ABDUL WAHID, Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Penulis Buku.

“Gus Dur menjadi macan bukan hanya ketika sudah menempati kursi kekuasaan, tetapi juga ketika masih usia muda. Gus Dur menunjukkan perannya sebagai anak muda yang suka bersuara lantang baik terhadap organisasinya (NU) maupun terhadap realitas sosial, politik, dan kenegaraan.”

Oleh: Abdul Wahid

MENGENAL semakin mendalam sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ibarat memasuki “madrasah unggulan” yang menyimpan banyak kandungan pelajaran.

Salah satu putera terbaik negeri ini semasa hidupnya lebih banyak dihabiskan dan “ditasbihkan” untuk mengabdi pada masyarakat dan negara sebagai macan yang suka mengaum keras dalam ranah kebenaran, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan.

Sebut saja misalnya sebelum menjadi presiden RI, Gus Dur telah mendedikasikan dirinya tidak semata untuk masyarakat, negara, dan bangsa ini, tetapi juga untuk masyarakat global. Bahkan di level global ini, Gus Dur ditempatkanya sebagai intelektual pluralis yang sudah dimiliki dan “memiliki” dunia. Sudah tak terhitung waktu yang digunakannya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah, khususnya lintas agama yang diikutinya.

Saat Gus Dur mencalonkan diri jadi presiden, seorang karibnya dari negara lain pernah bertanya “Anda sudah menjadi presiden dunia dan masyarakat lintas etnis, agama, budaya, dan lainnya, mengapa anda bersiap turun tahta dengan mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia”?

Gus Dur menjawab, “aku belum mencoba mengabdikan diri demi demokrasi di lingkaran kekuasaan negeri ini. Biarlah aku belajar menjadi orang Indonesia yang benar-benar mencintai Indonesia”.  (Khalid, dalam Keajaiban NU, 2007)

Jawaban Gus Dur itu  menunjukkan, bahwa dirinya ingin mencoba menjadi macan yang bisa mengaum keras di dan demi negaranya, di samping tetap bersuara lantang saat berhadapan dengan negara-negara lain. Dan terbukti, Gus Dur memang mampu membentuk dirinya sebagai macan yang mengaum bukan hanya saat demokrasi di negeri ini masih dipermainkan beberapa gelintir orang, tetapi juga saat negara-negara lain mencoba melecehkannya.

Keberanian Gus Dur mengaum keras di tengah masyarakat Indonesia hingga ke masyarakat global itu menunjukkan, bahwa negara ini sukses membentuk putera terbaik bermental macan, yang tidak kecil nyali untuk mengaum  saat terjadi dan marak praktik-praktik penyelenggaraan kekuasaan atau manajemen politik berbasis represip, dehumanistik, dan diskriminatif.

Keberanian tersebut jelas menjadi kado istimewa bukan hanya bagi komunitas elit negeri ini, tetapi juga bagi anak-anak muda. Gus Dur menjadi macan bukan hanya ketika sudah menempati kursi kekuasaan, tetapi juga ketika masih usia muda, Gus Dur menunjukkan perannya sebagai anak muda yang suka bersuara lantang baik terhadap organisasinya (NU) maupun terhadap realitas social, politik, dan kenegaraan.

Tampilnya Gus Dur menjadi macan dapat terbaca dengan mudah saat Soeharto berkiuasa  Dimana saja Gus Dur memberikan ceramah atau pengajian, kritik keras diiringi dengan  humor kepada Soeharto dan Rezim Orba  dilontarkannya. Gus Dur terus mengaum  yang aumannya menjadi obyek perbuan media. Rezim Orba merasa kegerahan akibat sepak terjangnya. Meski dihalangi supaya tidak mengaum keras-keras, Gus Dur tidak mempedulikannya.

Auman Gus Dur terhadap rezim otoriter dan eksklusif Orba  telah  terbukti mampu merangsang dan menggairahkan peneliti atau akademisi nasional hingga global untuk berusaha mengenal dan meneliti, serta mendialektikan pikiran-pikiran brilian dan sepak terjangnya. Berbagai judul buku yang mengulas pikiran-pikiran dan sepak terjang Gus Dur  yang berparadigma  melawan tiranisme negara  sangat laris.

Saat menjadi presiden pun, Gus Dur menunjukkan perannya sebagai sosok demokrat  sejati, pasalnya langkah-langkah kepemimpinannya ditujukan membedah sekat-sekat demokrasi yang selama 32 tahun menjadikan negeri ini sebagai “republic of military”.  Gus Dur bukan hanya merotasi kepemimpinan TNI, tetapi juga sukses membedah atau “membebaskan” Polri dari hegemoni TNI, yang keberanian ini dilakukannya demo sakralisasi demokrasi.

Gus Dur tidak peduli ucapan banyak politisi kalau sepak terjangkanya sebagai kepala negara  bergaya macan itu ibarat mengundang banyak musuh atau “memproduksi” beragam penyakit. Gus Dur tetap mengaum demi melicinkan jalan demokrasi dan tegaknya kemandirian sebagai bangsa bermartabat, bukan bangsa dikalahkan oleh kediktatoran dan otoriterisme berbaju demokrasi dan negara hukum.

Ketika sudah tidak menjadi presiden pun, Gus Dur tetap lantang mengaum. Demokrasi, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, dan hukum negara dijadikan temanya untuk mengingatkan elit-elit kekuasaan. Gus Dur tidak peduli aumannya didengar atau tidak oleh elit-elit kekuasaan, karena baginya yang penting adalah mengaum dan terus mengaum, supaya  supaya kekuasaan tidak berjalan liar dan barbarian, serta memenangkan neo-otoritarian.

Di penghujung tahun 2009, meski dalam keadaan sakit, Gus Dur masih berusaha keras tidak membiarkan dirinya dibelenggu atau “dijajah” oleh penyakitnya, tetapi Gus Dur meminta keluar dari rawat inapnya di rumah sakit atau menggunakan “jurus cara kabur dari RS” (JP, 1 Januari 2010), yang kesemua ini ditempuh sejatinya untuk menunjukkan perannya sebagai macan yang tetap bisa dan mau mengaum dalam kondisi apapun. Gus Dur  berusaha menempatkan diri atau menghabiskan waktunya demi dan bersama masyarakat.

Itu menunjukkan auman Gus Dur sudah mewarnai perjalanan  kehidupan negeri ini dan dunia. Gus Dur mewariskan ajaran kepada setiap elemen republik ini, khususnya siapa saja yang dipercaya oleh rakyat menduduki kursi empuk  untuk berani mengaum dengan segala resikonya, yang aumannya benar-benar demi membela kepentingan rakyat, supremasi yuridis, dan mengawal perjalanan demokrasi.

Bagaimanapun harus diakui, bahwa berkat auman Gus Dur, bangunan kehidupan negeri ini mempunyai warna yang lebih menarik untuk dilihat, dibaca orang, dan dinikmati rakyat. Auman Gus Dur laksana “dakwah politik” yang mengalir sebagai nafas reformasi diantara relung-relung kekuasaan yang masih menganyam dan menyuburkan akumulasi dan diversifikasi borok.

Auman Gus Dur tersebut juga tidak ada artinya atau sebatas jadi tuyang-tuyang sejarah, manakala tidak ada generasi muda bermental militan  yang melanjutkannya. Mereka ini mempunyai kesempatan atau waktu lebih lapang, minimal untuk mendedikasikan diirinya dengan meneladani auman Gus Dur untuk menjadi sosok “serigala” yang tidak kecil nyali di tengah masyarakat dan negara  yang disana-sini masih menghalalkan paradigma homo homini lupus. (*)

ABDUL WAHID adalah Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis buku

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry