Tampak Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin bersama Erick Thohir. (FT/rmol.co)

JAKARTA | duta.co – Tak perlu menunggu elit politik bicara, jamaah Yasin-Tahlil di kampung-kampung sudah ikut menganalisa, mengapa banyak politisi hebat ikut mendukung Jokowi? Karena salut atau kalut?

Kali ini Partai Demokrat membongkar kadernya sendiri yang intens menampakan diri mendukung pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019. Seperti Dedy Mizwar secara resmi menyatakan sebagai bagian tim pemenangan calon presiden (Capres) Jokowi-Kiai Ma’ruf, menyusul kemudian Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Juga santer nama Gubernur Jawa Timur, Soekarwo yang didekati oleh elite koalisi Indonesia kerja. Bahkan koalisi Indonesia Kerja optimistis, Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur ini mendukung pasangan Joko Widodo-Kiai Ma’ruf di Pilpres 2019.

“Mereka menyeberang bukan karena menganggap Jokowi lebih baik. Bukan. Tapi itu pilihan lebih baik bagi mereka,” demikian Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachland Nashidik dalam akun Twitternya, @RachlanNashidik, Sabtu (8/9).

Rachland menegaskan, Demokrat tak kecil hati kepala daerah yang juga kader mereka dibajak, namun hati rakyat tak bisa dibajak. “Tapi jangan kecil hati, saudara. Gubernurnya yang dibajak. Hati rakyat tidak bisa dibajak,” demikian Rachland. Jadi? mereka bukan salut, tetapi kalut?

Analisa Bebas Wong Cilik

Seorang jamaah Yasin-Tahlil tiba-tiba nyeletuk, mengapa orang-orang hebat pada diam ketika ekonomi semakin terpuruk? Mengapa mahasiswa tidak demo ketika subsidi dipreteli? Ke mana mereka ketika impor beras, gula, garam semakin menggila?

“Sekarang semua pada takut dengan penguasa, terlebih yang menyimpan kasus hukum,” demikian disampaikan salah seorang jamaah Yasin-Tahlil di Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (8/9/2018) malam.

Analisa bebas warganet juga demikian. Siapa yang jauh dari penguasa, nasibnya bisa sengsara, sebaliknya, yang dekat menjadi tenang. Mereka menyebut kasus DI yang bertubi-tubi, kini tak ada perkara lagi setelah ‘Yang Mulia’ dielu-elukan di Surabaya.

Masih di warganet, Iswandi Syaputra menulis, kubu Jokowi-Ma’ruf memang bekerja keras untuk ‘meyakinkan’ Erick Tohir (ET) sebagai Ketua Tim, mengingat, lincahnya Sandi menggarap segmen milineal.

Kedua, umat milenial ini aset suara paling potensial memberi pengaruh pada masyarakat bawah. Ketiga, sosok Maruf Amin sebagai antitesis kekuatan milenial yang ‘merugikan’ Jokowi.

“ET juga bukan pilihan pertama, karena awalnya mau Najwa Sihab. Najwa dinilai cocok dengan karakter milineal tersebut. Tapi Najwa menolak..,” tulisnya.

Iswandi mengaku sedikit mengenal ET sejak 2010. Profilenya hangat, elegan, humble, energik, kaya dan yang nilai yang paling mahal. Menurutnya pribadi ET adalah kreativitas dan kejelian membaca peluang. Dia pebisnis tulen dan pecinta olah raga sejati.

Pemilik saham mayoritas Persib, Klub Basket Nasional dan salah satu klub NBA Amerika, pemilik klub bola Washington DC dan mantan Presiden Intermilan. Dalam industri media, ET bergerak melalui bendera MAHAKA yang membawahi Republika, TVOne, ANTV, dan  sejumlah PH.

“Dia salah satu sosok di balik sukses Asian Games. Identitas nasionalismenya menjalar bersama identitas religiusnya. Secara pribadi pada 2010 dia pernah mengeluh pada saya tentang perjalanan religiusitasnya dari keluarga mualaf. Keluhannya pada kelompok Islam yang cenderung keras, sedikit mengganggu bisnisnya,” jelas Iswandi.

ET, lanjutnya, bukan seorang politisi, bahkan cenderung agak menjauh dari politik. “Jadi saya pikir jika ET mau jadi Ketua Timses Jokowi-MA karena pertimbangannya bisnis dan ‘pengalaman spiritual religius’ tadi,” tambahnya.

Terutama ‘pertimbangan bisnis’. Mencermati pola main tim Jokowi-MA yang suka ‘main sandera’ (kasus TGB, Yusuf Mansyur, dll), bisa jadi bisnis ET juga ‘disandera’.  Dalam berbisnis dan olah raga, ET sangat sukses. “Saya membayangkan tim Pak Jokowi pasti akan lebih penuh warna kreatif lagi di bawah kendali ET.”

Dan ini tantangan berat bagi Sandi. Bagi saya ini menjadi kompetisi Sandi-ET, bukan Prabowo-Jokowi lagi. Hal seperti ini seharusnya juga menjadi pertimbangan PS dalam memilih Ketua Timses.

Jangan dari (maaf) golongan tua yang tidak ramah dengan umat milenial. Pilih dari kalangan muda, populer dan ramah dengan milenial. “AHY bisa jadi salah satu opsi sekalian untuk ‘mengikat’ SBY yang mulai terlihat menghilang dari orbit,” harapnya.

Tapi, ada juga yang menganalisa, Jokowi blunder.  Mengapa? Mereka lupa bahwa yang dikampanyekan nanti bukan Erick Thohir. Yang naik ke panggung kampanye bukan Erick Thohir. Yang maju debat capres-cawapres juga bukan Erick Thohir. Yang blusukan ke komunitas kaum millenials dan emak-emak bukan Erick Thohir.

“Masak iya emak-emak dipasar mau pegang-pegang tangan Erick seperti mereka pegang tangan Sandi? Tidak mungkin,” demikian yang lain.

Yang diskusi sama anak muda nanti mestinya capres-cawapres, bukan Erick Thohir. Seperti halnya Sandi dialog dengan anak muda. Ketua Tim Pemenangan biasanya lebih banyak di belakang layar dan cuma bicara strategi bukan teknis.

Kalau lebih mengandalkan Erick Thohir untuk meraih pemilih muda dan menggaet hati emak-emak, ini namanya stuntman (peran pengganti) Capres-Cawapres. Tidak menarik, justru menyebalkan. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry