
SURABAYA | duta.co – Jelas! Tahun ini, bagi Muhammadiyah adalah akhir penentuan 1 Syawal 1446 H dengan metode hisab hakiki wujudul hilal. Karena tahun depan (1447 H/2026 M) Muhammadiyah menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) sebagai rujukan resmi dalam menentukan awal bulan Hijriah.
“Betul, tahun depan Muhammadiyah akan menggunakan KHGT. Nanti akan ada peluncuran resmi,” ujar Ketua Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum PP Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto, kepada redaksi pwmjateng.com, Minggu (30/3/2025).
Sudah puluhan tahun, metode ini menjadi dasar Muhammadiyah dalam menetapkan tanggal penting keagamaan, seperti awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Namun, mulai 2026, kalender Hijriah Muhammadiyah, kini sepenuhnya mengacu KHGT.
Keputusan beralih ke KHGT ditetapkan dalam Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah di Pekalongan, 23–25 Februari 2024. Ada dua alasan. Pertama, umat Islam belum memiliki kalender global yang dapat diandalkan untuk penetapan ibadah. Kedua, kemajuan ilmu astronomi memungkinkan umat Islam menetapkan waktu ibadah secara akurat tanpa harus mengamati langsung fenomena alam.
Ini berbeda dengan pendapat pakar falak NU. Menyambung penjelasan Prof Dr KH Abd Salam Nawawi dari Lembaga Falakiyah PBNU, pergantian metode itu, bisa merusak tatanan ibadah kita. Penjelasan panjang lebar KH Abd Salam (sebagaimana terunggah duta.co edisi 12 April 2025) mendapat banyak apresiasi nahdliyin.
“Ini mendasar. Konsistensi PBNU mempertahankan kalender hijriyah mengacu pada perebadaran bulan dan matahari sebagaimana penjelasan Dr KH Abd Salam adalah benar. Konsisten metode rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan, adalah prinsip, di mana masing-masing negara bisa jadi tidak sama. Ini penting,” demikian salah seorang warganet.
Menurutnya, bagi nahdliyin, lebaran tidak harus sama harinya. Tetapi sama tanggalnya, 1 syawal. “Begitu sebaliknya, jumatan. Tidak harus sama tanggalnya, tetapi sama harinya, Jumat. Soal persatuan umat islam sudah digariskan oleh Allah swt, bahwa kiblat kita sama, Alqurannya sama, nabinya sama. Yang lain tidak harus sama,” tegas lelaki yang mengaku suka melihat youtube Gus Baha ini.
Prof Dr KH Abd Salam Nawawi, dalam penjelasan terkait bulan, menyampaikan, bahwa tanda awal bulan itu ditetapkan dengan kemunculan hilal di awal malam. “Ini tidak bisa diharuskan seluruh dunia harinya sama. Karena itu, dalam agama kita tidak ada, wukuf di Arafah itu (harus) hari Rabu. Tidak ada. Puasa Arafah itu hari Jumat, tidak. Yang ada adalah tanggal,” urainya.
“Di mana pun orang puasa Arafah pasti tanggal 9 dzulhijjah. Harinya nggak penting, Itu tidak dihubungkan dengan hari, tapi bulanan. Bulan dalam Islam itu bisa 29 dan bisa 30 hari. Kenapa tidak perlu sama? Karena faktor penentunya adalah hilal. Dan hilal itu tidak seperti ufuk. “Maka bisa jadi ada daerah timur yang pertama melihat hilal. Bisa jadi barat yang melihat. Maka, siapa yang melihat berarti masuk tanggal. Yang belum semprnakan menjadi 30 hari. Tidak ada yang membuat nama hari. Tidak ada. Ini hebatnya Islam,” tegasnya.
Kenapa kita masih berpuasa, sementara Saudi sudah hari raya? Karena rujukannya bukan hari. “Lho iya wakuf bisa jadi kemarin, tetapi tetap tanggal 9. Ini bukan karena harinya (misal Rabu), sementara di sini sudah Kamis, tidak apa-apa. Memang harus begitu, karena tanggal 9-nya jatuh hari Kamis,” tegasnya.
Menyurut Kiai Abd Salam, periode 1 tahun dalam Islam itu 12 bulan. Tidak ada bulan 13. “Kalau bayar gaji monggo, ada gaji ketigabelas. Tapi hitungan tahun, jelas 12 bulan. Nah, kalender China pakai bulan, Saka Bali juga pakai bulan. Tapi mereka ada bulan 13 yang disesalkan. Islam tidak. Maka, perbandingannya (hijriyah dengan masehi) terus maju (2025 Idul Fitri 1 April, maka, Idul Fitri 2026 bisa maju 20 atau 21 Maret 2026, maju sebelas hari red.),” urainya.
Ayik Heriansyah, pernah menulis dengan tajuk “1 Syawal sedang OTW Menuju Indonesia”. Menurut Ayik, perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri bukanlah hal baru di Indonesia. Tahun 2025 kembali memperlihatkan perbedaan antara keputusan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam menentukan 1 Syawal.
Kemenag RI telah menetapkan Idulfitri jatuh pada 31 Maret 2025, sementara HTI menggelar lebaran sehari lebih awal, 30 Maret 2025. HTI menganut paham rukyat global, yang berarti bahwa 1 Syawal berlaku untuk seluruh dunia, di mana pun hilal terlihat.
Dalam Islam, 1 Syawal ditentukan berdasarkan rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit pertama) atau hisab (perhitungan falakiyah). Perbedaan metodologi tersebut jadi penyebab utama ketidaksepakatan dalam penetapan hari raya.
HTI memang berpegang pada metode pengamatan hilal di Arab Saudi, yang mengumumkan terlihatnya hilal pada 29 Maret 2025. Konsekuensinya, HTI menganggap bahwa 1 Syawal sudah dimulai 30 Maret 2025 di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun, pendekatan itu menimbulkan problematika kefalakan.
Secara astronomis, bumi berbentuk bulat dan berotasi dari barat ke timur. Artinya, jika hilal pertama kali terlihat di Arab Saudi, maka wilayah yang berada di timur—seperti Indonesia—seharusnya melihat hilal lebih awal atau paling tidak pada waktu yang sama dalam konteks waktu lokal.
Namun, dalam kenyataannya, hilal tidak selalu dapat terlihat di semua tempat pada waktu yang sama karena perbedaan zona waktu, posisi bulan terhadap matahari, serta faktor atmosfer yang memengaruhi visibilitas hilal.
Hilal yang pertama kali terlihat di Arab Saudi tidak serta-merta berarti bahwa 1 Syawal langsung berlaku secara global. Menurut sistem kalender Islam yang berbasis rukyat, setiap wilayah memiliki otoritas sendiri dalam menentukan awal bulan baru berdasarkan pengamatan hilal di wilayahnya masing-masing.
Dengan kata lain, meskipun hilal sudah terlihat di Arab Saudi, Indonesia tetap harus melakukan rukyat sendiri atau mengacu pada hasil hisab untuk menetapkan kapan 1 Syawal dimulai.
Tahun 2025, hisab yang dilakukan otoritas falakiyah Indonesia menunjukkan bahwa hilal belum cukup tinggi untuk terlihat pada 29 Maret 2025. Oleh karena itu, Kemenag RI menetapkan bahwa bulan Ramadan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal), sehingga 1 Syawal jatuh pada 31 Maret 2025.
Perbedaan penetapan Idul Fitri tidak boleh jadi sumber perpecahan di tengah umat Islam. Indonesia memiliki mekanisme resmi dalam menetapkan awal bulan Hijriah melalui sidang isbat Kemenag RI. Keputusan pemerintah dalam penentuan Idul Fitri seyogianya jadi pedoman umat Islam di Indonesia dalam menjalankan ibadah. (mky, bersambung)