“Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo Selasa, 16 Desember melontarkan pernyataan keras. Prabowo bukan presiden, tapi Sigit. Keduanya dalam kendali Jokowi. Mantan Panglima TNI itu menyebut pernyataannya sebagai Peringatan Terbuka dan Terakhir kepada Prabowo.”
Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior

PILPRES 2024 dimenangi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ada yang yakin, kemenangan itu diperoleh dengan curang.  Curang yang sistematis, massif, dan terstruktur. Kemenangan buah cawe-cawe Presiden Jokowi. Kemenangan haram yang melibatkan aparat dan birokrasi, yang oleh UU jelas-jelas diperintahkan netral.

Tapi seiring berjalannya waktu, sebagian publik yang marah mulai “memaklumi”. Sudahlah, faktanya sekarang Prabowo adalah presiden. Dia harus dibantu. Jangan sampai ditelikung oleh Jokowi dan Geng Solonya. Kalau ini terjadi, maka Gibran akan naik lebih awal. Jika ini terjadi, bukan cuma Prabowo yang terpelanting dari krusinya, tapi seluruh negeri dalam bencana amat besar!

Selanjutnya, banyak yang berusaha terus menimbun husnuzhon (positive thinking) kepada Presiden Prabowo Subianto. Mereka selalu mencari pembenaran atas berbagai sikap dan kebijakan Presiden yang sering tidak masuk akal. Terus memuji Jokowi. Mengaku murid Jokowi. Terang-terangan mengklaim sebagai timnya Jokowi. Berteriak “hidup Jokowi!” saat tuntutan adili Jokowi menggema di seantero negeri. Mengambil alih tanggung jawab utang-utang kereta api cepat Woosh. Terus membisu atas skandal ijazah palsu yang memenjarakan warganya. Tidak kunjung mencopot Kapolri Sigit Listyo. Jani reformasi Polri yang menguap. Dan masih banyak lainnya.

Kendati amat banyak yang tak masuk akal, sebagian publik masih saja berprasangka baik. Mungkin Prabowo sedang berstrategi. Tindakan kepada Jokowi dan Kapolri harus hati-hati. Tidak bisa dan tidak boleh sembrono. Sebab, taruhannya stabilitas negeri.

Tapi, ketika Prabowo tak kunjung menetapkan musibah Sumatera sebagai bencana nasional, rakyat mulai berpikir ulang. Kali ini dengan sungguh-sungguh. Lalu, saat Kapolri menerbitkan Perkap nomor 10/2025, pertanyaan yang mengemuka, masih bisakah Prabowo diharapkan?

Musibah Sumatera dan Perkap 10/1025

Dua peristiwa teranyar (musibah Sumatera dan Perkap 10/2025) ternyata mampu menguras stok huznuzhon publik. Bencana Sumatra bukan peristiwa kecil. Korban jiwa, kehancuran infrastruktur, dan penderitaan rakyat berlangsung nyata di depan mata. Ratusan ribu kayu gelondongan yang ikut hanyut dan menghancurkan rumah-rumah warga membuka mata. Musibah Sumatera bukan bencana. Tapi ini kehancuran yang direncanakan. Ada perselingkuhan jahat antara pengusaha dan penguasa yang merusak alam.

Dalam situasi seperti itu, publik menunggu satu hal paling mendasar dari seorang presiden. Empati yang tegas. Keberpihakan yang jelas dan keputusan politik yang kuat. Namun yang muncul justru kesan dingin, datar, dan birokratis. Negara seolah hadir setengah hati. Dan presiden, entah mengapa, memilih jarak. Bantuan, kalau pun ada, jumlahnya tak seberapa dan banyak kendala. Uluran tangan internasional ditampik. “Kami masih mampu. APBN kami cukup,” kilah Prabowo.

Di aat yang sama, publik dikejutkan oleh terbitnya Perkap Nomor 10 Tahun 2025. Regulasi ini bukan sekadar soal administratif. Ia menabrak prinsip fundamental reformasi. Juga secara telanjang berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil. MK sudah berbicara. Konstitusi sudah memberi batas. Namun Kapolri justru melangkah melewati garis itu dengan percaya diri.

Ada yang lebih mengagetkan sekaligus memicu kemarahan. Kepasifan Presiden Prabowo. Tidak ada koreksi. Tidak ada teguran, apalagi pencopotan. Tidak ada pernyataan tegas. Presiden yang dipilih rakyat justru seperti melalukan pembiaran.

“Prabowo tahu Perkap 10/2025. Dia merestui. Ada simbiosis mutualisma antara  Presiden dan Kapolri. Dia meniru Jokowi. Menggunakan polisi untuk kepentingan kekuasaannya,” ujar Pemerhati intelejen, Sri Radjasa Chandra.

Pertanyaan publik pun mengeras. Mengapa Prabowo begitu tumpul terhadap Kapolri? Prabowo takluk pada Sigit? Presiden takut kepada Kapolri?

Sebagai presiden, Prabowo punya kewenangan penuh untuk memanggil, menegur, bahkan membatalkan arah kebijakan Kapolri. Ini bukan soal konflik personal. Ini soal konstitusi dan tertib negara. Namun yang terjadi justru sebaliknya: presiden diam, Kapolri terus melaju. Relasi kekuasaan terlihat terbalik.

Prabowo atau Sigit Presiden RI

Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo Selasa, 16 Desember melontarkan pernyataan keras. Prabowo bukan presiden, tapi Sigit,  katanya. Dan, keduanya dalam kendali Jokowi, lanjut Gatot. Mantan Panglima TNI itu menyebut pernyataannya sebagai Peringatan Terbuka dan Terkahir kepada Prabowo.

Ini pernyataan kontroversial, tentu saja. Namun pernyataan itu tidak lahir dari ruang hampa. Ia menemukan momentumnya karena fakta-fakta di lapangan memberi bahan bakar bagi kecurigaan publik.

Di sinilah problem sesungguhnya. Negara ini bukan hanya menghadapi krisis kebijakan. Tetapi juga krisis kepercayaan. Ketika presiden tidak menunjukkan sikap tegas dan keras atas pelanggaran prinsip hukum, rakyat akan bertanya: siapa sebenarnya yang memegang kendali? Ketika bencana tidak direspons dengan kepemimpinan yang empatik dan jelas, rakyat akan bertanya: apakah penderitaan mereka sungguh dianggap penting?

Sebagian orang mungkin masih mencoba berpikir positif. Mungkin Prabowo sedang berhitung politik. Mungkin dia tak ingin kegaduhan di awal pemerintahan. Mungkin dia terikat kompromi kekuasaan warisan rezim sebelumnya. Semua itu mungkin saja. Tetapi negara tidak bisa dipimpin dengan mungkin. Rakyat butuh kepastian sikap. Bukan teka-teki politik.

Sejarah mencatat, kekuasaan yang membiarkan pelanggaran hukum demi stabilitas semu, pada akhirnya akan menuai ketidakstabilan yang jauh lebih besar. Dan presiden yang terlalu lama diam, akan dinilai bukan sebagai negarawan, melainkan sebagai penonton. Bahkan sebagai wayang!

Kritik ini bukan kebencian. Ini peringatan. Karena ketika husnuzan rakyat habis, yang tersisa hanyalah kemarahan dan perlawanan. Dan itu selalu datang dengan harga yang mahal. Teramat mahal, bagi sebuah bangsa. []

Jakarta, 17 Desember 2025

Bagaimana reaksi anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry