Foto facebook

SURABAYA | duta.co – Seorang pembaca duta.co mengirimkan tulisan atas nama Hussein Syifa, salah seorang santri Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Pembaca yang juga mantan wartawan koran ternama di Indonesia ini, memberikan komentar pendek. “Ini tulisan Mas Hussein Syifa, mantaps,” demikian, Kamis (19/4/2018).

Tulisan dimaksud juga ada di laman facebook Alumni Pondok Pesantren ‘Walisongo’ Cukir Jombang. Judulnya sama, ‘Konflik Gus Dur vs Cak Imin’. Sayang, wartawan duta.co Jombang, belum berhasil menghubungi Hussein Syifa. Berikut catatannya yang diambil dari FB Alumni Pondok Pesantren ‘Walisongo’ Cukir Jombang dan kini beredar luas:

Pada hari Rabu, 4 April 2018 saya dihubungi tim salah satu acara stasiun televisi di Jakarta untuk jadi nara sumber pada Kamis malam pukul 19.30 – 21.00 untuk membahas salah satu kandidat Cawapres bergelar Panglima Santri, Sang Pemimpin dan bergelar Doktor HC (Meskipun gelar Doktor HC dimasalahkan Universitas yang memberikannya) tapi tiba-tiba dibatalkan karena ada yang keberatan jika saya yang jadi nara sumbernya,

Sebagai ganti tentang apa yang perlu saya sampaikan sebagai nara sumber, saya sampaikan pokok pikiran saya :

Definisi SANTRI :

SANTRI jika ditulis dengan bahasa arab  

سنتري (Santri) maka akan dapat didefinisikan sesuai dengan huruf-huruf yang tersusun. Maka akan terdiri dari 5 huruf, Sin, Nun, Ta’, Ra’ dan Ya’.

س (siin), artinya SALIKUN ILAL AKHIRAH, berarti selalu berjalan menuju akhirat, setiap gerak-gerik santri mengandung unsur ukhrawi dan duniawi.

ن (Nun), NAIBUN LIL MASAYIKH, santri harus bisa mengikuti dan dapat mengganti ulama yang penuh dengan ilmu, sebagai santri, harus bisa mengganti kiai yang sepuh untuk regenerasi.

ت (Ta’) TARKUL MA’ASI, bagaimana agar santri tidak melakukan maksiyat. atau TA IBUN ‘ANID DZUNUB  (Tobat dari kesalahan yang dilakukan).

ر (Ra’) RAGHIBUN LIL KHAIRAT, yaitu cinta pada kebaikan. Santri harus suka pada kebaikan, dan selalu melakukan kebaikan.

ي (Ya’) YARJU LIL MARDHATILLAH, sholat, mengaji, menjaga uhuwwah, saling toleran dan seluruh ibadah kita jangan disertai kedengkian, takabur, sombong dan ingin dipuji orang lain. Kita harus ingat bahwa yang dilakukan manusia dan khususnya santri hanya mencari ridha Allah SWT.

Dalam politik unsur subyektifitas itu sangat menonjol, bagi PDIP Pak Jokowi adalah yang terbaik, bagi Partai Demokrat Pak SBY adalah yang terbaik begitupun bagi Gerindra Pak Prabowo adalah yang terbaik maka wajar saja dalam kontestasi politik yang diajukan adalah kader internal partai walaupun bagi publik belum tentu sama dengan pandangan partai, tapi sesubyetif-subyektifnya politik itu tetap ada nilai yang diusung sesuai realita berpolitik dan kita bisa menilai seseorang itu dari nilai apa yang melekat pada pribadi orang tersebut.

Maka kalau sekarang banyak baliho, iklan, survey atau buzzer di Medsos yang digunakan parpol untuk mencitrakan dan menaikkan popularitas  jagoan partai agar memiliki elektabilitas tinggi dan layak dijual ke publik adalah hal yang wajar dalam era demokrasi ini toh akhirnya masyarakatlah yang menentukan dan menilai seberapa layak dan pantas sang jagoan partai itu diterima publik.

Kalau sekarang kita melihat Cak Imin Sang Panglima Santri dengan getol memasang Baliho dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai tagline untuk mencitrakan dirinya sangat layak jadi Cawapres maka ada hal yang terlewatkan Cak Imin menjelang digelarnya ajang Pilpres 2019 ini yaitu belum terselesaikannya konfilk yang hampir selama 10 tahun dengan Gus Dur dan keluarga Gus Dur yang menganggu nalar sehat sebagai santri dan nalar sehat publik dengan fakta yang ada.

Bagaimana mungkin dengan gelar “Panglima Santri” konflik dengan Gus Dur yang notabene pamannya belum terselesaikan ?.

Bagaimana mungkin dengan gelar “Panglima Santri”  yang menganggap Gus Dur sebagai gurunya sampai beliau wafat masih menyisakan konflik sampai sekarang ?.

Bagaimana mungkin dengan gelar “Panglima Santri” belum berdamai dengan Keluarga Gus Dur sebagai gurunya  sampai sekarang ?.

Bagaimana mungkin sebagai Ketua Umum PKB sebagai partainya kaum santri dan mengaku sebagai penganut pemikiran Gus Dur tetapi malah hanya menjadikan Gus Dur sebagai komoditas tanpa mengembalikan kehormatan Gus Dur di partai yang didirikannya?.

Belum lagi pertanyaan pertanyaan yang sudah terekam publik tentang sosok Cak Imin yang berkaitan dengan masalah hukum, etika santri, etika sebagai orang timur dalam perburuan kursi Cawapres.

Ketika nanti ada orang yang membandingkan antara karakter santri, fakta realita dengan tagline yang dicitrakan sangat berbeda maka jangan salahkan jika Cak Imin dianggap “Mal produk” dalam kancah politik karena antara isi dengan bungkusnya berbeda.

Seandainya dalam dunia politik ada semacam lembaga seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) seperti dalam dunia bisnis pasti akan sangat banyak aduan2 tentang adanya perbedaan antara Isi dan bungkus yang masuk kategori “Mal Produk”. Mesakke YLKI ne tho…

Apakah Santri itu butuh Panglima ? Apakah Santri itu Butuh Jenderal ?.

Ketika kita selalu berusaha agar perilaku kita sesuai dengan definisi Santri itu sendiri dan selalu berusaha mampu mengendalikan keakuan dan ego diri maka kita tak butuh Panglima Santri karena yang berhak dan pantas menjadi Panglima adalah diri kita sendiri, jika ada gelar terhormat itu melekat pada orang yang perilakunya tidak sesuai dengan definisi Santri itu justeru merendahkan Santri itu sendiri.

Ke mana itu Hifdzul ‘Aqli (Menjaga Akal Sehat) sebagai salah satu yang diperjuangkan PKB dalam Mabda’ Siyasyi nya, akal sehat yang mana yang membiarkan konflik dengan Pendiri Partainya tidak terselesaikan sampai sekarang ?

Ke mana quotes Gus Dur ” Yang lebih penting dari Politik adalah Kemanusian” yang sering diucapkan elit2 PKB, jika membiarkan PKB tidak merahabilitasi Gus Dur sebagai pendiri partai yang disingkirkan sampai sekarang ?. Di mana nilai kemanusiaannya ?.

Maka jangan pula salahkan jika ada orang yang menilai jika PKB sekarang ini hanya alat politik kekuasaan dan personifikasi semata sehingga “Politik Rahmatan Lil ‘Alamin” itu hanya bualan semata dan yang ada adalah “Politik Rahmatan Lil Muhaimin “.

Kalau sekarang saya menulis ini, karena sudah hampir sepuluh tahun masih berharap konflik ini terselesaikan dan menghormati sahabat-sahabat yang masih mempunyai “hati” akan perubahan dan ending dari konflik yang elegan antara PKB dengan Gus Dur sehingga harapan saya agar PKB bukan dianggap sebagai “Monumen Pengkhianatan” kepada Gus Dur, PKB sebagai Partainya kaum sarungan bukan pula dianggap sebagai “Monumen Konflik” antara Kyai dan Santri. Tapi kalau sampai sekarang tidak terselesaikan njuk kepiye ?.

Terus kalau ada yang nyeletuk : ” Santri Kok Gitu ? Tragis yo Mas ?”. Terus aku kudu jawab opo ?.

Terus kalau ada orang ngomong : ” Cak Imin mencalon diri jadi Cawapres opo patut ? Lha wong mendefinisikan dirinya saja belum selesai ?”.

Aku kudu njawab piye jal ?.

Sampeyan2 iki sih ndadak masang Baliho Pencitraan  gede-gede gitu, sehingga saya yang sudah menepi dari dunia politik harus menjawab hal2 begini. Gitu Saja Kok Merepotkan !.

Saya Hussein Syifa yang alhamdulillah bisa nyantri dan nderekke Gus Dur hingga beliau wafat, Saya hanya Santri biasa yang berusaha menjadi Santri yang lebih baik agar benar2 bisa menjadi Santri yang sebenarnya.

Saya tidak perlu hastag (#) yang mentereng, saya tidak perlu hastag (#) yang memuliakan diri sendiri karena hastag yang saya suka itu  hastag #GDMU (Gus Durian yang MU) kenapa saya suka hastag #GDMU karena MU (Menjalin Ukhuwah) itu menyenangkan dan MU (Merpererat Ukhuwah) itu indah dan itu semua bagian dari usaha mencapai MU (Maslahatul Ummah). 

Wis ngono wae….

Salam GDMU

#GDMU (*)

 

 

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry