerian berubah.
Misalnya pada periode Presiden Joko Widodo yang pertama, ada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang ingin agar ada integrasi dan kolaborasi ristek dan dikti sehingga menghasilkan luaran pengetahuan dari anak bangsa secara lebih optimal.
Akan tetapi pada periode Pak Jokowi yang kedua ada sedikit perubahan nomenklatur kementrian tersebut. Ironisnya publik tidak mendapatkan gambaran yang jelas terhadap sejauhmana prestasi yang menonjol dari penggabungan Ristek dan Dikti saat itu.
Tapi satu yang saya ingat saat Menristekdikti M. Nasir telah di launching Science and Technology Index (SINTA) yang saat ini cukup berpengaruh dan menjadi rujukan indeksasi ilmuwan di dalam negeri.
Rupanya pada periode Presiden Prabowo saat ini keinginan untuk melakukan akselerasi inovasi pengetahuan dan teknologi sudah tidak bisa ditawar lagi serta bagaimana melakukan hilirisasi (baca: kapitalisasi) dari product knowledge tersebut, melalui keberadaan Kementerian Dikti dan Saintek.
Dimana setidaknya ada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan (Ditjen Risbang), dan Direktorat Jenderal Sains dan Teknologi (Ditjen Saintek) yang digawangi oleh Prof. Najib ini.
Nampaknya PR besar Prof. Najib adalah bagaimana melakukan percepatan kinerja di Ditjen Saintek tersebut. Artinya isu sains dan teknologi ataupun disiplin ilmu saintek menjadi salah satu prioritas pada pemerintahan saat ini.
Problem Integrasi Perguruan Tinggi
Boleh dibilang semua perguruan tinggi yang berbentuk universitas memiliki prodi bidang STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Math) sebagai salah satu persyaratan pendiriannya.
Oleh sebab itu keberadaan prodi rumpun tersebut diharapkan selaras serta mampu berkolaborasi secara lebih efektif dengan kinerja bidang sains dan teknologi, khususnya di Kementerian Dikti Saintek.
Sayangnya integrasi pendidikan tinnggi dengan kinerja bidang sains dan teknologi nampaknya belum terlihat sesuatu prestasi yang monumental. Seringkali temuan pengetahuan dari kampus, termasuk dosen bidang sains dan teknologi masih saja belum secara optimal terdesiminasikan dengan sektor lain termasuk dengan industri. Para dosen lebih memilih langkah pragmatis untuk bagaimana hasil risetnya dipublikasikan di jurnal jurnal bereputasi baik nasional maupun internasional untuk kepentingan karir akademiknya.
Maka yang terjadi adalah seolah-olah kampus, BRIN sebagai rumah besar lembaga penelitian Indonesia yang membawahi sejumlah organisasi riset pemerintah, maupun lembaga penelitian non pemerintah serta pihak industri berjalan sendiri-sendiri. Industri memang akan melihat produk dan teknologi yang seperti apa yang memang mampu diterima oleh pasar. Disisi lain kampus atau lembaga riset terlalu focus pada idealisme keilmuan masing masing sehingga hasil dan luarannya agak sulit jika dilakukan hilirisasi ke pasar. Oleh sebab itu disinilah perlunya intensitas komunikasi dan kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga riset dan pihak industri.
Dilema dalam Menghasilkan Praktisi dan Akademisi
Disisi lain kampus juga memiliki kegamangan untuk menitik tekankan kompetensi lulusannya. Antara menghasilkan profesional dibidang disiplin ilmu pada jurusannya, ataukah membuktikan reputasi sebagai lembaga akademik yang memiliki rekognisi di bidang penelitian dan publikasi. Tuntutan menjadi kampus bereputasi internasional dengan kinerja riset dan publikasi ini yang akhirnya mengharuskan kampus menggerakkan sumberdaya termasuk mahasiswanya untuk mengejar tarjet capaian akademik berupa luaran penelitian tersebut.
Dampak dari pola ini secara tidak sadar peserta didik lebih diorientasikan menjadi peneliti dibanding dengan praktisi atau profesional dibidangnya. Data BPS pada februari 2025 dari sisi pengangguran terbuka tenaga kerja kita, peran perguruan tinggi memberikan sumbangsih pada angka sekitar 6,23 persen. Artinya dengan pola desain kurikulum yang sedemikian rupa dengan tetap mengorientasikan pada lulusan sesuai profesi, serta melaksanakan penjaminan mutu pendidikan yang baik niscaya angka 6 persen tersebut bisa lebih ditekan. Memang urusan penyerapan tenaga kerja tidak melulu dari faktor perguruan tinggi sebagai penyedia lulusan, tetapi juga dari sisi iklim industri maupun sektor ketenagakerjaan pada umunya.
Memang pihak kampus biasanya ada pola yang standart dalam menghasilkan potret lulusannya. Pola itu mudah dikenali dengan menggunakan akronim “BMW”.
BMW yang dimaksud disini bukan merk mobil BMW itu, tetapi BMW yang dimaksud kepanjangan dari: Bekerja sesuai jurusannya, Melanjutkan Studi, atau (ber) Wirausaha mandiri. Departemen atau Program Studi tentu telah mendesain kurikulumnya dengan sejumlah bahan kajian dan matakuliah dengan komposisi tertentu untuk menghasilkan ketiga hal tersebut sesuai learning outcomes atau target capaian pembelajaran.(*)
* Dr. H. Yusuf Amrozi, M.MT adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi, dan Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi UIN Sunan Ampel Surabaya.