“Beberapa justru mengalami kegaduhan, karena ada yang merasa menjadi korban, yaitu istri-istri pertama atau biasa disebut istri tua mereka. Mayoritas (awalnya)  “berontak” atau tidak terima dimadu. Sebagian kecil pasrah, “nrimo ing pandum”. Kok, bisa?”
Oleh Syarif Thayib (Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya)

PEMBIMBING haji dengan petugas haji itu beda. Pembimbing haji adalah mereka yang tiap tahun, atau setidaknya hampir tiap tahun mendampingi Jemaah haji ke tanah suci melalui KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh) dan/atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang mengelola umroh dan haji plus. Mereka adalah pemilik KBIHU/PIHK dan/ atau Tokoh yang diberi amanah untuk memimpin/ mengelola KBIHU/PIHK.

Sedangkan petugas haji adalah mereka yang diberi Surat Keputusan (SK) oleh Kementerian Agama RI sebagai Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), yang terdiri dari PPIH Pusat, PPIH Arab Saudi, PPIH Embarkasi, dan PPIH Kloter (kelompok terbang).

Khusus untuk PPIH Kloter, dibatasi minimal lima tahun, baru boleh mendaftar kembali, dan maksimal hanya tiga kali menjadi PPIH Kloter seumur hidupnya. Seperti penulis sekarang, sudah dua kali menjadi PPIH Kloter (2017 dan 2024), maka kesempatannya tinggal sekali lagi, yaitu sebelum usia maksimal 60 tahun pada saat mendaftar.

Jadi sudah jelas khan, siapa yang dimaksud Pembimbing Haji dalam tulisan ini?

Jujur, penulis sendiri tidak bisa memastikan, ukuran “banyak” yang dimaksud judul tulisan ini. Apalagi diminta data prosentasenya. Tetapi kalau sekedar menyebut, berapa banyak pembimbing haji yang  penulis (saling) kenal? Dan berapa banyak dari mereka yang menikah lagi? Sepertinya  penulis bisa jawab.

Setidaknya, relasi penulis sendiri dengan Pembimbing haji yang sudah saling kenal, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna, jumlahnya tidak lebih dari 30 orang. Sekitar sepuluh orang di antaranya pernah menikah lagi. Dari sepuluh itu, sebagian tetap berstatus poligami (beristri dua), sebagian lainnya, menceraikan salah satunya.

Sepuluh dari yang menikah lagi itu di antaranya adalah pemilik KBIHU/PIHK sendiri. Lainnya adalah pengelola atau pimpinan/ pelaksananya. Biasanya diberikan kepada Tokoh pengasuh Madrasah, imam Masjid atau Muballigh, juga ada yang merangkap sebagai dosen.

Menariknya, mayoritas dari istri “sambung” mereka adalah jemaahnya sendiri. Sebagian lain merupakan karyawannya yang bekerja di KBIHU/PIHK.

Awalnya, kedekatan mereka terbangun seperti hubungan santri dan guru, anak – orang tua, atau hubungan layaknya adik – kakak, antar sahabat, dan seterusnya. Lama kelamaan ada perasaan nyaman, maka “cinta”pun bersemi di antara mereka. Lanjut menikah (awalnya) sirri, beberapa langsung menikah resmi.

Sebenanya, tidak ada yang salah dari hubungan mereka secara fiqh. Husnudzan saja, sama sekali tidak ada indikasi bahwa mereka menabrak rambu-rambu “mendekati zina” sebagaimana yang dimaksud QS. Al Isra’: 32. Hubungan itu terjalin smooth (halus/mulus) sebelum bermetamorfosis menjadi hubungan suami – istri yang sah.

Sayangnya, beberapa justru mengalami kegaduhan, karena ada yang merasa menjadi korban, yaitu istri-istri pertama atau biasa disebut istri tua mereka. Mayoritas (awalnya)  “berontak” atau tidak terima dimadu. Sebagian kecil hanya bisa pasrah, “nrimo ing pandum”. Kok, bisa?

Ternyata ada resepnya. Beberapa Kyai senior konon kalau sedang sama-sama bertugas di tanah suci sering “mengolok-olok” kyai muda yang tidak berani matsna (beristri dua). Sejurus kemudian, Kyai senior itu membagikan pengalaman, sekaligus resep “amalan”, bagaimana supaya tidak terjadi kegaduhan setelah menikah lagi.

Beberapa kali penulis mendengar sendiri maksud “amalan” di atas. Terakhir, penulis dapatkan ketika mengantarkan Jemaah haji ke sebuah peternakan kambing Dam sebelum Wuquf di Arofah kemarin. Disana, penulis berkenalan dengan seorang ustadz senior yang dianggap sukses “menjinakkan” istri-istri tuanya. Kemudian, seperti biasa, beliaunya gojloki ustadz-ustadz yang masih beristri satu.

Tumbuhnya keinginan, hingga keberanian menambah istri seringkali berawal dari “forum” gojlokan seperti itu. Kemudian merasa mendapat (tantangan) tawaran dan/atau merasa ada peluang, maka terjadilah proses “coaching” (pendampingan) dari senior ke yunior.

Bahwa dalam proses “coaching” kemudian ada yang berhasil dan ada yang gagal, bergantung banyak hal, antara lain:

Pertama, “warning” istri tua kepada suaminya. Tidak peduli tampang suaminya cool and family man, atau sudah tidak muda lagi, juga tidak sedang banyak uang, dan seterusnya. Karena benih-benih cinta bisa tumbuh dalam situasi apapun dan menimpa siapapun. Bahkan kadang tidak berbanding lurus antara “perselingkuhan” dengan kesetiaan, ketampanan, kekayaan, dan seterusnya. Falling Love is Unpredictable, namanya saja “jatuh” (cinta) kejadiannya sulit ditebak.

Warning istri tua kepada suaminya supaya jangan “nakal” di setiap acara haji atau umroh yang tanpa dibersamai istri adalah ibarat ikhtiar “membunuh” monster sejak dini. Begitu tumbuh benih cinta, maka “warning” tersebut bisa menjadi senjata “pembunuh” monster cinta. Please, (kata teman motivator): jangan menunggu monster cinta itu menjadi raksasa yang sulit dijinakkan, apalagi dimusnahkan.

Kedua, pembiaran atau kepercayaan penuh kepada pasangan dalam keterpisahan yang panjang di acara haji atau umroh, seringkali menyuburkan benih “cinta” yang (bisa jadi) sudah “terkondisikan” sejak dari tanah air.

Pembaca yang sudah menikah pasti paham,  seberapa kadar kewaspadaan (warning) yang bisa diberikan kepada pasangannya. Love is verb, cinta itu kata kerja. Menetralisirnya juga harus dengan pro aktif, tidak pasif.

Istri penulis yang lumayan aktif di kegiatan-kegiatan sosial keagamaan pernah mendapat curhatan dari istri seorang Ustadz KBIHU/PIHK yang dimadu. Awalnya terlalu percaya. Tidak pernah ada pesan warning. Benar-benar “lengah”. Begitu terjadi (dimadu), penyesalannya tiada henti.

Ketiga, adanya benteng diri dari sang pembimbing haji. Bentuknya sangat beragam. Ada yang karena unmemorable experience, mengalami peristiwa yang tak terlupakan atas pengorbanan istri terhadap suami atau untuk anak-anaknya, sehingga membuat suami “tidak tega”. Atau takut “kualat” orang tua, juga mertua yang tidak ridla dengan program Matsna anak/menantunya.

Suatu ketika, penulis sangat tertegun dengan isi ceramahnya seorang pembimbing haji, saat sama-sama membawa Jemaah di teras (luar) makam Sayyidati Khadijah (istri Nabi Muhammad SAW) di Al-Ma’la Makkah. Ustadz bergelar Lc. itu menegaskan, bahwa andai Sayyidati Khadijah panjang umur, maka tidak mungkin Rasulullah SAW menikah lagi. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry