SURABAYA | duta.co – Dewan Kurator Museum NU, Drs H Choirul Anam, mengaku prihatin melihat ulah sebagian anggota Banser-Ansor yang semakin jauh dari tuntunan ulama NU. Pembakaran kalimat tauhid yang terjadi di Garut, Jawa Barat, menandakan betapa kita emosional, mudah diadu domba, tidak siap menghadapi perbedaan.

“Banser jangan menjadi jangkrik, warga NU tidak boleh menjadi jangkrik yang mudah diadu domba oleh kepentingan orang lain. Pembakaran kalimat tauhid, apa pun alasannya, ini sangat berbahaya. Ini menandakan ‘rendahnya’ kelas kita,” tegas Cak Anam panggilan akrabnya kepada duta.co, Selasa (23/10/2018).

Seperti viral di media social, oknum anggota Banser membakar bendera tauhid. Aksi ini mendapat kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk warga NU sendiri.

Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, langsung menyatakan, bahwa pembakaran itu sebenarnya dilakukan pada bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sekaligus untuk menjaga kalimat tauhid.

“Saya sudah cek teman-teman di Garut, tempat di mana pembakaran itu terjadi. Sudah saya tanyakan juga ke pengurus di sana, teman-teman yang membakar itu melihat bendera tersebut sebagai bendera HTI,” ujar Gus Yaqut seperti diwartakan detik.com Senin (22/10).

Sedangkan kalimat tauhid itu, berada dalam bendera HTI. Sebagai organisasi, HTI sendiri sudah dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap mempunyai paham anti-Pancasila.

Gus Yaqut menyontohkan cara yang sama dilakukan jika menemukan lembaran Alquran. Hal itu dilakukan agar tak terinjak-injak dan terbuang di tempat yang tak semestinya. Tetapi, di sisi lain, ia mengimbau anggotanya tidak lagi melakukan pembakaran. Dia meminta anggotanya menyerahkan ke aparat keamanan jika menemukan bendera serupa. Lho?

Banser-Ansor Harus Diluruskan
Drs H Choirul Anam, Dewan Kurator Museum NU, Mantan Ketua GP Ansor Jatim. (FT/duta.co)

Menurut Cak Anam, kebijakan Banser-GP Ansor NU akhir-akhir ini perlu diluruskan. Termasuk semangatnya menolak paham wahabi, menolak sistem khilafah, dan bahkan dalam menjaga keutuhan NKRI.

“Wahabi itu sudah ada sejak dulu, sejak zaman Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Tirulah cara-cara beliau dalam menghadapi serangan wahabi. Tidak ada pembubaran pengajian, tidak pula menolak tokoh (dai) untuk ceramah. Kiai-kiai NU itu jagonya bahtsul masail, dengan pencerahan (ngaji) umat paham, mana yang harus diikuti,” jelasnya.

Ironisnya, jelas Cak Anam, tokoh populer seperti Ustadz Abdul Somad (UAS), ikut ditolak. “UAS itu jelas NU, pernah menjadi pengurus NU. Bahkan mendengar isi taushiyahnya, UAS itu Islam ahlussunnan wal jamaah. Lho kok ditolak dengan alasan dekat dengan HTI,” tambah Cak Anam heran.

Ketika dijelaskan bahwa HTI mengancam eksistensi NKRI, Cak Anam malah tersenyum. “Penjaga NKRI itu sudah ada, negara ini memiliki TNI yang terdiri dari Angkatan Laut, Darat dan Udara. Ada polisi yang menegakkan aturan main. Mereka ini bukan hanya digaji, tetapi juga dipersenjatai. Ingat sejarah bubarnya DI/TII. Lha Banser? Apa mau gantikan peran TNI-Polri?” tanyanya.

“Kalau memang terbukti Wahabi dan HTI membahayakan keutuhan NKRI dan Pancasila, biar Polri dan TNI yang memberangus sebagaimana pernah dilakukan dalam penumpasan DI/TII dan PRRI-Permesta,” tegasnya.

Masih menurut Cak Anam, alasan HTI adalah kelompok radikal, juga patut diuji. Karena dalam sejarahnya, radikalisme itu justru bukan dari Islam.

“Baca sejarah! Kalau masih ingin mencermati gerakan radikalisme Indonesia, embrionya sudah pernah ada dan tercatat dalam sejarah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah peristiwa tanggal 18 Agustus 1945,” lanjutnya.

Kala itu, kata Cak Anam, PPKI yang dipimpin Soekarno-Hatta bermaksud menggelar sidang untuk mengesahkan UUD 1945 yang, telah disepakati bersama dalam BPUPKI, sejak Juni sebelumnya.

Tapi sidang PPKI terpaksa ditunda beberapa jam lantaran ada gugatan dari kelompok radikal terhadap UUD yang telah disepakati tersebut. Gugatan kelompok radikal ini disertai ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, jika UUD yang telah disepakati itu tidak dilakukan perubahan.

“Inilah golongan radikal itu. Di saat para pendiri bangsa menghadapi masa sulit, mempertahan kemerdekaan RI yang baru sehari diproklamirkan dari serbuan darat, laut dan udara serta di meja perundingan Kolonial Belanda dan sekutunya, justru kelompok radikal ini menggunakannya untuk menekan perubahan UUD yang telah disepakati bersama. Banser dan GP Ansor harus tahu itu,” jelasnya.

Jadi? Pembakaran kalimat tauhid, apa pun alasannya, menurut Cak Anam, itu menunjukkan kita masih sekelas jangkrik, mudah diadu domba orang lain.

“Padahal, mestinya kita (umat islam) seperti lebah sebagaimana gambaran Alquran. Tidak mudah emosi, dan tidak mudah dipermainkan orang. Tetapi memiliki militansi handal untuk menghadapi masalah yang benar-benar krusial,” tutupnya.

Kalau boleh marah, mestinya Banser-Ansor justru marah, ketika ada kalimat tauhid diselipkan dalam video kerusuhan suporter yang menewaskan seseorang. Ini sadis! Tidak ada kalimat tauhid untuk mengeroyok orang sampai mati. Di mana kita? (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry