SURABAYA | duta.co – Sampai Kamis (8/2/2018) masih beredar teks Ikrar Calon Gubernur dan Wakil Gubernur 2019-2024 yang ditandatangani Drs H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Hj Puti Guntur Soekarno putri, SIp.

Ikrar tersebut dibaca di depan kiai saat menggelar acara Silaturrahim Masyayikh dan Pengasuh Pesantren yang juga dihadiri pengurus PCNU se-Jatim, di PP Lirboyo, Selasa (6/2/2/@018).

Ada lima point, diantaranya Gus Ipul-Puti menyatakan sepenuh hati untuk selalu meminta saran dan pendapat para kiai dalam pengambilan keputusan strategis terkait kemaslahatan umat. Ikrar ini mendapat banyak tanggapan. Di antaranya disampaikan Ketua Umum PPKN (Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyah) Mahfud M Nor.

“Mau kontrak, mau ikrar, silakan. Tetapi, yang membuat kami prihatin adalah pengerahan atau mobilisasi pengurus NU Cabang. Ini sangat memprihatikan. Sudah begitu, duduk berderet pengurus NU di bawah spanduk Pilgub. Mereka benar-benar melupakan kewajiban menjaga khitthah NU,” kata Mahfud M Nor kepada duta.co Kamis (8/2/2018).

Tampak duduk di bawah spanduk Pilgub Jatim itu, antara lain Wakil Rais Am PBNU, KH Miftahul Akhyar dan Ketua PWNU Jatim, KH Mutawakkil Alallah. Masih dalam forum tersebut, sedikitnya 6 pengurus di masing-masing PCNU se-Jatim ikut dikerahkan meramaikan acara silaturrahim tersebut.

“Warga NU harus peduli dengan kondisi ini. Membiarkan pengurus NU melanggar khitthah, sama halnya membiarkan organisasi ini dijual untuk kepentingan pribadi, uang. Ini sangat berbahaya. Karenanya, bagi pengurus NU yang tidak kuat menahan nafsu politik, silakan mundur. Percayalah, tidak akan barokah ‘menjual’ NU dan umatnya,” tegas Mahfud serius.

Masih menurut Mahfud, pelanggaran khitthah NU terkait Pilgub Jatim ini, sudah semakin kentara. Di samping itu, ada perlakuan tidak adil yang sedang dilihat masyarakat banyak. “Semua tahu, Pilgub diikuti dua kader NU. Apa susahnya kalau PWNU melakukan pendekatan yang sama, jangan pilih kasih,” jelasnya.

Diakui, bahwa, selama ini gerakan mengangkangi NU memang berjalan massif. Ini dilakukan salah satu parpol, dan itu harus dilawan bersama. Nahdliyin tidak boleh diam. “Keputusan PPKN memenangkan Khofifah-Emil adalah bagian dari perlawanan itu. Kalau sampai Khofifah-Emil kalah, maka, NU akan dibuat mainan politik,  keputusan khitthah tinggal semboyan saja,” jelasnya.

Ditanya soal ikrar Gus Ipul-Puti di depan ulama, Mahfud tidak peduli. “Silakan. Tetapi jangan dengan memobilisasi pengusus NU. Ini berbahaya. Terlebih kontrak seorang pemimpin itu dengan rakyatnya, bukan hanya dengan pendukungnya,” tambahnya.

Problem Jatim, lanjut Mahfud adalah kemiskinan dan lapangan kerja. Selama ini Khofifah dikenal sebagai teman dekat rakyat miskin dan pembela hak-hak perempuan. Begitu juga Emil. Ialah inisiator berdirinya Bandara di Trenggalek yang  saat ini prosesnya sedang berjalan. “Masyarakat Jatim tahu dan sadar akan hal itu,” tegasnya.

Masih soal kontrak politik atau sosial, KH Afifuddin Muhajir dari Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo pernah menyatakan, bahwa, kontrak sosial itu harus antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Maksudnya jika pemimpin terpilih itu berkomitmen untuk menjalankan kebijakan yang mengacu pada kemaslahatan seluruh rakyatnya, dan begitu pula rakyat berkomitmen untuk selalu menaati semua kebijakan pemimpin sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at.

“Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud rakyat dalam konteks ini adalah seluruh rakyat yang ada di wilayah kekuasaan sang pemimpin, bukan hanya rakyat yang menjadi pendukungnya dalam proses pemilihan (Pilpres atau Pilkada), kata Kiai Afifudin.

Mengapa? Pemimpin tidak boleh membuat kebijakan diskriminatif antara yang mendukung dan yang tidak mendukungnya. Kebijakan diskriminatif adalah salah satu bentuk kezaliman sebagai kebalikan dari keadilan. “Pertanggungjawabannya akan sangat berat di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala,” demikian pesan Kiai Afifudin menutup pernyataannya di FBnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry