Oleh: Abdul Wahid*

KRITIK serius dilontarkan kalangan agamawan saat Ketua BPIP menyebut, bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Meski pernyataan ini sudah diluruskan, tetapi diskursus soal siapa musuh sejati ideologi negara ini masih menggelinding mengisi ranah publik. Benarkah agama yang jadi musuh terbesar Pancasila?

Sunan Drajat, salah satu Walisongo, dalam episode perjuangannya telah memformulasikan resep kecerdasan sosial yang sejatinya beresensi doktrin ideologi Pancasila, yang diantaranya menunjukkan jenis peilaku yang bisa dikategorikan jadi musuhnya Pancasila. Resepnya ini menjadi ruh dalam aktivitas dakwahnya dengan ungkapan sederhana seperti “berilah tongkat kepada orang buta; berilah pakaian kepada orang yang telanjang; berilah makan kepada orang yang kelaparan; dan berilah perlindungan kepada orang yang kehujanan”.

Resep kecerdasan dalam konstruksi kesalehan sosial yang didoktrinkan Sunan Drajat itu ditujukan sebagai nasihat mendasar bukan semata pada ‘peziarah pluralistik’ lokal yang mengunjunginya,  tetapi juga pada seluruh bangsa Indonesia, khususnya kalangan elit negara atau para pemimpin bangsa tentang makna kehidupan sebagai individu dan pemegang amanat publik berbasis mengamalkan dan menghidupkan doktrin Pancasila, diantaranya tentang ketuhanan dan kemanusiaan.

Dalam resep Sunan Drajat itu, para pemimpin bangsa diingatkan, bahwa dirinya  mempunyai amanat atau tanggungjawab besar untuk membuktikan perannya sebagai pengamal dan pembumi utama atau berada di ranah terdepan dalam mengawl marwah ideologi Pancasila. Di tangannya, wajah Pancasila, apakah tampak sakti atau merana adalah ditentukan oleh peran-peran yang ditunjukkannya.

Mereka itu dikategorikan belum sukses bisa menegakkan resep hidup berketuhanan dan berkemanusiaan atau doktrin kesalehan sosial bilamana dalam kenyataannya mereka lebih disibukkan ‘melukai’ Pancasila, atau tergelincir jadi ‘produsen’ yang mendestruksi makna agung Pancasila.

Makna agung Pancasila, sebagaimana nasehat Sunan Drajat  sejatinya mengajarkan bahwa setiap subyek bangsa punya kewajiban membebaskan, memanusiakan, menyejahterakan, dan menyatukan seluruh elemen bangsa ini, dan bukan ‘melukainya’. Sayangnya, tidak sedikit tampilan perilakunya yang bercorak dehumanistik.

Ajaran Sunan Drajat yang bermakna lebih luas dapat ditafsirkan, bahwa dalam ranah yang lebih universalistik, jikas epak terjang yang tidak berkeadaban atau tidak berkemanusiaan, memproduksi dan memperluas kesewenang-wenangan dan acuh terhadap nasib sesama yang masih dalam kondisi ketidakberdayaan, maka kita yang demikian ini layak digolongkan sebagai pelaku-pelaku yang tidak menjaga marwah Pancasila.

Azzumardi Azra (2010) yang pernah mendapatkan penghargaan dari Ratu Inggris atas prestasinya dalam pencerahan pluralisme melontarkan gugatan, bagaimana kita bisa berbicara tentang ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama Tuhan. Bagaimana kita bicara tentang ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan mencabut nyawa.

Benar kata Azra itu, faktanya kita ini terkadang tidak merasa malu dengan banyak bicara soal fundamental dan sakralnya hidup bersatu dalam kebinekaan atau konstruksi multikultural, padahal dalam faktanya kita demikian sering adigang adigung  dengan cara ‘mengeksplorasi’ sikap dan perilaku intoleransi atau lebih mementingkan diri dan kelompoknya melalui pola radikalistik, otoritarian,  dan gampang mendestruks toleransu dan solidaritas terhadap sesama.

Kita pun demikian sering mendiskursuskan dan mempidatokan tentang sakralitas sila ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ yang bahasan dan pidato ini menjadi kumpulan frasa-frasa kosong, pasalnya puluhan juta rakyat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan tetap kesulitan membebaskan dirinya. Ironisnya lagi, kita justru menyuguhkan pola hidup paradoksal dengan cara membenarkan kehidupan serba materialistik, hedonistik, dan permisifistik.

Gugatan itu tidak sulit terbaca senyatanya oleh elit kekuasaan dan komunitas cendekia bangsa ini, pasalnya problem besar dan berat yang masih menghegemoni kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan ini berakar dari sepak terjangnya sendiri yang keluar dari demarkasi moral dan hajat nasionalitas, yang nota bene membuat ajaran Pancasila kian terluka.

Kita masih menjadi bangsa yang ‘kaya’ dengan penyakit laten yang membuat citra Indonesia tetap layak disebut sebagai negara yang hanya mempunyai impian besar, tetapi mudah terganjal dalam mewujudkannya  akibat tidak gigih dan konsisten dalam membumikan gerakan penyingkiran virusnya.

Ironisnya lagi, virus itu justru disikapi sebagai bagian dari yang dicintai dan diakrabinya seolah suatu keadaan normal yang eksis dalam realitas sejarah kehidupan bangsa.

Itulah yang membuat kita cenderung mengabsahkan diri dan kelompok dengan beragam ‘mabuk’ impian, sementara dalam keseharian, khususnya elitnya, lebih sering sibuk memproduksi janji dan ‘mengeksplorasi’ perbuatan palsunya.

Cita-cita menjadi bangsa besar sering sekali diucapkan elemen pemimpin yang berapi-api saat berpidato atau berjanji pada rakyat. Saat berkampanye di hadapan konstituen misalnya, mereka seperti akan mengerahkan segala kemampuannya untuk ‘merias’ bumi pertiwi ini dengan berbagai bentuk karya istimewa, yang bermanfaat bagi Indonesia ke depan.

Ketika disuruh menandatangi kontrak politik, mereka berani membubuhkan tanda tangan sebagai syahadah kekuasaan kalau dirinya kelak, saat terpilih menjadi elemen di pemerintahan atau pilar-pilar utama eksekutif, legislatif, dan yudikatif, akan menciptakan zaman keemasan (golden era), yakni suatu orde dimana rakyat bisa menkmati atmosfir kehidupan yang bersemaikan kedamaian, toleransi, keadaban, keadilan sosial, dan kesejahteraan.

Mereka itu sudah membuat perikatan kebertuhanan dan kemanusiaan. Namun ketika perilakunya diabdikan demi membela eksklusifitas kepentingan diri dan para kroninya, serta demi mengobral gaya hidup hedonistik, maka apa yang diperbuat ini identik dengan membuat Pancasila semakin terluka, atau memosikan ideologi bangsa ini sekedar kompilasi norma yang tidak bermakna (meaningless).

*Penulis adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah buku

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry