JAKARTA | duta.co – Industri P2P Lending Indonesia tengah dalam sorotan. Isu kredit macet yang dialami oleh sejumlah pelaku P2P Lending memicu keresahan di kalangan pemberi pinjaman (Lender), seperti Investree, Danamas, Tanifund, IGrow, dan TrustIQ. Permasalahan tersebut notabene dipicu oleh besarnya data TKB90 sejak akhir 2023.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tingkat risiko kredit macet agregat (TWP90) Fintech P2P Lending berada di posisi 2,93% per Desember 2023. Persentase di atas naik sebanyak 0,12% dibandingkan posisi TWP90 per November 2023 yang sebesar 2,81%. Adapun nilai outstanding pembiayaan P2P Lending per akhir tahun 2023 tercatat sejumlah Rp 59,64 triliun, tumbuh 16 persen dari tahun sebelumnya.
Menyikapi kondisi tersebut, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) mengimbau semua anggotanya untuk melakukan mitigasi secara ketat guna menghindari kenaikan kasus gagal bayar ini terus meningkat. “Mitigasi dilakukan dengan meningkatkan standar pemberian pinjaman, evaluasi risiko secara lebih ketat, memberikan edukasi keuangan kepada peminjam, dan mendorong transparansi dalam pelaporan kinerja keuangan,” kata Director of Corporate Communication AFPI Andrisyah Tauladan.
Andrisyah melanjutkan pihaknya siap memfasilitasi kolaborasi antar anggota untuk bertukar pengalaman dan praktik terbaik dalam pengelolaan kredit. Tak hanya itu, asosiasi juga akan menyediakan sumber daya untuk meningkatkan manajemen risiko, seperti pelatihan kepada SDM terkait penilaian kredit calon peminjam. “Kami pun siap memberikan dukungan dan pendampingan kepada anggotanya,” lanjutnya.
Hal ini menunjukkan beberapa platform P2P Lending yang memiliki nilai pinjaman yang besar juga akan diikuti dengan resiko kredit macet yang tinggi. Sehingga tren tersebut perlu diikuti kewaspadaan oleh semua platform P2P Lending agar ancaman kredit macet dapat ditekan.
Bagi AFPI, industri P2P Lending perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan berkomitmen mengedepankan persaingan yang sehat dan etis. Ini semua guna menciptakan lingkungan bisnis yang adil, transparan, dan berkelanjutan. “Dedikasi utama kami adalah untuk melindungi kepentingan anggota dan konsumen, serta mendukung inisiatif OJK dalam disiplin pasar, edukasi, keamanan siber, dan perlindungan data pribadi,” ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyatakan perlu ada perbaikan pada sistem credit scoring oleh para pelaku industri ini. Menurutnya perlu ada penilaian yang lebih valid agar tidak ada peminjam yang mencari jalan pintas melalui P2P Lending disaat kualitas kredit di perbankannya sudah tercatat buruk.
Oleh karena itu, ia mendukung penuh OJK untuk melakukan evaluasi tidak hanya dalam proses restrukturisasi saja namun terhadap skema penilaian skor kredit nasabah. Bahkan, Huda mengimbau agar data perbankan atau jasa keuangan lainnya dapat digunakan sebagai data pembanding agar validasi credit scoring bisa selaras dengan kemampuan bayar calon Borrower.
“Kesalahan yang paling mendasar adalah ketika proses credit scoring Borrower yang kemungkinan besar tidak valid atau tidak mencerminkan kemampuan bayar dari Borrower,” tegasnya. ril/end