Oleh: Yoyok Amirudin*
MEREBAKNYA virus covid-19 yang terjadi saat ini seolah tidak bisa dibendung, kian hari orang yang positif terjangkit virus corona kian bertambah. Virus ini tidak mengenal agama, tidak mengenal suku, ras dan negara manapun. Siapapun yang menghuni bumi berkesempatan untuk dihinggapi virus ini. Pemerintahan di dibelahan dunia habis-habisan dalam membasmi virus ini. Pelbagai upaya dilakukan untuk melawan virus covid-19.
Dilansir dari www.covid29.go.id data terbaru per 28 Maret 2020 sejumlah 1155 kasus positif covid-19, 59 yang sembuh, dan 102 orang yang meninggal. Angka yang meninggal jauh lebih banyak dibanding dengan negara tetangga. Virus ini pun melanda negara adidaya Amerika Serikat yang angkanya lebih tinggi dari China.
Alhasil dengan pandemic covid-19 ini, yang terjadi bumi sedang istirahat dari aktivitasnya (earth break). Kegiatan di berbagai dunia berhenti sementara. Seakan memberikan waktu bumi untuk melakukan istirahat yang cukup setelah ratusan ribu tahun di eksploitasi oleh manusia. Italia lockdown, New York dan Los Angeles lockdown, Malaysia lockdown. Negara-negara yang setiap harinya sibuk kini berubah jadi sunyi dan tidak beraktivitas. Andaikata bumi bisa bernafas, pasti lega dan berkata “akhirnya bisa istirahat”. Tapi itu bukan dari kodrat bumi, Allah sudah mengatur kegiatan bumi, matahari dan bintang yang di langit.
Dengan adanya covid-19 ini, semua orang mendadak jadi agamawan, ilmuwan, dokter, bahkan tidak sedikit yang jadi penyebar konten hoax tentang virus corona melalui media sosial sehingga menjadi kecemasan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Apapun informasi yang didapat dari sosial media langsung share tanpa adanya penyaringan dahulu. Entah itu benar atau tidak.
Setiap kejadian di bumi ini tentu memiliki nilai positifnya. Bukankah dalam beragama kita dianjurkan untuk berkhusnudzon (berfikir baik). Jangan sampai adanya makhluk corona lantas menyalahkan Tuhan dan berpaling dari Tuhan. Itu pikiran yang salah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Allah mempunyai rencana lain dengan adanya wabah ini. Di antara khusnudzon penulis dalam kasus pandemic covid-19 ini di antaranya:
Pertama, Tuhan ingin mengingatkan kematian kepada manusia. Semua orang pasti mati, tidak ada yang kekal kecuali Allah. Karena Allah memiliki sifat Baqo’ (kekal). Melalui TV, grup Whatsapp, Facebook, dan media sosial lainnya selalu diinfokan berapa jumlah yang meninggal karena virus corona dari hari ke hari. Sehingga pembaca berfikir akankah mati sekarang atau kapan. Dengan mengingat kematian maka akan meningkatkan dzikir dan memohon ampun kepada Allah.
Kedua, merasakan pentingnya hidup sosial. Saling membantu sama lain. Di saat kondisi yang seperti ini patut kiranya saling berbagi satu sama lain. Yang kaya berbagi pada yang miskin, tetangga yang mampu menyisihkan rejekinya untuk yang tidak mampu. Ketika warga melakukan stay at home (di rumah saja). Saat ini kita menyaksikan betapa masifnya masyarakat untuk penggalangan dana APD, masker, hand sanitizer dan Gerakan massal bersih lingkungan dengan disinfektan dari berbagai elemen. Tidak peduli partai politiknya, agamanya apa, sukunya apa, yang ada hanyalah satu kesatuan melawan virus yang tidak nampak oleh mata.
Ketiga, merasakan jadi guru di rumah bagi anak-anaknya. Bisa dibayangkan berapa ribu orang tua mendadak darah tinggi menghadapi sikap anaknya saat belajar di rumah. Itu baru 2-3 anak, coba bayangkan bagaimana seorang guru meramu 30 anak di dalam kelas agar patuh, nurut, dan menjadi tahu dari yang belum tahu. Dengan kemampuan yang berbeda, guru mampu mengkombinasikan anak didik menjadi siswa yang luar biasa. Itupun masih dihadapi dengan komplain orang tua gara-gara anaknya di hukum di sekolah. Ada yang langsung datang langsung kepada guru dengan nada keras, ada yang melaporkan ke pihak yang berwajib, dan ada yang membalas hukuman kepada guru tersebut sebagaimana guru menghukum siswanya.
Keempat, hikmah di balik musibah wabah virus covid-19 adalah hidup bersih. Setelah salaman membersihkan dengan sabun, habis megang benda tangan disemprot hand sanitizer, setelah bepergian saat sampai dirumah tidak langsung memegang anak, salaman kepada istri, tapi langsung ke kamar mandi untuk mandi. Dan banyak umat muslim menjaga wudhu sepanjang waktu. Luar biasa efek virus ini bagi kebersihan. Hal ini sesuai dengan pepatah arab an nadhofatu minal iman (Kebersihan itu sebagian dari iman).
Kelima, belajar menahan hawa nafsu. Nafsu di sini adalah nafsu duniawi seperti tidak berwisata pada hari minggu, makan dan duduk di tempat mewah dan bepergian kemana-mana. Stay at home adalah anjuran pemerintah untuk tidak keluar rumah kecuali hal yang penting. Berkumpul bersama keluarga mulai pagi sampai pagi lagi sampai waktu yang tidak tahun kapan akan selesai wabah ini.
Ketika menghadapi cobaan kita harus mampu menghadirkan pikiran positif, maka kehidupan akan tenang damai, tidak dipenuhi dengan rasa was-was dan kepanikan yang luar biasa. Mengutip dari filosof muslim Ibnu Shina mengatakan kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan. Dan pada saatnya nanti ketika sudah belajar selama 2-3 bulan dalam program social distancing kita akan mampu merawat bumi, dan menjaga tradisi yang positif saat masa social distancing.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam (Unisma)