Drs Muhammad Said Utomo. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Jangan bikin resah pengguna fasilitas BPJS Kesehatan. Demikian kritik Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur, Drs Muhammad Said Sutomo terkait rencana penghapusan kelas rawat inap standar oleh BPJS Kesehatan.

Menurut Pak Said, panggilan akrabnya, penghapusan kelas rawat inap standar (KRIS) ini,  membutuhkan proses panjang. “Harus ada sosialisasi kepada masyarakat. Karena selama ini mereka membayar BPJS Kesehatan. Apakah mau nantinya mendapatkan standar pelayanan kesehatan rawat inap yang berbeda?” ujarnya, Jumat (28/1/2022) kepada duta.co.

Seperti diberitakan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut rencana penghapusan kelas rawat inap untuk peserta BPJS Kesehatan ia lakukan untuk menjaga arus kas dana jaminan sosial agar duit BPJS Kesehatan tetap positif.

Intinya Difisit

Budi Gunadi berharap penghapusan kelas rawat inap standar (KRIS) itu akan membuat duit BPJS Kesehatan sehat. “Intinya kita tidak mau BPJS Kesehatan itu defisit, tapi kita harus pastikan BPJS itu tetap positif, mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa, 25 Januari 2022.

Ia melempar contoh, beban pembiayaan kesehatan bagi BPJS Kesehatan untuk kontrol rawat jalan mencapai Rp 8,12 triliun dengan utilisasi 40,9 juta orang pada 2020.  “Apakah memang semuanya harus di rumah sakit karena sebagian ada yang bisa di FKTP karena fungsi dari Puskesmas sebenarnya untuk skrining dan tindakan promotif preventif,” katanya.

Dengan begitu, kata Budi, dana jaminan sosial BPJS Kesehatan bisa dialokasikan lebih optimal pada peserta yang membutuhkan. Artinya, pembiayaan BPJS Kesehatan itu dapat tersalurkan pada layanan kesehatan primer.

Penjelasan Menkes ini, menurut Pak Said, masih sangat terselubung, belum transparan. Bukankah faktor penggolongan masyarakat yang berbeda-beda, itu mempengaruhi sisi pembayaran. Sehingga, dikhawatirkan masyarakat keberatan.

“Apalagi, data YLKI, standarisasi kesehatan rawat inap dengan standar yang mau mereka terapkan, ternyata rumah sakit milik TNI atau Polri 100 persen belum siap. Ini yang menjadi pertanyaan bagi kami,” beber Said.

“Rumah sakit milik Negara, terutama TNI-Polri justru untuk menstandarisasi rawat inap masih belum siap untuk membuat single layanan,” imbuhnya.

Lebih lanjut Said mengungkapkan, masyarakat yang selama ini membayar pada kelas tertentu, namun mendapat layanan kesehatan yang tidak sesuai, juga akan membuahkan masalah “Orang nanti komplain, karena merasa membayar sesuai kemampuannya, tapi layanan tidak sesuai dengan janji,” tuturnya

Jangan Muluk-muluk

Baginya, dengan satu skema standarisasi pelayanan kesehatan, yang berujung pada kenaikan tarif bagi masyarakat. Ini menunjukkan realisasi UUD 1945 pasal 34 ayat 3 masih belum terlaksana secara penuh oleh pemerintah. “Pada pasal dan ayat tersebut menyatakan, negara bertanggung jawab terhadap fasilitas layanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak masih belum mereka lakukan dengan maksimal. Ini konsen kami,” tegas Said .

Padahal, kata Said, negeri ini sudah merdeka lebih dari 75 tahun. Tapi urusan melaksanakan UUD tersebut sampai sekarang belum bisa. “Lha begini kok mau pindah Ibu Kota Negara. Apa dana kesehatan habis buat pemindahan ibu kota?” tanyanya.

Pak Said juga mengingatkan, bahwa, Indonesia akan menjadi tuan rumah Presidency G20, di mana jargonnya sehat bersama, kuat bersama. “Ada 3 fokus pembahasan Presidency G20. Yakni arsitektur kesehatan global, ekonomi digital serta transisi energi. Janganlah berbicara muluk-muluk, tapi standarisasi masih jauh dari harapan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry