JAKARTA | duta.co — Sejarah panjang tradisi pesantren menghadirkan nilai-nilai penting bagaimana pluralisme dan toleransi dipraktikkan. Hal ini menjadi pembahasan dalam diskusi dan bedah buku ‘Pesantren Pluralis’ karya Dr Muntahibus Nafis, di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (06/04/2018).

Agenda ini diselenggarakan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, dihadiri Dr Muntahibus Nafis (IAIN Tulungagung), Ahmad Baso (Lakpesdam PBNU), dan Yanwar Pribadi, Ph.D (UIN Banten), serta Dr. Moh. Adlin Sila (Kepala Balitbang Agama Jakarta).

Moh Adlin Sila, PhD, Kepala Balitbang Agama Jakarta, menjelaskan pentingnya periset terus memproduksi gagasan dan mempublikasi ide. “Dalam dunia akademik, publikasi atau tenggelam. Karya Muntahibun Nafis ini memberi nilai tentang pluralisme dari khazanah pesantren,” jelasnya.

Penulis buku, Muntahibun Nafis, menjelaskan bagaimana proses berkembangnya nilai pluralisme di pesantren. “Pesantren Ngalah ini sangat menarik, proses pengembangan pluralisme belum berhenti sampai sekarang. Kita bisa melihat ke depan bagaimana proses pengembangan nilai-nilainya,” ungkap dosen IAIN Tulungagung.

“Ada sebuah pendapat penting dari Kiai Sholeh, Pengasuh Pesantren Ngalah. Kata Kiai Sholeh: Jenenge menungso kudu gelem gumul karo liyan, yen ora gelem gumul, dudu manungso (Manusia itu harus mau berinteraksi dengan yang lain. Kalau tidak mau berinteraksi, ya bukan manusia). Ini ungkapan yang menarik,” ungkap Nafis.

Menurut Muntahibun Nafis, pesantren Ngalah menjadi model bagaimana nilai-nilai pluralisme dipraktikkan oleh komunitas pesantren. “Ada beberapa faktor bagaimana Pesantren Ngalah mengembangkan pluralisme: faktor genealogis, faktor link kiai, dan faktor link jaringan mursyid thariqah. Selain itu juga pengaruh faktor autodidak, faktor kota Pasuruan yang heterogen, dan faktor nasionalisme” ungkap Nafis, sebagaimana tertulis dalam buku.

Kiai Ahmad Baso mengungkap pentingnya bagaimana kiai-kiai pesantren bisa mempertemukan nilai-nilai agama dengan konteksnya. “Kalau agama saja tapi tidak membumi, apa artinya? Para wali memperkenalkan kidung, tembang, supaya orang-orang memahami agama secara lebih mendalam dan mudah. Kekuatan budaya kita harus dimobilisasi untuk menjaga perdamaian, dan keguyuban,” ungkap Baso, pengurus Lakpesdam PBNU.

“Kiai-kiai masa lampau, membabarkan tentang pentingnya rasa, sama rata sama rasa. Ini yang kemudian diambil oleh kelompok komunis, menggunakan idiom tentang sama rata sama rasa sebagai jargon mereka. Padahal, sebelumnya itu merupakan gagasan kiai-kiai pesantren,” terang Baso, yang menulis beberapa buku Islam Nusantara.

Dr. Yanwar Pribadi, menjelaskan bagaimana pentingnya perspektif dalam riset. “Saya cenderung menghindari penggunaan istilah kearifan lokal atau local wisdom, karena itu sangat menjebak. Seakan mengagungkan, tapi ada nada meminggirkan. Kita harus meninjau ulang,” jelas Yanwar, dosen di UIN Banten.

Yanwar Pribadi, mendorong agar kajian Islam Nusantara terus didengungkan. “Islam Nusantara harus terus dikaji, jangan pernah berhenti. Karena ilmu pengetahuan itu sifatnya terus bergerak. Buku ini dapat menjadi sumbangan besar terhadap studi pesantren, tapi harus dengan revisi agar tidak model disertasi. Ini penting agar bisa menjangkau lebih banyak orang,” papar dosen yang merampungkan riset pascadoktoral di SOAS London, Universitas Leiden dan beberapa kampus dunia.

Diskusi dan bedah buku yang diinisiasi Balitbang Agama Jakarta ini dalam rangka mengembangkan kajian Islam di Indonesia. Dalam waktu dekat, Balitbang Agama mengembangkan kajian-kajian teks dan manuskrip Nusantara. (maz)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry