Muhammad Thamrin Hidayat – Dosen FKIP
ADA pepatah yang mengatakan: perubahan adalah hal yang biasa, tetapi bila tidak ada perubahan itulah hal yang luar biasa. Itulah namanya dunia, makanya dunia ini disebut masa yang fana dan tidak abadi. Demikian pula dengan perubahan-perubahan dalam dunia pendidikan.
Bahkan banyak orang mengatakan bahwa ganti Menteri akan ganti materi (baca kurikulum). Perubahan pada kurikulum akan berdampak pada pergantian semua perangkat yang ada pada sistem pendidikan.
Di sini lah tempat keluhan masyarakat terutama orang tua yang mempunyai anak yang masih duduk di bangku sekolah tingkatan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
Dengan adanya perubahan tersebut, biasanya yang sangat dikeluhkan masyarakat adalah berkaitan dengan buku, cara belajar, beban belajar, materi pelajaran dan banyak lagi yang akan berubah. Salah satu contohnya, tentang buku.
Dulu buku kakak dapat digunakan adiknya. Tetapi sekarang sudah tidaklah mungkin hal itu terjadi. Karena materi dan susunan buku sangat berbeda sekali.
Ini adalah salah satu dampak dari perubahan tadi, karena susunan kurikulum berubah yang diikuti susunan materi yang ada buku juga berubah pula.
Perubahan ini memang sangat “dinantikan” oleh penerbit dan penyusun/pengarang buku agar usahanya tetap hidup dan hidup berkembang.
Tahun 2004 ada pergantian kurikulum sekaligus penerapannya, walaupun telah diperbaiki dan baru disahkan pada 22 Juni 2006. Penerapan kurikulum dari tingkat TK hingga SMA yang diberlakukan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Dari namanya saja sudah berbeda dengan kurikulum yang lalu. Kalau dahulu memuat tentang belajar tuntas, maju berkelanjutan, CBSA. Tetapi penerapannya hanya parsial saja. Dinilai setelah mereka selesai belajar.
Tetapi KBK tidak demikian adanya, penilaian berkelanjutan pada setiap proses dan perolehan semuanya di evaluasi.
Sehingga terlihat sangatlah riweh (kata orang Sunda) baik proses belajar mengajarnya maupun penilaiannya. Hari ini koq masih membahas KBK apa tidak terlambat? Tidak karena kurikulum ini berbasis kompetensi.
Karena semua kurikulum pada dasarnya berbasis kompetensi hanya tidak secara menonjolkan kopentensinya.
Setelah diterapkan KBK, pernah orang tua murid mencoba melongok ke dalam kelas. Nampak ekspresinya kecut melihat kelas yang ada sambil berguam, “kelas koq seperti gudang”. Karena orang tua melihat dan menemukan banyak hal yang berbeda dengan ia dahulu sekolah.
Sekarang hasil karya siswa digantung, bahkan ada yang tergeletak di lantai karena tidak cukupnya dinding untuk memajang hasil karya anak-anak.
Dulunya pembelajaran cukup guru menerangkan di depan kelas, apakah guru menerangkan sambil duduk disertai agak ngantuk, berdiri, mondar mandir (Kata Prof Tahalele Alhm, seperti Beruang dalam kandang). Itulah pengajaran tempoe doeloe, ilmu dalam otak “sang maestro” dituangkan ke dalam otak sang anak didik.
Pengalaman dulu waktu masih duduk di bangku SMA, guru biologi tidak pernah membawa buku ke dalam kelas. Tetapi hebatnya, apa yang diterangkan pada kakak kelas dan apa yang diberikan kepada adik kelasnya sama persis, Jarè Wong Jowo plek persis titik komaẻ.
Demikian juga pelajaran stereometri, goneometri, aljabar, analit, bahkan biologi yang nota bene penjelasannya dengan uraian juga sama persis, ya semua pelajaran seperti itu. Memang guru-guru dulu sangat “piawai” dalam “mengajar”.
Setelah itu siswa harus menghafal semua bagi pelajaran hafalan, sedangkan pelajaran mengerjakan soal ya harus dapat mengerjakan soal-soal dan harus hafal rumus-rumus dengan baik ke depan kelas. Walau tidak tahu dari mana asal rumus yang mereka hadapi.
Ya itulah yang disebut mengajar. Dengan model dan cara demikianlah dalam tempo singkat guru itu sendiri yang akan menjadi pintar dan hafal untuk dirinya. Tapi bagaimana dengan muridnya???
Nah sekarang bagaimana dengan KBK?
Sekarang banyak orang tua murid yang berkeluh kesah dengan adanya KBK. Mereka menganggap guru sekarang seenaknya sendiri cara mengajarnya. Anak-anak sibuk dengan pekerjaannya, diskusinya, ramailah kelas yang ada, tidak tertib dan sebagainya dan mestinya.
Selain itu siswa dibebani dengan tugas-tugas menempel dan menggunting dari koran yang telah dibaca. Disuruh membuat laporan atas pengamatan lingkungan, tanaman yang ada disekitar rumahnya. Bahkan siswa disuruh mencari barang-barang bekas berupa kaleng, karton, tanaman kering, ya…. apalah pokoknya barang-barang tidak berguna. Koq begitu ya?, koq tidak menghafal dan mengerjakan soal-soal melulu.
Demikian pula tentang laporan hasil belajar (rapor) siswa juga jadi masalah. Rapor yang diterima bukan hanya berbentuk angka-angka yang cepat dibaca dan dapat disimpulkan dengan cepat. Sekarang dalam bentuk tulisan/narasi dan sulit dipahami karena bahasanya dibuat diplomatis agar tidak terlalu menyinggung perasaan orang tua, lebih-lebih bagi siswa itu sendiri.
Lain dengan jaman dulu, rapor yang nilainya 5 atau di bawah 5 berwarna merah, sehingga cepat diketahui apakah rapor “kebakaran” atau tidak, dengan kata lain sudah dapat ditebak naik atau tetap tinggal kelas. Kalau disimpulkan kata orang sekarang kok neko-neko. Belajar itu ya membaca, menghapal, mengerjakan soal-soal ya sudahlah itu yang disebut belajar.
Itulah bedanya antara belajar jaman dahulu dan sekarang. Paradigma belajar tempo doeloe dengan sekarang sangat berbeda jauh. Belajar bukanlah hanya pandai dalam kognitif saja (pandai ilmu saja), tetapi sekarang ada yang disebut multipel intelegensi (kecerdasan majemuk).
Bahwa pada manusia tidak hanya ada kepandaian kognitif saja tetapi kepandaian itu banyak. Mengapa demikian dipersoalkan? Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah banyak orang memilik IQ superior tetapi tidak berhasil dan kandas dalam kehidupan di masyarakat.
Mereka sangat pandai di dalam hafalan tetapi tidak pandai di dalam mengemukakan pendapat, tidak dapat memahami kehidupan bermasyarakat, tidak pandai memanipulasi variabel yang ada, karena mereka di sekolah tidak belajar melalui diskusi. Sehingga dia tidak mau dan tidak dapat mendengarkan pendapat orang lain, bahkan tidak dapat mengemukakan pendapatnya dengan piawai.
Berdasarkan kenyataan di masyarakat itulah, KBK harus dan tidak dapat ditunda untuk tidak dilaksanakan. Sekolah masa kini bukanlah mereka belajar ilmu saja, tetapi mereka harus pandai dalam segalanya misalnya, pandai dan dapat mendengarkan pendapat orang lain, memiliki kepekaan lingkungan, dapat beroklaborasi, dapat berbicara di depan umum, dapat menulis dengan tulisan baik dan benar. (*)