
Dr., Ir., Ar., R.A., Retno Hastijanti, MT., IPU., IAI., APEC Eng – Dosen Arsitektur dan Dekan Fakultas Teknik Untag Surabaya
BENCANA banjir yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat bukan sekadar musibah alam biasa.
Peristiwa ini menguji sejauh mana arsitektur kota dan perencanaan ruang mampu menahan dampak ekstrem perubahan iklim.
Lebih dari itu, bencana ini juga menyoroti peran manusia, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam menjaga, merawat, dan membangun kota yang tangguh.
Sebagai Dekan Fakultas Teknik Untag Surabaya, sekaligus akademisi yang menekuni isu perubahan iklim dan ketahanan kota, saya ingin menyampaikan duka cita mendalam atas bencana yang melanda. Semoga para penyintas segera memperoleh pertolongan dan pemulihan, serta keluarga korban diberi kekuatan menghadapi masa-masa sulit ini.
Bencana ini bukan sekadar musibah alam, tetapi juga pengingat keras bahwa perubahan iklim bukan lagi teori di ruang seminar. Ia telah menjadi realitas nyata yang mempengaruhi aliran sungai, lereng, tanah, dan seluruh struktur ekologi yang menopang kehidupan kota-kota kita.
Perubahan Iklim yang Tak Bisa Diabaikan
Data awal menunjukkan bahwa cuaca ekstrem menjadi pemicu utama banjir, longsor, dan kerusakan morfologi sungai di berbagai wilayah Sumatera. Intensitas hujan yang tidak wajar serta perubahan pola angin menyebabkan daya dukung hidrologi kota runtuh.
Inilah bukti bahwa kita tidak lagi bisa mengandalkan prediksi lama. Apa yang sebelumnya dapat diramalkan dalam rentang 20–30 tahun, kini bergerak jauh lebih cepat. Master plan kota harus menjadi dokumen hidup, diperbarui secara berkala berdasarkan data iklim terbaru.
Kota-Kota di Sumatera dan Akar Masalah yang Sudah Lama Dikenal
Kota-kota di Sumatera, atau umumnya kota-kota di Indonesia, ini berkembang secara organik di sekitar Sungai, juga seperti banyak kota di Asia. Sungai menjadi pusat pertemuan, perdagangan, dan tumbuhnya pemukiman yang kini berkembang menjadi kota besar. Namun warisan historis ini membawa tantangan.
Daerah pinggir sungai kini menghadapi tekanan pembangunan intensif yang sering kali tidak diiringi pengawasan memadai. Rumah informal menyempitkan badan sungai, pembangunan tak beraturan menutup daerah resapan, sementara aliran dari hulu tetap besar. Kombinasi cuaca ekstrem dan tata kelola sungai yang lemah menciptakan kondisi sempurna bagi bencana.
Merancang Kota yang Adaptif dan Berketahanan Iklim
Pasca bencana yang terjadi di Sumatera, sudah saatnya pemerintah daerah, baik di tingkat kota maupun kabupaten, menjadikan peristiwa ini sebagai pembelajaran yang sangat serius. Pembangunan kota ke depan harus diarahkan pada pendekatan yang lebih adaptif, tangguh, dan sepenuhnya berbasis data.
Upaya tersebut dimulai dari kemampuan kita melakukan pemetaan menyeluruh terhadap zona-zona aman maupun wilayah yang berpotensi mengalami banjir, longsor, serta kawasan yang rentan terhadap peningkatan suhu ekstrem di perkotaan.
Selain itu, pembaruan peta lidar dan sonar menjadi langkah penting untuk memahami perubahan topografi, kondisi dasar tanah, serta potensi pergerakan lahan yang mungkin terjadi. Seluruh data hidrologi, geologi, dan informasi iklim tersebut harus terintegrasi dalam perencanaan ruang sehingga pemerintah dapat menentukan dengan tepat lahan mana yang layak dikembangkan secara intensif dan mana yang seharusnya dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau.
Keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang kosong menjadi sangat krusial karena kesejahteraan masyarakat tidak akan mungkin tercapai apabila pembangunan justru menempatkan warga dalam ancaman bencana berulang.
Partisipasi Masyarakat: Kunci Ketahanan Kota
Kebijakan yang tepat hanya akan berjalan apabila masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Kota-kota di Indonesia pada dasarnya bersifat human-centric, sehingga arah pertumbuhannya sangat ditentukan oleh perilaku, kebutuhan, dan budaya warganya sendiri.
Oleh karena itu, ketahanan sebuah kota juga sangat bergantung pada bagaimana masyarakat membuang sampah, bagaimana mereka mampu memanen air hujan dan mengelola limbah dengan bijaksana, serta bagaimana mereka menjaga tepian sungai agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Kesadaran kolektif dalam merawat lingkungan menjadi bagian penting yang tidak bisa diabaikan. Infrastruktur secanggih apa pun yang dibangun pemerintah tidak akan berfungsi optimal jika masyarakat tidak turut merawatnya. Dengan sinergi antara kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat, barulah upaya membangun kota yang lebih tangguh, adaptif, dan siap menghadapi perubahan iklim dapat benar-benar terwujud.
Pentahelix: Kunci Menghadapi Krisis Iklim
Dalam kondisi seperti saat ini, kita harus berhenti saling menyalahkan. Bencana tidak akan pernah selesai ditangani jika semua pihak berjalan sendiri-sendiri. Yang dibutuhkan adalah kerja bersama lima aktor utama yaitu pemerintah, akademisi, masyarakat, sektor praktisi/bisnis, dan media sosial. Model kolaborasi ini (pentahelix) harus menjadi fondasi baru dalam upaya mengurangi risiko bencana, membangun adaptasi, dan merancang kota masa depan.
Bencana di Sumatera adalah luka bagi kita semua, tetapi juga peringatan keras. Kita tidak boleh lagi menunda penataan kota berbasis perubahan iklim. Jika kita ingin kota-kota Indonesia tetap layak huni di masa depan, langkah-langkah adaptif harus dilakukan sekarang, bukan nanti. *






































