Dr Yon Machmudi, Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Straregis dan Global Universitas Indonesia. (FT/Youtube)

SURABAYA | duta.co – Diakui, #2019GantiPresiden memang ampuh untuk membangkitkan semangat ganti presiden pada pemilu 2019 mendatang. Ini membuat barisan status quo ‘kedodoran’. Deklarasi #2019GantiPresiden pun mendapat perlawanan, sampai-sampai polisi dan BIN (Badan Intelijen Negara) turun tangan. Belakangan ada yang ‘menakut-nakuti’ bahwa tagar tersebut bisa membuat konflik seperti di Suriah. Benarkah?

“Terlalu jauh dan berbahaya. Framing tagar 2019 ganti presiden akan memicu konflik seperti di Suriah, itu tindakan tidak bertanggung jawab. Sama saja menyulut konflik horizontal di Indonesia dalam menghadapi Pilpres 2019. Hentikan,” demikian disampaikan Dr Yon Machmudi, Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam,  Sekolah Kajian Straregis dan Global Universitas Indonesia kepada duta.co, Selasa (4/9/2019).

Seperti pernah disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding, bahwa, tagar ganti presiden pernah diterapkan di Suriah. Kekacauan di Suriah justru berawal dari gerakan semacam itu.

“Kenapa Suriah kacau, karena pakai hashtag itu, ganti presiden. Ganti presiden itu maknanya macam-macam,” kata Karding di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 28 Agustus 2018 sebagaimana dikutip metronews.com.

Menurut Karding gerakan itu kemudian dikapitalisasi kelompok tertentu. Akibatnya, Suriah menjadi negara konflik hingga saat ini. Karding kemudian meminta mereka yang menyuarakan tagar #2019GantiPresiden mengganti diksi itu. “Jadi saya kira memang bagus kalau paslon sebelah (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) mengganti hashtag itu,” jelasnya.

Bahkan belakangan beredar secara massif meme yang berusaha mengaitkan #2019GantiPresiden dengan konflik Suriah yang berdadar-darah. Ini justru bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Dr Yon, anatomi konflik dan politik di Suriah, itu sangat berbeda dengan di Indonesia.  “Keinginan mengganti presiden di Suriah dan negara-negara Arab lainnya, itu diawali dengan praktik politik yang represif dan otoriter. Ini akar masalahnya. Bukan tagar ganti presiden,” jelasnya.

Masih menurut Arek Jombang, Jawa Timur ini, presiden yang disoal itu, rata-rata berkuasa sangat lama dan diturunkan kepada anak atau kroninya. Maka, muncullah people power untuk menurunkan presiden seperti di Tunisia,  Mesir, Yaman dan Libia dan terus berlanjut sampai Suriah.

“Di samping itu, konflik di Suriah lantaran kekuatan oposisi, penentang presiden juga bersenjata, ini membuat konflik berkepanjangan. Kondisi ini berbeda jauh dengan di Indonesia, jangan samakan,” tegasnya.

Di Indonesia, lanjutnya, demokrasi sudah mencapai tahap konsolidasi dan kematangan. Keinginan ganti presiden itu dapat diwadahi dalam mekanisme pemilu lima tahunan. “Makanya emosi publik jangan diaduk-aduk dan dibakar dengan isu makar atau konflik berdarah-darah ala Suriah. Ini sangat berbahaya. Justru ini yang harus dicermati,” tambahnya.

Agar Pilpres 2019 tetap kondusif, aman dan damai, Yon menyarankan kelompok #2019gantipresiden bersikap proporsional dan tidak mengeluarkam statemen yang mengundang kemarahan.

“Pesta demokrasi itu hal yang wajar dan harus dijaga sehingga berjalan secara damai dan aman.  Jauh dari praktek-praktek intimidasi dan melanggar kebebasan berpendapat. Memandang mekanisme politik tahunan dalam kaca mata perang, harus dihindari. Tidak perlu ada ungkapan pesta politik ini seperti perang badar atau lainnya,” ujarnya.

Demikian juga akar rumput, graasroots, masyarakat bawah, jangan dipanas-panasi untuk siap-siap berkelahi. “Kalau ini yang terjadi, kita akan mengalami kemunduran luar biasa dalam berdemokrasi. Apalagi kita tahu, kedua pasang capres dan cawapres adalah putra-putra terbaik bangsa,” katanya.

Satu-satunya jalan terbaik, berilah kesempatan rakyat memilih secara bebas, sesuai dengan preferensinya masing-masing. “Karena rakyat sekarang sudah semakin cerdas dan tidak suka dengan kampanye hitam dan provokasi. Para elit harus memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat,” demikian Dr Yon, Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam,  Sekolah Kajian Straregis dan Global Universitas Indonesia ini.

2019 Ganti Presiden Konstitusional

Hal yang sama disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Menurutnya, gerakan #2019GantiPresiden menjelang Pilpres 2019, adalah aspirasi yang sah dilakukan selama tidak melanggar konstitusi di Indonesia.

“Tergantung kita ya, tetapi sebaiknya kita itu ada dalam posisi bahwa kita mau Pilpres,” ungkap Mahfud MD, usai mengisi materidalam Pengenalan Studi Mahasiswa Baru (Pesmaba) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Artinya, setiap individu maupun kelompok di Indonesia berhak menyuarakan aspirasinya asal sesuai aturan yang ada. “Dalam Pilpres, setiap orang, setiap kelompok, mengajukan aspirasi. Baik itu mengelompok maupun tidak. Tetapi dalam batas-batas konstitusional. Artinya tidak boleh ada kekerasan,” terangnya seperti dikutip okezone.

Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu juga menyampaikan, selama tidak melanggar hukum gerakan #2019GantiPresiden, sah dilakukan. Penegak hukum dalam hal ini polisi tidak boleh melarang penyampaian aspirasi, kecuali jika ada indikasi melakukan pelanggaran terhadap konstitusi yang ada. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry