Keterangan foto icjr.co.id

SURABAYA | duta.co – Perampasan hak konsumen menjadi perhatian serius The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sebuah lembaga kajian independen dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum di Indonesia. Setelah Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur berkirim surat ke Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, kini ICJR juga mengirim nota yang sama, sebagai mitra peradilan (Amicus Curiae).

Dalam kasus pidana dengan jerat perkara UU ITE terhadap Stella Monica Hendrawan, menurut ICJR keblalasan. Sama dengan YLPK, ICJR melihat masalah Stella Monica Hendrawan adalah bentuk kekecewaan konsumen yang justru harus menjadi perhatian bersama.

“ICJR menyatakan adanya kesalahan yang dilakukan Penuntut Umum dalam menyusun tuntutannya. Perbuatan SM (Stella Monica red.) demi kepentingan publik. Tidak dapat dipidana. Demi kepentingan umum, diartikan agar supaya umum waspada. Agar bermanfaat untuk orang banyak,” demikian isi Amicus Curiae ICJR kepada PN Surabaya, tertanggal Selasa 2 November 2021.

Seperti kabar media, SM telah duduk di kursi terdakwa PN Surabaya atas perkara Nomor 658/Pid.Sus/2021/PN.Sby.  Ini menyusul setelah selama Januari 2019 sampai September 2019 ia menjadi pasien Klinik Kecantikan L’viors. Desember 2019, ia menggunggah komentar dalam Instagram pribadinya tentang pengalamannya memperoleh perawat dari Klink L’viors yang kemudian direspons teman-teman yang memiliki pengalaman buruk yang hampir sama. Hal itu dilakukan atas dasar sharing berbagi dengan teman-temannya.

Nah, Januari 2020, SM justru menerima surat somasi oleh pengacara klinik L’viors tersebut yang menyatakan bahwa dia telah mencemarkan nama baik klinik dan harus memenuhi permintaan somasi dengan menerbitkan permintaan maaf di media massa (koran) minimal setengah halaman untuk tiga kali penerbitan berbeda hari.

Setelah dikirimi somasi, SM dan keluarga mencoba negosiasi berkali-kali karena permintaan tersebut dinilai memberatkan. Hal ini yang memprihatikan, justru konsumen diberikan beban kewajiban yang memberatkan, bukan didengarkan keluhannya bahkan tidak diberikan kesempatan menguji produk dan memperoleh kompensasi.

Juni 2020, anggota kepolisian dari Tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim mendatangi rumah SM membawa surat laporan dari pihak klinik. Kemudian berdasarkan pemeriksaan lanjutan SM didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan tunggal Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik.

Menurut Penuntut Umum, SM telah mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang mengarah pada kegagalan Klinik L’viors dalam menangani pasiennya, yang menurut Penuntut Umum, hal tersebut sebagai muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik

“ICJR melihat sejumlah catatan terhadap kasus yang menjerat SM, terdapat sejumlah masalah,  sehingga seharusnya SM tidak dapat diputus bersalah,” tambah Adhigama Budiman, Peneliti ICJR.

Ada enam alasan. Pertama, terdapat kesalahan mendasar bahwa Penuntut Umum tidak memahami konstruksi hukum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Tuntutan diberikan Penuntut Umum didasari pertimbangan yang langsung kepada pemaknaan konten, tidak terlebih dahulu membaca keseluruhan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE, hal ini adalah kesalahan.

Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE, dinyatakan ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP, maka seharusnya dalam membuktikan unsur “penghinaan dan atau pencemaran nama baik” dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut penuntut umum merujuk pada unsur-unsur dalam KUHP, bukan justru langsung hanya menafsirkan secara bahasa kalimat-kalimat yang dimuat dalam unggahan;

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 dan penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tersebut, maka pasal yang seharusnya dirujuk oleh penuntut umum adalah Pasal 310 KUHP tentang sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, dan Pasal 311 KUHP tentang fitnah;

Terdapat sejumlah batasan yang harus diperhatikan oleh Penuntut Umum dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus merujuk pada Pasal 310, 311 KUHP, yaitu: Pencemaran nama baik/ menyerang kehormatan atau nama baik dengan menuduhkan sesuatu hanya dapat ditujukan kepada orang bukan badan hukum atau pun institusi. Terdapat pengecualian yang tidak dapat disebut Pencemaran nama baik/ menyerang kehormatan atau nama baik apabila dilakukan demi kepentingan umum dan karena terpaksa membela diri

Terlebih lagi, Penuntut Umum menyusun tuntutannya pada Oktober 2021, pada masa ini telah berlaku  SKB Pedoman Implementasi UU ITE, dalam diktum ketiga SKB Pedoman Implementasi UU ITE tersebut dijelaskan bahwa pedoman tersebut belaku mulai 23 Juni 2021, dan dalam diktum kedua bahwa SKB ini dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum salah satunya di lingkungan Kejaksaan Republik dalam menggunakan UU ITE.

Sehingga harusnya penuntut umum merujuk pada SKB Pedoman Implementasi UU ITE mengenai Pasal 27 ayat (3), yaitu: Pasal 27 ayat (3) tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310, 311 KUHP, Bukan delik pidana Pasal 27 ayat (3) jika muatan atau konten yang dipermasalahkan adalah cacian, ejekan dan atau kata-kata tindak pantas, Bukan delik pidana Pasal 27 ayat (3) jika muatan atau konten yang dipermasalahkan adalah penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan

Kedua, Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dapat ditujukan kepada orang: Klinik L’viors bukan orang. Konstruksi Pasal 310, 311 KUHP hanya dapat ditujukan kepada orang karena kehormatan hanya dapat dimiliki orang perseorang. Instrumen hukum pidana terkait dengan pembatasan kebebasan berpendapat dan bereskpresi hanya untuk melindungi repurtasi orang, tidak lembaga, apalagi lembaga yang berinteraksi dengan publik yang merupakan subjek keluhan dan kritik

Ketiga, perbuatan SM demi kepentingan publik: tidak dapat dipidana. “demi kepentingan umum” diartikan “agar supaya umum waspada kepada oknum yang ‘dicemarkan itu. Agar bermanfaat untuk orang banyak. Kepentingan umum adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan umum, yang dapat membawa pengaruh terhadap kepentingan umum. Mahkamah Agung pada putusan 225 PK/PID.SUS/2011 dengan terdakwa Prita Mulyasari yang didakwa telah melanggar ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dalam pertimbangannya dijelaskan bahwa kepentingan umum sebagai alasan peniadaan atau hapusnya sifat melawan hukum pencemaran, menurut sifat dan keadaannya terdapat 2 syarat kumulatif yang harus dipenuhi, yaitu: sifat dari isinya tuduhan adalah bukan semata-mata untuk pentingan pribadi yang menuduh saja, tetapi juga bagi orang lain atau siapa saja yang akan dan hendak berhubungan dengan orang yang dituduh tersebut dan isi apa yang dituduhkan itu wajib mengandung kebenaran ;

Perbuatan SM merupakan tindakan serupa dengan tindakan Prita Mulyasari,berupa keluhan terhadap klinik kecantikan L’IVIORS untuk berbagi pengalaman dan memperingatkan agar kepada teman-teman nya untuk lebih berhati-hati. Konten yang diunggah SM juga berisi himbauan agar publik untuk waspada, informasi tersebut juga bermanfaat untuk orang banyak dan berhubungan dengan kepentingan orang lain yang akan berinteraksi dengan klinik L’voirs. Hal ini memenuhi aspek kepentingan umum sebagai yang dilindungi, sehingga tidak dapat disebut sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.

Keempat, perbuatan yang dilakukan SM dilindungi oleh UU perlindungan konsumen. Pasal 4 angka 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen memiliki sejumlah hak, diantaranya hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Perbuatan yang dilakukan oleh SM, adalah bagian dari pelaksanaan hak konsumen untuk dapat berpendapat dan mengajukan keluhan berkaitan dengan layanan yang ia pernah terima. Harusnya hal ini direspons oleh pelaku usaha dengan mendengarkan keluhan tersebut, memberikan kesempatan pada SM untuk menguji pemasalahan yang dihadapinya atas produk yang ia terima bahkan pelaku usaha berkewajiban memberikan kompensasi apabila ada kerugian yang diakibatkan penggunaan produk pelaku usaha;

Kelima, Penghinaan tidak dapat ditafsirkan secara gramatikal. Beberapa pernyataan yang disampaikan di dalam tuntutan yang merupakan postingan SM di dalam akun Instagramnya bukan merupakan penghinaan. Kata-kata buruk yang berisi cacian, ejekan, atau kata tidak pantas sendiri belum memenuhi unsur “penghinaan” untuk dipidana menggunakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, merujuk ke putusan MK No. 50/PUU-VI/2008.

Keenam, penuntut umum melakukan kesalahan mendasar lainnya, Ketiga putusan yang dikutip oleh Penuntut Umum untuk membuktikan unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” bukan putusan bersalah menggunakan Pasal 27 ayat (3) sebagaimana yang dituntut oleh penuntut umum. Hal ini kesalahan fatal dari penuntut umum yang seharusnya berargumen sesuai dengan isu hukum yang dibahas.

“Atas keenam alasan tersebut, ICJR dalam semangat pembaruan hukum memohon Majelis Hakim dalam memutus perkara SM untuk Mempertimbangkan pembuktian perkara sesuai dengan konstruksi hukum Pasal 27 ayat (3) yang tepat, merujuk pada Pasal 310, 311 KUHP dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Menyatakan adanya kesalahan yang dilakukan Penuntut Umum dalam menyusun tuntutannya dan, dengan demikian, memutus bebas SM dari segala dakwaan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry