Juwairiyah, M.Pd. Penulis Buku dan Aktivis Sosial dari Sumenep (dok/duta.co)

Juwairiyah, M.Pd., Penulis Buku dan Aktivis Sosial dari Sumenep

Bukan hal aneh jika menjelang tahun politik ini secara samar maupun terang-terangan mulai muncul atribut partai politik maupun figur-figur yang akan berlaga di ajang kontestasi politik tahun 2024 mendatang.

Tahun 2024 nanti, bukan hanya pemilihan  presiden dan wakil presiden serta calon legislatif pada setiap tingkatan yang akan berkontestasi, melainkan juga pemilihan kepala daerah kabupaten dan propinsi.

Sirkulasi informasi berkaitan dengan pemilu serentak ini akan memenuhi media massa cetak, media massa online dan tentu saja media sosial. Ironinya, media sosial menjadi fasilitas informasi utama yang setiap detik dapat diakses oleh siapapun. Sedangkan di satu sisi, informasi yang beredar di media sosial tidak selalu dapat dibuktikan kebenarannya.

Standar media sosial dalam menyampaikan informasi tidak berpedoman pada faktualitas yang ada. Pada beberapa konteks justru berpedoman pada keberpihakan personal. Jika media massa cetak maupun elektronik seperti televisi dan radio tidak rawan hoax (berita bohong), justru media sosial sangat rawan berita hoax. Sejauh ini, masyarakat awam maupun intelektual, mudah sekali termakan/ dipengaruhi oleh informasi yang beredar di media sosial, khususnya WhatsApp Group (WAG).

Hampir setiap hal yang beredar di WAG dengan sendirinya akan membentuk opini publik para peserta group WA tersebut. Sedikit sekali kita temui seorang anggota group WA yang berusaha membuktikan kebenaran informasi yang didapatnya di group WA.

Dalam undang-undang no. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, salah satu tugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah mencegah adanya pelanggaran pemilu. Pelanggaran pemilu sangat kompleks bentuknya. Jika dihubungkan dengan media, maka pelanggaran yang mungkin muncul di media adalah pelanggaran terkait kampanye hitam (black campaign) yang dilakukan antar rival tim sukses para calon.

Seringkali kita temukan tayangan video yang sengaja dipotong bagian-bagian tertentu dengan maksud untuk menjatuhkan calon lawan.

Bagaimana kira-kira Bawaslu akan menyikapi fenomena lima tahunan ini?

Pada pemilu tahun 2019 lalu, situasi sosial sangat dipengaruhi oleh maraknya berita hoax. Berbagai macam informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya menguasai ruang pikir warga masyarakat. Perbedaan dukungan tidak saja mencuat menjelang pemilu. Bahkan jauh setelah proses pemilu selesai, suasana persaingan antar tim sukses dan pendukung masih memenuhi ruang sosial masyarakat dalam membangun komunikasi.

Belajar dari pengalaman tahun 2019 lalu, tentu Bawaslu telah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah maraknya pelanggaran pemilu dalam bentuk penyebaran informasi hoax, menyesatkan, maupun propaganda (adu domba) antar kelompok tim sukses calon hingga black campaign ini.

Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan adalah melakukan sosialisasi tentang kepengawasan pemilu khusus topik penanganan pelanggaran. Sosialisasi ini tentunya bukan sosialisasi biasa ala kadarnya yang sifatnya formalitas normatif. Dalam sosialisasi ini dapat disampaikan bentuk-bentuk komunikasi informasi yang tergolong pelanggaran pemilu. Baik itu kampanye calon sebelum waktu kampanye yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), black campaign melalui media apapun termasuk media sosial, penyebaran berita hoax, dan  sebagainya yang sifatnya pelanggaran.

Masyarakat luas harus mengetahui seterang-terangnya batasan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Sosialisasi ini tidak harus dilaksanakan dengan menghabiskan anggaran besar. Bisa saja dengan memberdayakan Bawaslu di tingkat kecamatan bahkan desa agar Bawaslu di tingkat kecamatan dan desa ini benar-benar efektif produktif sebagai kepanjangan tangan dalam pelaksanaan tugas Badan Kepengawasan Pemilu sesuai amanat undang-undang tahun 2017.

Hal ini sebenarnya bukan semata agar Bawaslu benar-benar mengimplementasikan amanat undang-undang kepemiluan tetapi yang lebih penting adalah supaya semua tahapan pemilu ini berjalan sesuai aturan dan  harapan. Jika pun ada pelanggaran pemilu dalam bentuk berita hoaks dan black campaign, namun akibatnya tidak sampai menimbulkan pertikaian antar golongan maupun kerisauan berkepanjangan dalam kehidupan sosial masyarakat kita yang disebabkan oleh pemilihan umum.

Selain hal di atas, Bawaslu dapat bekerjasama langsung dengan beberapa stakeholder terkait, seperti institusi polri untuk ruang pengawasan cyber. Institusi kepolisian dapat membantu melakukan sosialisasi langsung ke berbagai lapisan masyarakat tentang bahaya hoaks, ujaran kebencian, hasutan melalui informasi dan berita bohong.

Jika memungkinkan bahkan bisa bekerjasama dengan perusahaan teknologi seperti facebook, twitter, tiktok, instagram dan whatsapp. Beberapa organisasi masyarakat maupun lembaga survei juga dapat dijadikan mitra kerjasama untuk issu yang sama yaitu mencegah pelanggaran dalam pemilihan umum.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah para peserta pemilu berikut tim suksesnya diupayakan dapat mengetahui batas-batas aturan untuk menghindari pelanggaran pemilu ini. Sebab biasanya masyakarat sipil yang tidak menjadi tim sukses peserta pemilu tidak akan dengan serta merta melakukan intrik-intrik politik dalam bentuk penyebaran berita bohong, hoaks, propaganda, ujaran kebencian pada lawan politiknya karena mereka yang tidak menjadi tim sukses otomatis tidak memiliki kepentingan terkait pemenangan calon manapun.

 Memang tidak mudah melakukan pengawasan terhadap ruang gerak media sosial dimana mayoritas masyarakat memiliki dan mempergunakan media sosial tersebut. Belum lagi tidak semua pengguna media sosial memakai akun dengan nama asli sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebagian warga juga mudah berganti akun, memiliki akun lebih dari satu dan atau senjaga berlindung di balik akun bodong untuk kepentingan tertentu. Akan tetapi, sesedikit apapun upaya yang dilakukan Bawaslu nantinya tetap merupakan ikhtiar untuk mengimplementasikan undang-undang kepemiluan.

Mustahil membatasi ruang gerak warga dalam bermedsos selama musim pemilu. Maka yang dapat dilakukan adalah mengefektifkan tugas kepengawasan pemilu oleh Bawaslu. Tentu saja berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) di semua tingkatan.. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry