Dr. Muhammad Syaikhon, SHI., MHI.
Dosen FKIP

DIRIWAYATKAN dari imam Al-Bukhari, Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”

Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata: ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata: ‘kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi SAW dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.”

Pesan Nabi itu diingat-ingat oleh para sahabat hingga di tengah perjalanan mereka berselisih pendapat saat waktu Ashar akan habis, sedangkan mereka belum sampai di perkampungan Bani Quraidhah.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Dengan dalih pesan Nabi, sebagian dari mereka bersikukuh tidak shalat Ashar kecuali di perkampungan tersebut. Sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi adalah para sahabat bergegas menuju perkampungan tersebut, sementara shalat Ashar tetap harus dilaksanakan pada waktunya.

Pendapat ini berpangkal pada dua sudut pandang yang berbeda. Pertama mengacu pada bunyi lahiriah sabda Nabi dan yang kedua mengacu pada konteks sabda itu dinyatakan (prajurit harus bergerak cepat karena konteks waktu itu adalah perang). Ketika permasalahan perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah, beliau tidak menyalahkan keduanya.

Perbedaan pendapat memang sudah terjadi di kalangan sahabat, bahkan sejak Rasulullah masih hidup. Zaid bin Tsabit dan Ibnu ‘Abbas adalah dua ahli hukum Islam yang pernah berselisih pendapat dalam pembahasan harta warisan, tetapi mereka secara sosial tidak bermusuhan. KH. Hasyim Asy’ari dalam Irsyadul Mu’minin menceritakan bahwas ketika Zaid bin Tsabit pulang dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) setelah menshalati jenazah ibunya, Ibnu ‘Abbas tiba-tiba menghampiri lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Sepupu Rasulullah ini menuntunnya sebagai bentuk penghormatan. Zaid bin Tsabit yang merasa sungkan bertutur sopan, “Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!”. “Beginilah kami memperlakukan orang alim,” jawab Ibnu ‘Abbas. Sontak, Zaid mencium tangan Ibnu ‘Abbas. “Beginilah kami diperintah dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya. Ini adalah balasan atas ketawadukan Ibnu ‘Abbas. Kerendahan hati dibalas kerendahan hati.

Pelajaran dari kisah ini adalah perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar, bahkan Rasulullah merestui perbedaan yang pada tingkat cabang agama (furû‘) bukan ushûlud dîn (pokok-pokok agama).

Kenapa perbedaan pendapat itu wajar? Karena masing-masing orang dikaruniai potensi akal yang aktif, latar belakang sosial yang beragam, dan jenis kebutuhan yang berbeda-beda. Hal yang kerap dilupakan oleh mereka yang gemar memusuhi kelompok lain karena beda paham adalah jebakan setan.

Seolah-olah telah memperjuangkan kebenaran tapi sesungguhnya telah meninggalkan kebenaran yang lain. Mereka bertengkar untuk “kebenaran” furu’iyyah tapi meninggalkan kebenaran yang prinsip, yakni persaudaraan. Bisa jadi yang diperjuangkan hanya setingkat hukum sunnah, tapi mengorbankan ukhuwah yang merupakan hal pokok. Dari sahabat Anas, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, belum beriman (dengan sempurna) seorang hamba hingga ia mencintai sesuatu untuk tetangganya seperti ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Hadis ini memberi pesan tentang persatuan yang mengandaikan bahwa antara kita dan tetangga adalah satu jiwa, sehingga kebahagiaan yang diperoleh tetangga seharusnya juga menjadi kebahagiaan kita. Begitu juga sebaliknya, kesedihan yang menimpa tentangga sudah seharusnya pula menjadi kesedihan kita.

Konsep hubungan sosial semacam ini tidak sekedar memandang lumrah orang-orang yang berbeda dengannya, tapi sudah menganggap mereka seperti bagian dari dirinya. Bisa saja ia mentoleransi orang berbeda pendapat dengannya, tapi belum tentu hatinya ikhlas untuk tetap mencintainya. Karena itu, sikap saling “membiarkan” perbedaan, perlu meningkat menjadi sikap saling mengerti dan saling memiliki.

Sikap yang terakhir ini bisa tumbuh hanya ketika kita tidak hanya melihat orang lain sebagai “yang berbeda” tapi juga sebagai “sesama”: sama-sama manusia, sama-sama beragama, dan sama-sama bangsa Indonesia. Apalagi di tahun politik ini, kita harus tetap menjaga persatuan dan saling mencintai meskipun berbeda partai dan pemikiran. Semoga bermanfaat!

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry